Gambar itu adalah potret sahabatku. Dia yang mati tertembak saat demonstrasi. Perempuan pemberontak dan pemberani.
***
Safir. Itulah namanya. Aku kenal dia saat menyusuri sisi kota pada waktu senja. Saat itu, dia sedang duduk dan melamun pinggir alun-alun tua. Lamunnya melintasi batas-batas kota. Mempertemukan aku dan dia dalam satu titik harmoni. Tanpa kata tanpa bicara.
Perjumpaanku dengan Safir adalah perjumpaan saat aku sampai disebuah persimpangan. Di sana, aku merasa bimbang. Bukan sekadar bingung menentukan arah jalan yang harus aku lanjutkan. Tapi, aku sudah tidak tahu lagi, jalan mana yang harus kutuju. Di benakku, semua menjadi buntu. Tanpa arah.
Ketika aku turun dari laju roda kendaraanku, saat itu juga mataku menabrak paras perempuan itu. Ia diam tak bergeming. Tatapnya kosong. Pucat pasi mukanya. Seolah, jiwanya melayang bersama lamunya.
Senyum kulemparkan. Tawa kuumbar. Tetap saja, tanpa balasan. Aku sengaja duduk di sampingnya. Tanpa bermaksud mengusik dia dalam dunianya, aku pun bermaksud melepas lelah. Setelah benakku penuh terisi pertanyaan-pertanyaan seputar jalan mana yang harus kuikuti.
Aku berharap bisa menghilangkan kebimbangan yang sedang menghantui hati dan pikirku dengan menemukan seorang teman baru. Ternyata, tidak. Dia sungguh sibuk dengan dirinya sendiri. Tapi aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Kusulut sebatang rokok. Kunikmati asapnya yang merayap sampai ke paru-paruku. Kubuang sisanya, dan kuserap kenikmatan darinya. Kulihat perempuan itu menoleh dan tersenyum kepadaku. Kutawarkan rokok yang tinggal dua batang di dalam bungkusnya. Ia pun mengambil sebatang. Kunyalakan api untuknya. Dia tersenyum. Tanpa kata, tanpa bicara.
Aku dan dia pun sama-sama tidak mau memulai pembicaraan.
Dia mulai lagi melanjutkan lamunnya. Mukanya mulai tampak memerah ketika salah satu cahaya lampu kota yang baru saja menyala menerpa wajahnya. Kedamian begitu nyata dia rasakan. Aku menjadi iri. Karena, aku masih juga berkutat pada pertanyaan-pertanyaan seputar hidupku.
Sepertinya, dia sudah tidak lagi memedulikan hidupnya. Tapi sepertinya justru dia menjadi hidup ketika bayang-bayang kematian dan masa depan sudah dia tanggalkan. Sepertinya, dia juga sudah tidak peduli dengan dunia. Atau, sebaliknya, dia sedang kalut karena ulah dunia?
Sebenarnya, aku tak tahu persis apa yang sebenarnya dia pikirkan. Aku hanya bisa menebak-nebak. Sepertinya.. sepertinya...
Aku tidak mau terjebak dalam situasi ini. Aku ingin melanjutkan perjalannku meninggalkan kota. Aku berdiri. Kulanjutkan langkah kakiku. Kutinggalkan perempuan serba putih itu dalam lamunnya. Ia pun melambaikan tangan. Senyum kembali terkemabang.
***
Dentum musik menggema keras di lantai dansa. Muda-mudi turun ke sana penuh suka-cita. Tawa-canda berlomba-lomba. Tarian menjadi satu dengan gerak alkohol yang mengalir dalam tubuh-tubuh segar itu.
Melepas penat, kujatuhkan badanku di sofa pojok bar yang terlambat tutup itu. Kuamati lekat-lekat satu-satu pengunjungnya. Tak kukenal seorang pun. Aku menjadi seorang asing di sana. Tanpa peduli keadaanku, kuikuti alunan musik dan kuleburkan penat ini dalam melodinya. Kutenggak botol-botol minuman. Kurasakan dia bekerja. Aku mabuk dibuatnya.
Saat aku melayang, aku berjumpa kembali dengan Safir. Dia masih saja duduk di tepi alun-alun sisi kota. Dia masih seperti semula. Menatap langit, duduk dan memeluk kedua kakinya. Dalam temaram cahaya lampu kota, aku melihat dia begitu berkilau-kilauan. Dia belum juga berbicara dengan siapa pun.
Perjumpaanku dengan dia kali ini berbeda. Kali ini, aku sudah sedikit mengetahui apa yang ada dalam benaknya. Ada resonansi antara anganku dan angannya. Dan aku yakin, dia juga menyadari kehadiaranku. Walaupun tanpa persentuhan, dan kata-kata perjumpaanku dengan dia kali ini adalah benar-benar nyata.
Frekuensi getaran jiwa yang sama, menambatkan kami pada suatu dimensi ruang dan waktu yang tak begitu penting lagi. Safir, sedang galau. Begitu pun aku. Safir sedang resah karena diburu beribu serdadu. Sedangkan aku resah karena sedang memburu impian, ingin hidup mengikuti jejaknya, dalam caraku sendiri.
Safir adalah seorang penulis. Ia baru saja pulang dari daerah konflik. Beritanya membeberkan kelakuan serdadu-serdadu, menjadi bumerang bagi dirinya. Safir ibarat musuh utuma serdadu itu kali ini.
Misi keamanan yang dijanjikan penguasa, menjadi mimpi kelabu dan petaka bagi ratusan gadis dan ibu-ibu. Itulah inti cerita Safir. Dari kemampuannya merangkai kata, dia mampu menyulut amarah dan geram para perempuan, orangtua, mahasiswa, aktivis-aktivis di seluruh belahan dunia. Dalam waktu sekejap, ia menjadi terkenal di mana-mana. Namun, ia justru menghilang, menyendiri, dan menjauhi setiap keramian.
Ternyata, dari tulisan itu, tahta penguasa bergoncang. Dan pada akhirnya tumbang tak bersisa. Karena, penguasa yang juga bekas serdadu itu harus bertanggungjawab atas ulahnya sewaktu dia menjadi jendral dan memimpin operasi itu.
***
Dini hari, ketika embun pagi mulai turun dan membasahi dedaunan. Kutemui Safir kembali. Tepat, dimana perjumpaanku pertama dengannya. Aku hendak menemaninya dari galau yang sedang merenggutnya. Ia sudah menduga kehadiranku yang kedua. Dan aku pun sangat yakin dia masih di sana, di sisi kota.
"Hai..."
"Ya.."
"Kamu baik-baik saja"
"Tentu saja"
"Terima kasih, kamu kembali ke sini"
"Kamu tidak mau beranjak dari tempatmu?"
"Untuk apa?"
"Barangkali kamu ingin makan? Minum? Atau sekadar melepas penat?"
"Memang sih aku sudah mulai lapar dan haus. Tapi..."
"Kamu takut terjadi sesuatu dengan dirimu?"
"Tidak. Sama sekali tidak. Aku sedang ingin menyendiri saja. Menjauh dari keramian"
"Bagaimana kalau aku belikan barang secakir kopi dan sebungkus nasi?"
"Terima kasih. Tapi untuk apa? Aku pun bisa membelinya sendiri"
"Untuk menghilangkan lapar dan meneruskan misimu untuk menyendiri, menjauhi keramian"
"Terima kasih. Kamu baik sekali... Tapi ketahuilah, aku sudah mau mati"
"Setidaknya, aku bisa berbuat baik kepadamu sebelum kamu mati"
"Tawaranmu yang tulus sudah cukup membuatku kenyang dan lepas dari dahaga. Dan ketahuilah, aku sudah cukup bahagia!"
***
Safir seperti ahli nujum. Dia sudah tahu kapan dan dimana ia hendak meninggal dunia. Jam dan menitnya pun dia sudah tahu. Bahakan, dengan cara apa dia meninggal dia sudah tahu....
Barangkali, kata kebahagian yang meluncur dari mulutnya ditujukan pada kepastian hidup yang sudah bukan misteri lagi baginya. Dia sudah mengetahui kematiannya. Dia mempersiapkan dengan baik untuk itu semua. Dan yang terpenting, dia tidak takut menghadapinya. Justru dia menjemput kedatangannya, dengan tawa dan puasa.
***
Matahari mulai meninggi. Dia berdiri dari duduk dan lamunnya serta merapikan rambutnya. Safir berjalan menuju ke tengah-tengah kota. Aku mengikutinya dari kejauhan, tepat seperti pesannya kepadaku.
Jalannya ia percepat. Ia seperti mengejar waktu dimana saat pembebasannya tiba. Pasar, perempatan, rel kereta, dan bioskop ia lalui. Sampailah dia di jantung kota, dimana sudah berkumpul ribuan demonstran. Sesaat, dia berhenti dan melihat jarum jam pada tangannya.
Safir tampak dari kejauhan. Terkadang, ia lenyap di tengah-tengah lautan massa. Namun, segera saja dia mucul di barisan paling depan. Masih saja dia sembat membuang senyum....
Duar.... Duar.. Duar....
***
Kupandangi gambar itu.. Potret sahabatku, Safir.
Sisi kota,
24 April 2007
***
Safir. Itulah namanya. Aku kenal dia saat menyusuri sisi kota pada waktu senja. Saat itu, dia sedang duduk dan melamun pinggir alun-alun tua. Lamunnya melintasi batas-batas kota. Mempertemukan aku dan dia dalam satu titik harmoni. Tanpa kata tanpa bicara.
Perjumpaanku dengan Safir adalah perjumpaan saat aku sampai disebuah persimpangan. Di sana, aku merasa bimbang. Bukan sekadar bingung menentukan arah jalan yang harus aku lanjutkan. Tapi, aku sudah tidak tahu lagi, jalan mana yang harus kutuju. Di benakku, semua menjadi buntu. Tanpa arah.
Ketika aku turun dari laju roda kendaraanku, saat itu juga mataku menabrak paras perempuan itu. Ia diam tak bergeming. Tatapnya kosong. Pucat pasi mukanya. Seolah, jiwanya melayang bersama lamunya.
Senyum kulemparkan. Tawa kuumbar. Tetap saja, tanpa balasan. Aku sengaja duduk di sampingnya. Tanpa bermaksud mengusik dia dalam dunianya, aku pun bermaksud melepas lelah. Setelah benakku penuh terisi pertanyaan-pertanyaan seputar jalan mana yang harus kuikuti.
Aku berharap bisa menghilangkan kebimbangan yang sedang menghantui hati dan pikirku dengan menemukan seorang teman baru. Ternyata, tidak. Dia sungguh sibuk dengan dirinya sendiri. Tapi aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Kusulut sebatang rokok. Kunikmati asapnya yang merayap sampai ke paru-paruku. Kubuang sisanya, dan kuserap kenikmatan darinya. Kulihat perempuan itu menoleh dan tersenyum kepadaku. Kutawarkan rokok yang tinggal dua batang di dalam bungkusnya. Ia pun mengambil sebatang. Kunyalakan api untuknya. Dia tersenyum. Tanpa kata, tanpa bicara.
Aku dan dia pun sama-sama tidak mau memulai pembicaraan.
Dia mulai lagi melanjutkan lamunnya. Mukanya mulai tampak memerah ketika salah satu cahaya lampu kota yang baru saja menyala menerpa wajahnya. Kedamian begitu nyata dia rasakan. Aku menjadi iri. Karena, aku masih juga berkutat pada pertanyaan-pertanyaan seputar hidupku.
Sepertinya, dia sudah tidak lagi memedulikan hidupnya. Tapi sepertinya justru dia menjadi hidup ketika bayang-bayang kematian dan masa depan sudah dia tanggalkan. Sepertinya, dia juga sudah tidak peduli dengan dunia. Atau, sebaliknya, dia sedang kalut karena ulah dunia?
Sebenarnya, aku tak tahu persis apa yang sebenarnya dia pikirkan. Aku hanya bisa menebak-nebak. Sepertinya.. sepertinya...
Aku tidak mau terjebak dalam situasi ini. Aku ingin melanjutkan perjalannku meninggalkan kota. Aku berdiri. Kulanjutkan langkah kakiku. Kutinggalkan perempuan serba putih itu dalam lamunnya. Ia pun melambaikan tangan. Senyum kembali terkemabang.
***
Dentum musik menggema keras di lantai dansa. Muda-mudi turun ke sana penuh suka-cita. Tawa-canda berlomba-lomba. Tarian menjadi satu dengan gerak alkohol yang mengalir dalam tubuh-tubuh segar itu.
Melepas penat, kujatuhkan badanku di sofa pojok bar yang terlambat tutup itu. Kuamati lekat-lekat satu-satu pengunjungnya. Tak kukenal seorang pun. Aku menjadi seorang asing di sana. Tanpa peduli keadaanku, kuikuti alunan musik dan kuleburkan penat ini dalam melodinya. Kutenggak botol-botol minuman. Kurasakan dia bekerja. Aku mabuk dibuatnya.
Saat aku melayang, aku berjumpa kembali dengan Safir. Dia masih saja duduk di tepi alun-alun sisi kota. Dia masih seperti semula. Menatap langit, duduk dan memeluk kedua kakinya. Dalam temaram cahaya lampu kota, aku melihat dia begitu berkilau-kilauan. Dia belum juga berbicara dengan siapa pun.
Perjumpaanku dengan dia kali ini berbeda. Kali ini, aku sudah sedikit mengetahui apa yang ada dalam benaknya. Ada resonansi antara anganku dan angannya. Dan aku yakin, dia juga menyadari kehadiaranku. Walaupun tanpa persentuhan, dan kata-kata perjumpaanku dengan dia kali ini adalah benar-benar nyata.
Frekuensi getaran jiwa yang sama, menambatkan kami pada suatu dimensi ruang dan waktu yang tak begitu penting lagi. Safir, sedang galau. Begitu pun aku. Safir sedang resah karena diburu beribu serdadu. Sedangkan aku resah karena sedang memburu impian, ingin hidup mengikuti jejaknya, dalam caraku sendiri.
Safir adalah seorang penulis. Ia baru saja pulang dari daerah konflik. Beritanya membeberkan kelakuan serdadu-serdadu, menjadi bumerang bagi dirinya. Safir ibarat musuh utuma serdadu itu kali ini.
Misi keamanan yang dijanjikan penguasa, menjadi mimpi kelabu dan petaka bagi ratusan gadis dan ibu-ibu. Itulah inti cerita Safir. Dari kemampuannya merangkai kata, dia mampu menyulut amarah dan geram para perempuan, orangtua, mahasiswa, aktivis-aktivis di seluruh belahan dunia. Dalam waktu sekejap, ia menjadi terkenal di mana-mana. Namun, ia justru menghilang, menyendiri, dan menjauhi setiap keramian.
Ternyata, dari tulisan itu, tahta penguasa bergoncang. Dan pada akhirnya tumbang tak bersisa. Karena, penguasa yang juga bekas serdadu itu harus bertanggungjawab atas ulahnya sewaktu dia menjadi jendral dan memimpin operasi itu.
***
Dini hari, ketika embun pagi mulai turun dan membasahi dedaunan. Kutemui Safir kembali. Tepat, dimana perjumpaanku pertama dengannya. Aku hendak menemaninya dari galau yang sedang merenggutnya. Ia sudah menduga kehadiranku yang kedua. Dan aku pun sangat yakin dia masih di sana, di sisi kota.
"Hai..."
"Ya.."
"Kamu baik-baik saja"
"Tentu saja"
"Terima kasih, kamu kembali ke sini"
"Kamu tidak mau beranjak dari tempatmu?"
"Untuk apa?"
"Barangkali kamu ingin makan? Minum? Atau sekadar melepas penat?"
"Memang sih aku sudah mulai lapar dan haus. Tapi..."
"Kamu takut terjadi sesuatu dengan dirimu?"
"Tidak. Sama sekali tidak. Aku sedang ingin menyendiri saja. Menjauh dari keramian"
"Bagaimana kalau aku belikan barang secakir kopi dan sebungkus nasi?"
"Terima kasih. Tapi untuk apa? Aku pun bisa membelinya sendiri"
"Untuk menghilangkan lapar dan meneruskan misimu untuk menyendiri, menjauhi keramian"
"Terima kasih. Kamu baik sekali... Tapi ketahuilah, aku sudah mau mati"
"Setidaknya, aku bisa berbuat baik kepadamu sebelum kamu mati"
"Tawaranmu yang tulus sudah cukup membuatku kenyang dan lepas dari dahaga. Dan ketahuilah, aku sudah cukup bahagia!"
***
Safir seperti ahli nujum. Dia sudah tahu kapan dan dimana ia hendak meninggal dunia. Jam dan menitnya pun dia sudah tahu. Bahakan, dengan cara apa dia meninggal dia sudah tahu....
Barangkali, kata kebahagian yang meluncur dari mulutnya ditujukan pada kepastian hidup yang sudah bukan misteri lagi baginya. Dia sudah mengetahui kematiannya. Dia mempersiapkan dengan baik untuk itu semua. Dan yang terpenting, dia tidak takut menghadapinya. Justru dia menjemput kedatangannya, dengan tawa dan puasa.
***
Matahari mulai meninggi. Dia berdiri dari duduk dan lamunnya serta merapikan rambutnya. Safir berjalan menuju ke tengah-tengah kota. Aku mengikutinya dari kejauhan, tepat seperti pesannya kepadaku.
Jalannya ia percepat. Ia seperti mengejar waktu dimana saat pembebasannya tiba. Pasar, perempatan, rel kereta, dan bioskop ia lalui. Sampailah dia di jantung kota, dimana sudah berkumpul ribuan demonstran. Sesaat, dia berhenti dan melihat jarum jam pada tangannya.
Safir tampak dari kejauhan. Terkadang, ia lenyap di tengah-tengah lautan massa. Namun, segera saja dia mucul di barisan paling depan. Masih saja dia sembat membuang senyum....
Duar.... Duar.. Duar....
***
Kupandangi gambar itu.. Potret sahabatku, Safir.
Sisi kota,
24 April 2007