Tubuh itu semakin kurus. Ia tergeletak tak berdaya di ranjang. Tidak hanya lumpuh, ia juga tak mampu menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Ketika ia hendak makan, ia harus dipapah supaya tubuhnya tegak. Ketika hendak memeringkan badannya untuk berganti posisi tidur pun, ia harus dibantu seseorang. Apalagi, ketika ia hendak membuang kotorannya sendiri. Dunianya kini hanya selebar ranjang.
Ranjang yang menjadi dunianya itu berukuran 2 x 1 meter. Di atas tilamnya, ada sebuah karpet yang di tempatkan di bagian bawah tubuh kurus itu. Dinding rumahnya, terbuat dari gedheg (bambu anyam). Jendela yang menganga tepat menghadap arah tenggelamnya matahari. Pemandangan dunianya sedikit terhalang oleh dahan pohon mangga. Jika malam tiba, ruangan itu semakin terlihat gelap. Hanya lampu bohlam ukuran 45 watt yang menerangi dua ruangan yang dijadikan satu. Sinarnya pun, terhalang oleh selembar plastik warna hitam putih kotak-kotak yang melindungi ranjang dari tampias (butiran air hujan yang masih bisa melewati celah-celah genteng).
Suasananya sendu. Sesendu hati orang yang sudah mulai mempasarahkan kesembuhannya. Berbagai rasa menghantui pikirnya. Takut, sedih, sakit, cemas, sepi, gelisah, dan hampa menjadi satu. Sesekali, hatinya terhibur dengan siapa saja yang mengajaknya mengobrol. Ia sedikit melupakan saktinya. Ia mulai memikirkan hal lain yang ditawarkan oleh lawan bicarnya.
Ia sendiri hanya mengenakan kaos dan sehelai sarung. Aku melihat kaos itu sudah dipakainya kemarin. Berarti, paling tidak, sudah dua hari ia tak berganti baju. Yang berganti hanyalah tetes-tetes keringat dan peluhnya. Bajunya menjadi lembab, selembab lantai tempat ranjang itu berbaring. Lantai yang tidak rapi dalam balutan semen. Terkelupas oleh gesekan kaki-kaki tak bersepatu dan air tanah.
Ketika orang-orang di sekitarnya ingin melihat ia keluar dari dunianya, orang lemah itu dibawanya ke ahli medis yang ada di sana. Dokter murah. Sekali berobat hanya Rp 15.000. Ia bekas dokter rumah sakit di sebuah desa. Dokter itu selain terkenal murah, ia juga terkenal mumpuni. Siapa saja yang datang, banyak yang pulang dengan senyum terkembang. Mungkin selain memiliki dasar-dasar ilmu medis, ia juga sakti. Barangkali...
Ketika orang yang hanya memiliki dunia selebar ranjang itu dibawa kepadanya, dokter sakti itu menganggap dirinya sudah sembuh! Dengan enteng dokter itu memberi nasehat, "Tinggal minum obat ini saja. Pasti sudah jauh lebih baik kondisinya".
Baiklah kalau begitu. Ditebusnya obat dari apotek. Dijejalkanlah obat dari dokter itu. Ditambahkannya makanan-makanan bergizi dalam semakok bobur di dalamnya. Masih ditambah susu perangsang tumbuhnya kalsium. Semua orang di sekitarnya, berharap, ia mampu keluar dari dunia penderitaannya, dunia pesakitannya, dan kembali ke dunianya dulu di sawah, kebun, ladang, dan di pasar.
Sudah tidak ada waktu lagi bagiku untuk terus bertahan di sana. Banyak kesibukan untuk mempertahankan hidupku dan orang-orang yang kucinta menungguku. Metropolitan, membutuhkan tanganku. Dan aku membutuhkan uangnya. Salah satunya, untuk mengeluarkan orang yang lemah tak berdaya itu keluar dari dunianya yang hanya selebar ranjang.
Aku pun berpamitan. Berharap, restu kudapat. Aku terkejut ketika orang itu justru meminta permohonan maaf kepadaku selama ia hidup. Aku tersentak. Apakah ini justru sebuah kata 'pamit' balik darinya. Aku tidak mau tercebur dan masuk dalam dunianya. Kutarik lagi ia masuk dalam duniaku. Kujanjikan ia mampu pulang ke dunianya yang lama. Lengkap dengan cangkul, parang, arit, pisau, ani-ani, karung, dan pupuk.
Ranjang yang menjadi dunianya itu berukuran 2 x 1 meter. Di atas tilamnya, ada sebuah karpet yang di tempatkan di bagian bawah tubuh kurus itu. Dinding rumahnya, terbuat dari gedheg (bambu anyam). Jendela yang menganga tepat menghadap arah tenggelamnya matahari. Pemandangan dunianya sedikit terhalang oleh dahan pohon mangga. Jika malam tiba, ruangan itu semakin terlihat gelap. Hanya lampu bohlam ukuran 45 watt yang menerangi dua ruangan yang dijadikan satu. Sinarnya pun, terhalang oleh selembar plastik warna hitam putih kotak-kotak yang melindungi ranjang dari tampias (butiran air hujan yang masih bisa melewati celah-celah genteng).
Suasananya sendu. Sesendu hati orang yang sudah mulai mempasarahkan kesembuhannya. Berbagai rasa menghantui pikirnya. Takut, sedih, sakit, cemas, sepi, gelisah, dan hampa menjadi satu. Sesekali, hatinya terhibur dengan siapa saja yang mengajaknya mengobrol. Ia sedikit melupakan saktinya. Ia mulai memikirkan hal lain yang ditawarkan oleh lawan bicarnya.
Ia sendiri hanya mengenakan kaos dan sehelai sarung. Aku melihat kaos itu sudah dipakainya kemarin. Berarti, paling tidak, sudah dua hari ia tak berganti baju. Yang berganti hanyalah tetes-tetes keringat dan peluhnya. Bajunya menjadi lembab, selembab lantai tempat ranjang itu berbaring. Lantai yang tidak rapi dalam balutan semen. Terkelupas oleh gesekan kaki-kaki tak bersepatu dan air tanah.
Ketika orang-orang di sekitarnya ingin melihat ia keluar dari dunianya, orang lemah itu dibawanya ke ahli medis yang ada di sana. Dokter murah. Sekali berobat hanya Rp 15.000. Ia bekas dokter rumah sakit di sebuah desa. Dokter itu selain terkenal murah, ia juga terkenal mumpuni. Siapa saja yang datang, banyak yang pulang dengan senyum terkembang. Mungkin selain memiliki dasar-dasar ilmu medis, ia juga sakti. Barangkali...
Ketika orang yang hanya memiliki dunia selebar ranjang itu dibawa kepadanya, dokter sakti itu menganggap dirinya sudah sembuh! Dengan enteng dokter itu memberi nasehat, "Tinggal minum obat ini saja. Pasti sudah jauh lebih baik kondisinya".
Baiklah kalau begitu. Ditebusnya obat dari apotek. Dijejalkanlah obat dari dokter itu. Ditambahkannya makanan-makanan bergizi dalam semakok bobur di dalamnya. Masih ditambah susu perangsang tumbuhnya kalsium. Semua orang di sekitarnya, berharap, ia mampu keluar dari dunia penderitaannya, dunia pesakitannya, dan kembali ke dunianya dulu di sawah, kebun, ladang, dan di pasar.
Sudah tidak ada waktu lagi bagiku untuk terus bertahan di sana. Banyak kesibukan untuk mempertahankan hidupku dan orang-orang yang kucinta menungguku. Metropolitan, membutuhkan tanganku. Dan aku membutuhkan uangnya. Salah satunya, untuk mengeluarkan orang yang lemah tak berdaya itu keluar dari dunianya yang hanya selebar ranjang.
Aku pun berpamitan. Berharap, restu kudapat. Aku terkejut ketika orang itu justru meminta permohonan maaf kepadaku selama ia hidup. Aku tersentak. Apakah ini justru sebuah kata 'pamit' balik darinya. Aku tidak mau tercebur dan masuk dalam dunianya. Kutarik lagi ia masuk dalam duniaku. Kujanjikan ia mampu pulang ke dunianya yang lama. Lengkap dengan cangkul, parang, arit, pisau, ani-ani, karung, dan pupuk.