Musim panas lewat sudah. Daun-daun di pepohonan di sisi kanan dan kiri jalanan sisi kota terilhat hijau cerah memuda. Ketika tiba-tiba hujan mendadak mengguyur, tampak orang-orang berrebutan berteduh pada emper-emper rumah. Burung-burung pun demikan. Mereka mencari tempat untuk sekadar menghangatkan badan. Dalam gemuruh musim penghujan yang baru saja datang, air hujan sejatinya belum bisa membasahi tanah yang baru saja dibakar kemarau sampai kerontang. Kadang hujan turun lebat dalam sehari, dan kadang ia tidak muncul dalam beberapa minggu. Terang dan gelap, hujan dan panas berganti-gantian tiada terduga.
Saturday, December 31, 2011
Cerita tentang Cinta dan Pengakuan
Ada sepasang kekasih. Laki-laki dan perempuan. Suatu hari, lelaki itu menghadapi sebuah ujian akademis. Tampak lelaki itu gugup, tidak merasa siap. Kekasihnya pun larut dalam suasana tegang itu. Perempuan itu izin dari tempatnya bekerja. Ia memilih untuk menemani dan menyemangati lelakinya.
Beberapa hari sebelumnya, lelaki itu sudah berniat untuk tidak menghadiri ujian. Ia ingin menghidari kenyataan. Tahu bahwa kekasihnya sedang berada dalam masa-masa susah yang sangat menentukan, perempuan ini sudah bertekad membantu sekuat tenaga untuk menembuhkan kepercayaan diri dari lelakinya. Ia mencoba melibatkan diri meski ia sebenarnya tiada menguasai. Ia paksa dengan segala macam cara. Tujuan satu; lelakinya berani menghadapi kenyataan dan tidak melarikan diri.
Mimpi-mimpi Malam
Ruang ini rasanya sudah asing dengan dirinya sendiri. Padahal, tempat ini dahulu dicipta untuk menyampaikan sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang tidak terungkapkan, jeritan-jeritan lirih yang berteriak dari pedalaman hati. Memasuki ruang ini akhir-akhir ini, lebih seperti masuk ke dalam sebuah jurnal akademis dengan penulis tunggal. Ke mana kata hati? Ke mana engkau bersembunyi? Apakah ketika kognisi lebih diberi ruang, sisi afeksi kemudian menghilang, dan rasanya susah sekali untuk diungkapkan? Ah, rasanya tidak.
Ruang ini adalah gambaran apa-apa saja yang sedang melintas di pikiran dan perasaanku. Ini pun tetap menjadi jejak-jejak kecil peziarahanku dalam mencari makna kehidupan. Dari sini justru terlihat bahwa aku terus bergerak, terus berdinamika. Bahwa ketika masih ada pergerakkan, di sana sebenarnya aku masih hidup. Dan untuk kehidupan itu sendiri aku sungguh bersyukur. Rasa syukur yang justru aku layangkan untuk kemampuanku bertahan dalam melewati jalanan terjal, berliku dan menanjak. Semua itu tentu tidak mudah dijalani.
Friday, December 30, 2011
Tribute to My Thesis
El camino se hace al andar
(Jalan itu ditemukan saat berjalan)
Adalah sebuah anugerah bagi penulis dapat menyelesaikan seluruh proses studi selama hampir dua tahun di Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Anugrah itu penulis yakini datang dariNya dan penulis terima melalui kebaikan hati orang-orang yang pada kesempatan ini ingin penulis sebutkan secara khusus.
Monday, December 26, 2011
Romo Adi Sang Pemula
Semalam ia terjaga. Menanyakan tentang apa itu kematian? Apakah besok dirinya mau mati? Dan ia tidak bisa lagi mengenali penyakit apa sebenarnya yang sedang menggerogoti tubuhnya –yang sudah 5 tahun ini selalu rutin cuci darah.
Begitu kira-kira Pastor Kristiono Puspo, SJ menuturkan percakapannya dalam Bahasa Jawa bersama Romo Josephus Adi Wardaya, SJ empat hari sebelum Tuhan memanggilnya. Dari balik kaca bangsal ICU nomor 315 Rumah Sakit Saint Carolus, Jakarta, Minggu (4/12), Si Mbah –begitu Romo Adi akrab disapa sahabat-sahabatnya– terbaring dengan selang infus, alat bantu pernafasan, dan beberapa perangkat medis lain yang menempel di tubuhnya. Namun tiada pasrah terlihat dalam tidurnya. Penyakit itu ingin ia taklukkan.
***
“Ada seorang pemuda yang sangat menggandrungi sepak bola. Setiap sore, ia habiskan waktunya untuk berlatih dan bermain sepak bola. Sepak bola seolah menjadi satu-satunya kecintaannya. Ia adalah John Brechman, pemuda Belgia,” cerita Romo Adi dalam sebuah misa komunitas Rekoleksi Gereja Memasyarakat di Civita Youth Camp sekitar tahun 2003.
Dalam rutinitasnya berlatih sepak bola, Brechman mendadak dikejutkan dengan sebuah peristiwa yang pada akhirnya membuat ia tahu bahwa besok malam adalah hari terakhirnya. Ia akan “dipaksa” mangkat oleh Si Empunya kehidupan, lanjut Si Mbah dalam khotbahnya.
“Tau teman-teman apa yang dilakukan Brechman pada hari terakhir saat hidupnya?”
Anggota komunitas yang semuanya adalah orang-orang muda itu hanya saling beradu pandang. Tiada yang memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan terbuka saat homili berlangsung. Memecah keheningan, Romo Adi menjawab pertanyaannya sendiri.
“Brechman sore itu seperti hari-hari sebelumnya, berlatih sepak bola. Tentu sebelumnya dia berfikir untuk pergi ke tempat ibadah untuk mengaku dosa atau menemui orang-orang tercintanya atau memuaskan keinginan yang selama ini belum ia dapatkan, atau bahkan menyumbangkan segala yang ia miliki untuk yang papa. Namun, pilihan-pilihan itu tidak diambil Brechman. Ia tetap menjalani kehidupan sesuai ‘lakon’ hidupnya, sebagai pesepakbola,” pungkas Pastor yang hampir seluruh masa kerjanya menjadi pendamping mahasiswa dan orang muda itu.
***
John Brechman siapa pun dia, entah itu tokoh yang benar-benar ada atau cerita rekaan Romo Adi tentu bukan hal yang ingin dipersoalkan. Namun, inti yang ingin disampaikan dari cerita itu tak lain adalah semangat kejujuran untuk menjadi diri sendiri dan tanpa kepura-puraan, meski maut segera menjemputnya. Cerita tersebut bisa jadi adalah kritik sosial Adi Wardaya terhadap praktik kepura-puraan dalam hidup beragama. Praktik yang lebih menunjukkan sisi simbolik daripada yang esensi pencarian dan perwujudan iman. Cerita Brechman adalah cerita kematian yang pernah keluar dari mulutnya.
Semasa aktif menjadi pendamping orang muda, Romo Adi terus menggelorakan semangat perlawanan kepada tirani kekuasaan yang korup. Dengan radikal, ia pernah berbagi semangat dalam satu makalah yang judulnmya terinspirasi sajak Widji Tukul, “Suatu Ketika Tembok-tembok Itu Harus Diruntuhkan”.
Meski tajam, keras dan langsung menusuk ke jantung persoalan, Romo Adi adalah sosok humanis dan pencinta damai sesungguhnya. Di sana, ia memompakan semangat aktif tanpa kekerasan. Ia juga menulis sebuah syair lagu apik, “Merombak Tanpa Merusak”.
“Tak Menanti Sempurna” adalah semangat lain yang ia ingin ada dalam batin setiap orang muda untuk mengambil bagian dalam hidup bermasyarakat. Sekecil apa pun itu. Semangat tak menanti sempurna adalah spirit Nabi Yeremia ketika ia mendapati panggilan Allah. “Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apa pun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah engkau sampaikan. Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau…” (Yeremia 1: 7-8).
Dalam hidup keseharian, perasaan rendah diri, tidak siap, malu-malu, tak jarang muncul dalam hati orang muda. Karena usia mudanya, sering orang muda menolak tawaran untuk berkarya, menolak diberi tanggungjawab, dan ragu-ragu mengambil keputusan. Orang muda kadang minder dan menunda tugas karena merasa belum banyak pengalaman, tidak layak, tidak mampu, dan belum sempurna. Tapi semangat tak menanti sempurna inilah yang mendobrak kecenderungan itu, menciptakan optimisme untuk mulai bergerak (bdk. Tak Menanti Sempurna: XV).
***
Pribadi Joseph Adi Wardaya terbilang langka sebab ia memiliki dua sifat mulia sekaligus; berani dan bijak atau yang tercermin dalam pribadi ksatria sekaligus brahmana. Jika Shindunata dalam “Anak Bajang Menggiring Angin” dengan sangat jenius mengilustrasikan kedua sifat tersebut dalam personifikasi sosok Kumbakarna yang lebih bersifat brahmana yang bijak sementara adiknya Wibisana yang bersifat ksatria yang berani dan tidak bisa sedikt pun memberi maaf melihat zalim kelakuan kakak sulungnya Rahwana. Wibisana dengan gagah berani menantang Rahwana meski nyawanya menjadi taruhannya (bdk. Anak Bajang Menggiring Angin: 188). Sementara, Kumbakarna tetap memilih membela negaranya yang –dengan sadar mengakui angkara murka di negaranya– dengan keyakinan benih-benih kebaikkan akan tumbuh di negeri Alengka. Lebih-kurang, Romo Adi adalah perpaduan keduanya.
Kepribadiannya yang unik tersebut diteruskan melalui pemikirannya yang menentang dikotomi-dikotomi sosial. Menurutnya cara pandang dikotomi tersebut menjadi masalah utama keberimanan seseorang. Di satu sisi mengaku beriman, namun di sisi lain tetap melakukan kejahatan dengan segala bentuk dan derajatnya. Ia kerap mengilustrasikan dengan contoh ini, “Kalau Sabtu atau Minggu ke gereja, sementara Senin sampai Jumat korupsi jalan terus!”
Sikap perlawanan terhadap dikotomi tersebut ia tuangkan juga dalam visi menggerejanya untuk membangun orang muda. Baginya, pendidikan iman bagi orang muda tidak bisa dilepaskan dari soal-soal kemanusiaan universal. Menggereja sekaligus memasyarat.
Orang muda Katolik, baginya adalah bagian dari gereja yang tak tarpisahkan dari masyarakatnya. Maka menurutnya, orang muda Katolik dituntut untuk aktif dalam bermasyarakat, bergaul dengan sesamanya, menggumuli persoalan sehari-hari, untuk terus mengusahakan terwujudnya kerajaan Allah di dunia hadir dan bisa dicecap bersama-sama anggota masyarakat lain.
Sewaktu menjabat sebagai Ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Jakarta (1998-2004), pemikirannya terfragmen dalam program-program yang dijalankan bersama para volunteer-nya. Rekoleksi Gereja Memasyarakat, Pekan Studi Islam, Studi HAM dan Gender, adalah sedikit contoh nama programnya.
Metode pendampingan orang muda yang ia pakai adalah cara pembelajaran orang dewasa. Di mana, ia lebih memilih menjadi sebagai pendamping dari pada pembimbing orang muda.
Menurut penjelasannya, kata pendamping lebih menunjukkan sisi positif dalam melihat orang muda. Bahwa orang muda menyimpan potensi dan hanya perlu didampingi saja untuk berjalan bersama menuju visi pembaruan. Atau dalam istilah yang lebih popular, Romo Adi mengajak orang muda untuk “learning by doing.” Sementara pembimbing, maknanya lebih skeptis terhadap orang muda. Ada yang salah dalam diri orang muda sehingga mereka patut dibimbing.
“Bagaimana jika pembimbingnya adalah seorang koruptor?” tanya Adi Wardaya.
Dia juga memiliki harapan besar terhadap angkatan muda. Baginya, orang muda bukanlah generasi penerus masa depan, namun mereka adalah pemilik dan penentu hari depan. Argumentasinya, jika generasi muda disebut sebagai penerus, maka jika generasi sebelumnya adalah generasi yang korup dan perusak lingkungan apakah generasi muda akan meneruskan saja generasi sebelumnya?
***
Kamis malam di depan peti jenazah di dalam kapel Kolese Kanisius, Menteng, pastor itu terbaring dalam damai dikelilingi murid dan sahabat-sahabatnya. Romo Adi wafat tepat pada Hari Raya Maria Dikandung tanpa Noda, 8 Desember 2011 pukul 17.36 WIB. Adi Wardaya, meninggal dunia tepat setelah 33 tahun ditahbiskan. Si Mbah yang lahir di Jombor, Klaten, 31 Maret 1949 itu barangkali adalah John Brechman itu sendiri yang sederhana, bersahaja dan jauh dari kesan ingin populer. Namun demikian, Romo Adi adalah “Sang Pemula” yang memberikan kesempatan dan kepercayaan penuh kepada orang muda untuk terlibat aktif dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan di Indonesia. Romo, Selamat berpulang ke pangkuan Bapa! [ ]
Catatan: Pepatah Latin mengatakan, ‘de mortuis nihil nisi bene,’yang lebih kurang berarti 'tentang orang yang sudah meninggal, tak ada dikatakan kecuali yang baik’.
[Tulisan ini telah dimuat di Majalah HIDUP edisi 52 tanggal 25 Desember 2011. Namun menurut konfirmasi karena keterbatasan ruang maka pihak HIDUP memotong tulisan ini. Versi asli saya terbitkan di sini]
Monday, December 5, 2011
Mengutuk Polisi dalam Kasus Cikeusik
Tragedi kemanusiaan terjadi di Cikeusik Banten pada Minggu pagi, 6 Februari 2011 ketika ratusan massa melakukan penyerangan, pengeroyokan dan penganiayaan terhadap jemaah Ahmadiyah yang pada akhirnya menewaskan 3 orang. Padahal, polisi (sebagai aparat negara) telah mengetahui adanya rencana penyerangan tersebut. Polisi beralasan bahwa pihaknya kekuarangan aparat yang bertugas di lokasi. Tentu hal ini menjadi alasan bodoh karena sebenarnya mereka sudah mengetahui akan adanya rencana penyerangan.
Masalahnya di sini adalah polisi justru tidak bisa memberikan jaminan rasa aman bagi warga. Ketika polisi mengetahui rencana penyerangan yang akan terjadi di Cikeusik, hal yang justru dilakukan polisi adalah ingin “mengevakuasi” pemilik rumah dan tamu-tamunya. Sementara, merasa diri mereka tidak melakukan pelanggaran hukum, maka pemilik rumah beserta tamunya tiada mau menerima ajakan polisi untuk “diamankan”.
Cara penanganan polisi yang tidak berani menangkap para penyerang dan justru “membiarkan” kejadian ini terjadi sampai merenggut nyawa 3 jemaah Ahmadiyah adalah hal yang patut dikutuk. Aparat kepolisian kalah terhadap para penyerang!
Apakah lantaran mereka yang ada di dalam rumah tersebut adalah penganut Ahmadiyah sehingga polisi membiarkan hal ini terjadi? Jika memang itu alasannya, maka polisi sudah melakukan diskriminasi terhadap warga Ahmadiyah yang juga warga negara Indonesia yang seluruhnya berhak mendapat rasa aman.
Segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat. Bagaimanapun, terutama hak untuk beragama dan berkeyakinan adalah non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak dapat ditunda atau ditangguhkan pemenuhannya. Hak dan kebebasan tersebut mendapat jaminan pemenuhannya pada konstitusi (amandemen UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan 2, Pasal 28I ayat 1, dan Pasal 29 ayat 2) dan Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR 1966) yang sudah diratifikasi, termasuk juga pasal 20, 26, dan 27, serta Deklarasi PBB 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama atau Keyakinan.
Melihat alasan-alasan tersebut tentu polisi (khususnya Polda Banten) dalam hal ini sebagai aparat negara telah gagal menjalankan fungsinya menjamin rasa aman tanpa diskriminasi bagi warna negara Indonesia. Jika ini tak segera dibenahi, apakah hukum rimba sebenarnya de facto telah menggantikan Indonesia sebagai negara hukum? Perlu ditegaskan di sini, polisi pun digaji dari APBN yang salah satu elemennya berasal dari pajak yang dibayarkan warga negara Indonesia, termasuk jemaat Ahmadiyah!
Monday, November 28, 2011
Timor Leste dan Dosa-dosa Internasional
Timor Leste adalah salah satu negara yang bisa mengirup udara merdeka pada abad ke-21 setelah melewati sejarah panjang konflik. Sejarah Timor Leste adalah sejarah invasi.[1] Invasi yang dilakukan oleh Portugal dan Indonesia, tidak lepas dari dukungan negara-negara besar di dunia. Dosa-dosa internasional inilah yang sedikit akan dibahas dalam tulisan singkat ini.
Pada tahun 1974, krisis politik di Portugal mengakibatkan Timor Portugal (Timor Leste) tidak memiliki status yang jelas. Portugal[2] tidak bisa secara efektif lagi memerintah Timor Portugis. Terjadi semacam kekosongan kekuasaan yang menyebabkan pertikaian antara asosiasi politik lokal UDT[3] dan ASDT (kemudian berubah namanya menjadi Fretelin).
Pada 28 November 1975 Fretelin mendeklarasikan kemerdekaannya. Kemudian anggota UDT, Apodeti, Trabnalista dan Kota menandatangangai Deklarasi Balibo di Bali, yang intinya mendukung integrasi ke wilayah RI. Hal ini dianggap sebuah pemberontakan oleh Fretelin dan mereka melakukan operasi militer yang menyebabkan perang sesama warga Timor.
Kejadian ini memicu masuknya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada Agustus 1975 masuk ke Timor Leste dan pada bulan Desember 1975 adalah tragedi berdarah paling mengerikan di sana. Diperkirakan sekitar 60 ribu penduduk Timor Leste tewas akibat invasi militer Indonesia. pada 27 Juli 1976, Timor Leste resmi menjadi Provinsi ke-27 RI dengan nama Timor-Timur.
Jakarta kepada dunia internasional menggunakan dalih perang melawan komunis sebagai justifikasi apa yang telah dilakukan oleh ABRI saat itu. Yang menjadi persoalan di sini adalah, mengapa selama masa pendudukan Indonesia di Timor Leste, pemerintah negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan khususnya Australia cenderung membiarkan hal ini terjadi. Padahal, mereka kerap mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa alasan sejatinya mengapa mereka ‘pura-pura’ tidak tahu adanya pelanggaran HAM di sana? Padahal, banyak sumber menyebutkan, mereka justru terlibat secara tidak langsung dengan mendukung kebijakan Soeharto.
Berbagai dukungan atas sikap politik Soeharto pun datang. Saran Duta Besar Inggris Sir Archibald Ford ke London anatar lain:
“Bahkan tanpa intervensi Soviet atau China, wilayah tersebut dapat menjadi “anak bermasalah” [di kawaan ini]… Bagi Inggris, lebih baik jika Indonesia mengintegrasikan wilayah tersebut… dan jika ada krisis perdebatan di PBB, kita semua harus diam dan tidak mengambil posisi yang menentang Indonesia[4]”.
Sikap di ASEAN bermacam-macam, mulai dari Singapura yang sangsi terhadap niat Jakarta sampai Malaysia yang menjadi pendukung utama Jakarta. Persekutuan dalam Perang Dingin bukan menjadi satu-satunya alasan mengapa berbagai Negara di kawasan tersebut mendukung Indonesia. Jepang memiliki kepentingan ekonomi yang besar di Indonesia, dan menjadi semakin bergantung pada minyak dan gas alam Indonesia untuk mendorong ekomomi Jepang yang tengah berkembang pesat.
Kebijakan Australia mengenai Timor Portugis didasarkan pada keinginannya untuk membentuk kembali kebijakan luar negerinya secara keseluruhan dengan member warna regional dan khususnya memperbaiki hubungannya dengan Indonesia. PM Australia, Gough Whitlam, berpandangan sama dengan Indonesia, bahwa Timor –Leste yang merdeka bukanlah opsi yang baik dan diberi tahu bahwa aneksasi Timor Portugis sudah menjadi kebijakan Indonesia yang ‘tetap’. Apapun niat dia sebenarnya, dalam kedua pertemuan dengan Presiden Soeharto pada 1974-1975, Whitlam memberi Presiden Soeharto kesan yang kuat bahwa ia melihat perlunya pengambilalihan oleh Indonesia, bahkan meski mengakui pengtingnya menegaskan prinsip penentuan nasib sendiri[5].
Setelah invasi Timor-Leste, pejabat-pejabat Indonesia menghidupkan kembali argumen historis (dan etnis) bagi integrasi. Dalam pidatonya di hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 13 Desember 1975, enam hari sesudah invasi Dili dan sepuluh hari setelah ia menyangkal mengenai ambisi territorial Indonesia di Timor Portugis, Duta Besar Indonesia untuk PBB Anwar Sani menyatakan[6]:
Perkenankan saya terlebih dahulu menjelaskan mengapa Indonesia sangat peduli akan apa yang terjadi di Timor Portugis. Timor Portugis adalah bagian dari Pulau Timor, bagian lain dari pulau tersebut adalah wilayah Indonesia. Timor terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia, satu dari ribuan pulau yang membentuk kepulauan. Penduduk Timor Portugis… berasal dari etnis yang sama dengan penduduk yang berada di wilayah Indonesia. Pemisahan selama 450 tahun karena dominasi kolonial tidak menghapuskan ikatan erat darah dan kultur antara penduduk wilayah ini dan kerabat mereka di Timor Indonesia. Kedekatan geografis dan kekerabatan etnis adalah alasan-alasan penting mengapa Indonesia sangat peduli dengan keamanan dan stabilitas di Timor Portugis, tidak hanya karena kepentingan Indonesia sendiri tetapi juga untuk kepentingan seluruh wilayah Asia Tenggara[7]
Tidak Sekadar Tanggungjawab Indonesia
Menurut laporan CAVR[8] yang berjudul Chega![9] didapati bahwa persoalan pelanggaran HAM di Timor Leste tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah Indonesia. Selain pemerintah Indonesia, dalam laporan tersebut juga berkesimpulan bahwa pemerintah Portugal, Australia, Amerika Serikat, dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga bertanggungjawab terhadap berbagai kasus yang menyebabkan jatuhnya ratusan ribu korban sipil di Timor Leste selama kurun waktu tahun 1974-1999[10].
Kesimpulan CAVR adalah Pemerintah Indonesia bertanggung jawab karena mengabaikan hak rakyat Timor atas penentuan nasib sendiri dan melakukan pendudukan militer yang dicirikan oleh represi kekerasan, yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat[11]. Selain itu, CAVR juga menyimpulkan tanggung jawab Pemerintah Indonesia atas pelanggaran yang dilakukan anggota pasukan keamanan Indonesia dan petugas pemerintah[12].
Portugal juga melanggar hak rakyat Timor atas penentuan nasib sendiri. Dalam pandangan CAVR, Portugal mengambil langkah yang tidak memadai untuk mencegah invasi Indonesia yang jelas bisa diperkirakan. Meskipun akhirnya Portugal akhirnya meminta bantuan masyarakat internasional, Portugal seharusnya melakukan ini lebih awal. Dengan alasan ini, CAVR berkesimpulan bahwa Portugal tidak memenuhi kewajibannya sebagai penguasa, termasuk kewajiban untuk melindung rakyat Timor Leste dari bahaya[13].
Australia punya andil besar dalam pengabaian hak rakyat dalam penentuan nasib sendiri sebelum dan sesudah pendudukan Indonesia. CAVR berkesimpulan kebijakan Australia tentang Indonsia dan Timor-Leste selama periode ini dipengaruhi tidak hanya oleh kepentingan menjaga hubunganbaik dengan Indonesia, tetapi juga oleh penilaian bahwa Australia akan bisa mengambil keuntungan dalam perlindungan mengenai batas maritim di Timor apabila melakukan perundingan dengan Indonesia dan bukannya Portugal atau sebuah Negara Timor-Leste yang merdeka.
CAVR juga berkesimpulan dari penelitiaannya bahwa cara Australia mempresentasikan pendiriannya memperkuat keinginan Pemerintah Indonesia untuk mengambil wilayah Timor-Leste[14]. Kesimpulan lain adalah selama pendudukan Indonesia berbagai pemerintahan di Australia tidak hanya mengabaikan hak rakyat Timor atas penentuan nasib sendiri, tetapi secara aktif terlibat dalam pelanggaran hak rakyat Timor. Setelah mendukung resolusi pertama pada 1975 pemerintah Australia menentang atau bahkan abstain dari resolusi-resolusi Majelis Umum PBB setelahnya yang mengakui hak rakyat Timor atas penentuan nasib sendiri.[15]
Selain tidak mendukung atas hak menentukan nasib sendiri Amerika Serikat juga member dukungan politik dan militernya dalam invasi dan pendudukan Indonesia.[16] Meski dalam tragedi Santa Cruz Amerika telah membatalkan kerjasama militer dengan Indonesia oleh CAVR dinilai sebagai tindakan reaktif. Sementara pelanggaran besar-besaran pada September 1999 ketika Presiden Clinton menggunakan pengaruh besar AS untuk menekan pemerintah Indonesia untuk menerima kehadiran pasukan internasional di wilayah Timor-Leste, CAVR berkesimpulan pengaruh besar AS mengapa tidak dimanfaatkan lebih awal jika saja AS mau[17].
Terhadap PBB, CAVR menyimpulan PBB mengambil tindakan yang tidak memadai untuk melindungi hak rakyat Timor Leste atas penentuan nasib sendiri selama periode invasi dan pendudukan. Sidang Umum mengeluarkan resolusi mengenai situasi di Timor-Leste setiap tahun sejak 1975-1982. Selama periode tersebut teks resolusi semakin melemah dan sejumlah Negara yang memilih mendukung resolusi semakin berkurang. Tahun 1981 hanya sekitar sepertiga Negara anggota PBB menyetujui resolusi yang mendukung tahun itu.
Dewan Keamanan sebagai lembaga PBB yang bertanggung jawab menjaga perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 24 [1] Piagam PBB), berada pada posisi paling sesuai untuk menyelesaikan persoalan Timor-Leste. Meskipun Dewan Kemanan mengutuk invasi Indonesia tahun 1975 dan sekali lagi pada 1976, menurut CAVR Dewan Kemanan tidak melakukan tindakan penegakan hukum sesuai pasal VII. Maka, CAVR berkesimpulan Dewan Keamanan tidak memenuhi kewajiban sesuai prinsip dan tujuan PBB serta kewajiban khusus yang tertuang dalam Piagam lembaga ini.
CAVR juga berkesimpulan, lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB serta Jepang –anggota tidak tetap- mengutamakan kepentingan ekonomi dan strategis –selama periode pendudukan Indonesia- di atas tujuan dan prinsip PBB, yang harus mereka junjung sebagai anggota Dewan Keamanan. Seperti Amerika Serikat yang menyetujui penjualan senjata yang digunakan untuk melawan perlawanan penduduk sipil Timor-Leste[18].
Joseph Navins juga menemukan keterlibatan aktor-aktor internasional pada persoalan ini. Sikap diam mereka terhadap pelanggaran HAM di Timor Leste menyisakan sebuah persoalan yang terus dicari sebabnya. Pada masa pendudukan Jakarta, Navins melihat Canberra justru memanfaatkan situasi dengan mengeksploitasi perang penaklukan Jakarta dengan efektif mencuri sumberdaya Timor-Timur, pasca pendudukan ia kembali melanjutkan pencurian tersebut dengan metode diplomasi bilateral[19]. Sumber daya itu tak lain adalah cadangan minyak dan gas yang terkandung dalam perut laut Timor yang bernilai miliaran dolar. Satu wilayah yang secara hukum internasional merupakan wilayah Timor Leste.
Meski demikian, masyarakat internasional pula yang pada akhirnya berperan serta penuh dalam campur tangan referendum dan kemerdekaan Timor Leste.
[1] Portugal memasuki Timor tahun 1500an untuk mencari kayu cendana. Gereja Katolik mendirikan sebuah gereja di Lifau, Oecusse tahun 1590. Perang Belanda-Portugis menentukan siapa yang akan menguasai koloni tersebut. Pada 1709 administrasi Portugis pindah ke Dili. Pada 1850an Portugis memperluas wilayahnya ke sueluruh Timor Leste dan memaksa penduduk un tuk menanam kopi. Pernah terjadi pemberontakan akibat kerja paksa ini dan mengakibatkan sekitar 25.000 masyarakat lokal tewas. Politik adu domba yang dijalankan Portugis, berhasil memecah belah persatuan raja-raja lokal. Jepang sempat menduduki Timor, namun setelah Perang II selesai, Portugal kembali lagi ke sana melanjutkan kekuasaannya di bawah Presiden Salazar. Pada 25 April 1974 terjadi kudeta di Portugal yang pada akhirnya tidak bisa lagi efektif menjalankan pemerintahannya di sana. Terjadilah semacam kekosongan pemerintahan. Sumber: film Dalan ba Dame, dirilis oleh Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor –Leste (CAVR)
[2] Kepercayaan terhadap Presiden Salazar menurun dan terjadilah kup militer dipimpin oleh Jenderal Antònio Spínola-kemudia menjadi Presiden.
[3] UDT (União Democrática Timorense, Uni Demokratik Timor) didirikan 20 Mei 1974. Sembilan hari setelah berdirinya UDT, pada 20 Mei, Asosiasi Sosial Demokratik Timor (Asociação Social Democrata de Timor, ASDT) yang kemudian mengganti nama menjadi Fretelin didirikan pada September 1974
[4] J.R Walsh dan G.J Munster, Documents on Australian Defense and Foreign Policy 1968-1978, Hongkong, 1980. 192-193
[5] CAVR, Chega!, 175-176
[6] Ibid, 178.
[7] Dikutip dari pernyataan Duta Besar Sani kepada majelis Umum PBB 13 Desember 1975, dicetak ulang dalam Muchmuddin Noor, Lahirnya Propinsi Timor-Timur, Badan Penerbit Almanak Republik Indonesia, 1977. hal 271
[8] Comissiao de Acholhimento, Verdade e Reconciliacao atau Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor –Leste (CAVR). Komisi ini adalah komisi kebenaran pertama di Wilauyah Asia Pasifik. CAVR berjalan selama empat tahun, 2002-2005, dan merupakan satu otoritas resmi independen Timor-Leste. Komisi ini diberi mandate untuk menetapkan kebenaran mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di semua sisi, 1974-199, untuk membantu rekonsiliasi komunitas pada tindak kejahatan yang kurang berat, dan melaporkan mengenai temuan dan rekomendasinya.
[10] Laporan CAVR itu telah menetapkan secara ilmiah bahwa setidaknya 102.800 orang (penduduk sipil) mati dalam kurun waktu 1974-1999 karena sebab-sebab terkait konflik. Dari seluruh jumlah ini sekitar 18.600 orang dibunuh secara tidak sah atau hilang, dan setidaknya 84.200 orang mati karena kelaparan dan penyakit, Buku Panduan, hal 12
[11] Chega!, Vol. IV, Bagian 8: Tanggung jawab dan pertanggungjawaban, hal. 2622
[12] CAVR menyatakan bahwa Indonesia bertanggung jawab atas tindakan ABRI (baik TNI dan polisi pada 1999) serta tindakan unsur sipil pemerintah Indonesia (sesuai Pasal 4, ILC tentang Tanggung jawab Negara atas Tindak Pelanggaran Internasional). Serta terhadap pribadi-pribadi di mana Negara punya control atas orang tersebut, atau di mana orang tersebut bertindak atas perintah atau arahan Negara (Pasal 8, ILC tentang Tanggung jawab Negara atas Tindak Pelanggaran Internasional)
[13] Ibid. hal. 2626
[14] Ibid. hal. 2627
[15] Ibid. hal. 2628
[16] Atas dasar hubungan baik dengan Indonesia dan memandang Indonesia rezim antikomunis yang dinilai sebagai benteng penting menghadapi penyebaran paham komunis di Asia Tenggara. Ibid, hal 2629
[17] Ibid, 2630
[18] Ibid, 2631
[19] Joseph Navins, Pembantaian Timor-Timur, Horor Masyarakat Internasional, Galangpress, 2008, hal.
Wednesday, November 23, 2011
Di Balik Operasi Djakarta
Sejak berdirinya negara, Amerika Serikat (AS) telah memiliki filosofi untuk mendedikasikan dirinya mendukung demokarasi liberal dan penegakan hukum. Komitmen ini dapat ditemukan dalam beberapa dokumen penting termasuk Declaration of Independence, Konstitusi, dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Mulai dari George Washington sampai Barack Obama terus mengkliam dirinya bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) selama menjalankan pemerintahan baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam sejarah kebijakan luar negerinya, AS merupakan negara yang aktif melakukan ekspansi memperluas teritorialnya, ekonomi dan persebaran kultur negaranya. Akibatnya, sering terjadi konflik antara keinginannya mempromosikan demokrasi dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip HAM dengan kepentingan nasionalnya dalam hal keamanan maupun dalam memajukan ekonomi negaranya.
Pada masa Perang Dingin persoalan ini terjadi ketika AS mendukung sejumlah diktator sayap kanan di beberapa negara. Di Chile, AS mendukung kudeta militer pemerintahan Augusto Pinochet (1973-1990) yang didukung oleh operasi CIA dengan nama sandi "Operasi Djakarta." Pinochet kemudian, menjalankan pemerintahan secara otoriter yang kerap melakukan pelanggaran HAM dan anti demokrasi.
Persoalan ini tentu memunculkan beberapa pertanyaan di antaranya; Apa sebenarnya yang melandasi AS mendukung rezim Pinochet? Mengapa AS rela ‘mengorbankan’ politik idealnya? Dan apa sejatinya makna HAM dan demokrasi bagi politik luar negeri AS pada masa Perang Dingin?
Tentu saja, perilaku politik Amerika seperti ini banyak menuai kecaman dari negara-negara lain karena Amerika sering membanggakan dirinya sebagai kampiun dan garda demokrasi, dengan tradisi demokrasi yang kuat sejak deklarasi kemerdekaannya 4 Juli 1776 hingga kini.
Di titik inilah politik luar negeri AS kerap bertolak belakang terhadap nilai-nilai ideal yang diyakini AS, yaitu dukungan terhadap demokrasi dan pemajuan HAM. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa hal itu bisa terjadi? Di mana posisi nilai-nilai tersebut dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri AS?
Menggunakan pendekatan kualitatif dengan menganilisis data terutama dari dokumen-dokumen yang sudah dirilis Departemen Luar Negeri AS, buku-buku, jurnal dan sejumlah artikel di website, penelitian ini ingin menjawab berbagai pertanyaan di atas.
Tesis penelitian ini adalah sebuah konsep yang penulis sebut sebagai “capital securitizing”. Konsep capital securitizing merupakan definisi operasional yang ingin menjelaskan bagaimana cara kerja dari proses pembuatan kebijakan luar negeri AS yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ideal politiknya.
"Secara geografis boleh saja dikatakan bahwa negara Chile itu sangat jauh dari Indonesia. Namun demikian kasus-kasus yang dialami Chile dalam hal pengaruh Perang Dingin, cengkeraman modal asing serta ambiguitas pelaksanaan demokrasi sangat mirip dengan Indonesia. Dengan jeli buku ini menggambarkan semuanya itu dan kita bisa belajar banyak darinya."
Baskara T. Wardaya, penulis buku Cold War Shadow: United States Policy toward Indonesia 1953-1963.
Studi kasus Cile yang dibuat Daniel Awigra, menunjukkan bahwa idealisme demokrasi begitu kontradiktif di lapangan. Jaminan modal ternyata lebih kuat ketimbang idealisme demokrasi. Kasus yang sama akan terus melukai sejarah karena kata dan laku, idealisme dan praksis tidak hadir secara sinkron.
Robert Bala, Pemerhati Amerika Latin
Tesis penelitian ini adalah sebuah konsep yang penulis sebut sebagai “capital securitizing”. Konsep capital securitizing merupakan definisi operasional yang ingin menjelaskan bagaimana cara kerja dari proses pembuatan kebijakan luar negeri AS yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ideal politiknya.
-------
Berikut dua endorsement dari Baskara T. Wardaya dan Robert Bala setelah membaca tesis saya, berikut petikannya:
"Secara geografis boleh saja dikatakan bahwa negara Chile itu sangat jauh dari Indonesia. Namun demikian kasus-kasus yang dialami Chile dalam hal pengaruh Perang Dingin, cengkeraman modal asing serta ambiguitas pelaksanaan demokrasi sangat mirip dengan Indonesia. Dengan jeli buku ini menggambarkan semuanya itu dan kita bisa belajar banyak darinya."
Baskara T. Wardaya, penulis buku Cold War Shadow: United States Policy toward Indonesia 1953-1963.
Studi kasus Cile yang dibuat Daniel Awigra, menunjukkan bahwa idealisme demokrasi begitu kontradiktif di lapangan. Jaminan modal ternyata lebih kuat ketimbang idealisme demokrasi. Kasus yang sama akan terus melukai sejarah karena kata dan laku, idealisme dan praksis tidak hadir secara sinkron.
Robert Bala, Pemerhati Amerika Latin
Wednesday, October 26, 2011
Demokrasi Tanpa Kontrol Publik Menjadi “Bencana” HAM
Tarik-menarik antarkepentingan politik, eknomi dan budaya dalam alam demokrasi sejak Reformasi 1998 telah menghidupkan dinamika sosial yang terus menuntut tantangan baru, salah satunya adalah penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Tulisan singkat ini ingin menjawab beberapa pertanyaan berikut; mengapa demokrasi di Indonesia belum mampu memberi jaminan bagi pemajuan HAM di tanah air? Apa persoalannya? Dan bagaimana tantangan bagi aktivis di Indonesia untuk memajukan HAM dan demokrasi dalam konteks dunia yang terus berkembang?
Persoalan HAM Aktual
Kasus peringatan tujuh tahun dibunuhnya Munir[1] dan vonis ringan para pembunuh tiga jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, setidaknya bisa menjadi cermin yang mampu memantulkan wajah penegakkan hukum dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Dua kasus tersebut menggambarkan bagaimana sikap pemerintah Indonesia yang tidak menganggap serius persoalan penegakkan HAM dan justru menjadi pelanggar HAM dengan melakukan pembiaran.
Pada 7 September lalu, sejumlah aktivis HAM memperingati tujuh tahun dibunuhnya Munir dengan menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan mengusut tuntas persoalan ini. Kasus Munir yang sudah tujuh tahun dijanjikan untuk bisa diungkap secara tuntas, mendeg di tingkat eksekutif yang awalnya mengaku memiliki kehendak politik untuk menyelesaikan kasus ini, namun kini berlindung di balik alasan tidak mau mengintervensi kasus hukum.
Presiden SBY melalui juru bicaranya Julian Aldrin Pasha justru memandang, kasus Munir adalah kasus kriminal biasa. Sementara, Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan kasus Munir telah selesai.[2] Pihak istana ingin mengail di air keruh. Politik pencitraan dihembuskan “memanfaatkan” berbarengan dengan momentum 7 tahun dibunuhnya Munir. Pemerintah, membanggakan diri mengaku Pemerintah SBY berprestasi karena selama kepemimpinannya, tidak ada pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Pernyataan pihak istana ini sebenarnya mudah saja disangkal. Pelanggaran HAM yang terjadi dewasa ini berbeda dengan apa yang terjadi pada masa Orde Baru. Tragedi kemanusiaan terjadi di Cikeusik Banten pada Minggu pagi, 6 Februari 2011 ketika ratusan massa melakukan penyerangan, pengeroyokan dan penganiayaan terhadap jemaah Ahmadiyah yang pada akhirnya menewaskan 3 orang. Padahal, polisi (sebagai aparat negara) telah mengetahui adanya rencana penyerangan tersebut dan tidak berbuat apa-apa!
Celakanya, Deden Sudjana warga Ahmadiyah yang juga korban malah divonis 6 bulan penjara. Sementara, 12 pelaku pembunuhan, pengeroyokan dan penganiayaan hanya divonis ringan antara 3 sampai 6 bulan penjara. Vonis kasus Cikeusik bagi anggota Ahmadiyah dan warga dunia telah mencederai rasa keadilan.
Berbagai perlakuan diskriminatif negara terhadap jemaah Ahmadiyah terjadi di seluruh Indonesia. Di Nusa Tenggara Barat misalnya, pada 1 Desember 2010 warga Ahmadiyah diusir paksa dari tempat tinggalnya oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam, sementara pemerintah daerah dan polisi setempat tidak menindak pelaku pengusiran. Padahal, mereka telah merusak 20 dan membakar 1 rumah dan memaksa jemaah Ahmadiyah tetap tinggal di tempat pengungsian Transito di Mataram. Pengusiran pertama dengan kekerasan terjadi pada 4 Februari 2006. Kini, 133 warga Ahmadiyah yang menempati Transito telah menjadi pengungsi di negeranya sendiri!
Politik Pembiaran
Fakta-fakta di atas menunjukkan, pemerintah secara faktual melindungi pelaku kekerasan dengan melakukan politik pembiaran. Inilah persoalan dan tantangan aktual yang harus dihadapi oleh rakyat Indonesia saat ini, di mana negara kalah terhadap pelaku kekerasan. Mirisnya, menurut Wikileaks, pelaku-pelaku kekerasan seperti Front Pembela Islam (FPI) justru dibentuk dan didanai oleh petinggi polisi dan intelijen Indonesia.[3]
Majelis keagamaan dalam banyak kasus terlibat secara tidak langsung dalam kekerasan agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, pada tahun 2005 mengeluarkan fatwa menyesatkan Ahmadiyah dan mengharamkan sekularisme, liberalisme, dan pluralisme turut menjadi pemantik bagi makin massif dan eksesifnya gairah intoleransi di negeri ini. Maka, tidak mengherankan jika laporan tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilansir The Wahid Institute dan Setara Institute sejak 2007 sampai 2010 mengonfirmasi mengerasnya kecenderungan intoleransi, diskriminasi, serta kekerasan yang berbasis etnis dan, terutama, agama yang dari tahun ke tahun makin meminggirkan kelompok-kelompok minoritas yang memiliki keyakinan, kepercayaan, pendapat, ekspresi, dan orientasi seksual yang berbeda.
Lebih ironis lagi, pemerintah tidak jarang memenjarakan warganya yang dianggap meresahkan masyarakat karena dituduh “sesat“ dan menodai pokok-pokok ajaran agama mainstream. Ini bukan saja tidak adil tetapi juga merupakan kejahatan kemanusiaan. Sebab, di samping negara telah melakukan pembiaran (crime by ommission) terhadap pelbagai tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh warga atau kelompok agama tertentu, juga membuat pelanggaran langsung (crime by commission) karena membatasi, melarang, dan memenjarakan setiap warga atau kelompok yang dianggap sesat oleh kelompok agama mainstream. Begitupun negara secara nyata tidak sekadar memberikan dukungan dan pembenaran kepada otoritas non-pemerintah dalam menciptakan fatwa-fatwa yang intoleran dan diskriminatif, sebagaimana diproduksi MUI atas penyesatannya terhadap warga dan kelompok-kelompok keagamaan tertentu, tetapi, dalam beberapa kasus, juga mengadopsinya untuk dijadikan sebagai kebijakan dan regulasi.
Fakta-fakta di atas sangatlah memprihatinkan. Sebab, dengan mengatasnamakan agama ataupun alasan memurnikan pokok-pokok ajaran agama, kelompok mainstream dan atau pemerintah bisa sangat semena-mena melakukan pelbagai cara untuk tidak saja memasung dan memberangus paham keagamaan dan kepercayaan yang oleh mereka dianggap menyimpang atau ”sesat,” tetapi juga mengebiri ekspresi-ekspresi kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut mereka. Maka, tidaklah mengherankan apabila kalangan agama mainstream semakin leluasa melakukan perusakan dan penyerangan rumah ibadah maupun simbol-simbol keagamaan dari kelompok minoritas. Mereka juga tidak segan menyerang dan mengusir Jemaah Ahmadiyah Indonesia ataupun kelompok-kelompok keagamaan lainnya yang dituduh “sesat”; melarang tari Jaipong karena dinilai bertentangan dengan norma atau nilai-nilai Islam; berencana membumihanguskan komunitas Suku Dayak Losarang, Indramayu; melarang dan menggagalkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan kalangan gay dan waria (di Tasikmalaya, Surabaya, Depok, dan yang paling mutakhir di Makassar, 1 Desember 2010). Dari kasus-kasus tersebut, tidak jarang pemerintah terlibat aktif merampas hak-hak warganya.
Yang pasti, segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) yang berat. Bagaimanapun, terutama hak untuk beragama dan berkeyakinan adalah non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak dapat ditunda atau ditangguhkan pemenuhannya. Hak dan kebebasan tersebut mendapat jaminan pemenuhannya pada konstitusi (amandemen UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan 2, Pasal 28I ayat 1, dan Pasal 29 ayat 2) dan Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR 1966) yang sudah diratifikasi, termasuk juga pasal 20, 26, dan 27, serta Deklarasi PBB 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama atau Keyakinan.
Peristiwa 7 September lalu dan banyak peristiwa pelanggaran HAM lain menjadi sangkalan langsung atas pernyataan pihak istana bahwa selama kepemimpinan SBY tidaklah terjadi pelanggaran HAM berat. Meski berbagai fakta tersebut bisa menjadi semacam awan kelabu bagi masa depan pengungkapan kasus pelanggaran HAM lain yang rentang waktunya jauh lebih lama dari pada kasus Munir, sebut saja kasus Trisakti, Tanjung Priok, Talangsari, Malari, G-30S, dan sebagainya, namun bukan berarti bahwa tidak ada harapan atau celah yang bisa digunakan untuk memajukan HAM di Indonesia.
Pemajuan Demokrasi
Demokrasi dan HAM kerap mengasumsikan dan menempatkan dua hal ini dalam satu persoalan yang sama. Dukungan terhadap penghormatan HAM, disatukan dalam satu paket dukungan pemajuan demokrasi.[4] Padahal secara prinsip, aturan mainnya dan prakteknnya berbeda.
Secara konseptual, pada dasarnya HAM adalah bagian dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi dan HAM berbagai sebuah komitemen bersama untuk sebuah politik bermartabat yang ideal untuk semua. Selain itu, untuk melaksanakan prinsip-prinsip HAM diperlukan pemerintahan demokrasi. Demokrasi berkontribusi untuk merealisasikan HAM. Meski di mana demokrasi dan HAM tidak berkonflik secara langsung, mereka sering menuju ke arah yang berbeda.[5]
Bahkan dapat dikatakan bahwa munculnya paham negara demokrasi liberal adalah untuk menjaga adanya eksistensi penghormatan HAM. Sementara dalam tataran praksis hubungan yang serupa pun terbentuk dalam hubungan internasional. Promosi terhadap HAM dikemas dalam paket bantuan pembangunan (development aid) yang program, pemajuan demokrasi. Paket tersebut diberikan dengan indikator yang berbeda-beda, namun pada dasarnya, indikator tersebut menggunakan prinsip yang sama, yakni kasus pelanggaran HAM sebagai salah satu penentu tingkat demokrasi suatu negara. Dalam hal ini, hubungan yang terlihat antara HAM dan demokrasi adalah hubungan interdependent, di mana penghormatan HAM akan mungkin terjadi apabila negara yang bersangkutan menggunakan paham demokrasi. Begitu pula sebaliknya, negara yang demokratis akan jauh lebih memperhatikan masalah-masalah HAM dibanding negara yang tidak demokratis.
Mendukung proses demokrasi dalam hal ini dengan lebih banyak melibatkan publik mengontrol dan mempersoalkan kerja pemerintah, tentu akan mengurangi resiko terjadinya tindak pelanggaran HAM. Karena, demokrasi tanpa kontrol publik adalah “bencana” dalam bentuk lain.
Advokasi Internasional
Selain terus mengusahakan pemajuan demokrasi melalui pelibatan public dalam setiap pengambilan keputusan public dan pengawasan kerja pemerintah, advokasi pada level internasional sebaiknya terus digalakkan, mengingat Indonesia telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional HAM, baik kovenan hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial dan budaya.
Tekanan dunia internasional, terutama dari negara-negara yang sudah memilki komitmen tinggi terhadap HAM terbukti efektif menjerat penjahat HAM. Tertangkapnya Presiden Chile, Augusto Pinochet di Inggris setelah menjalani perawatan medis pada 1998. Penangkapan ini, didorong oleh Pemerintah Spanyol yang menuduh Pinochet melakukan pembunuhan terhadap 7 warga Spanyol selama Pinochet berkuasa. Mekanisme International Criminal Court juga efektif menjerat Slobodan Milosevic.
Peluang lain dating dari dinamika reginalisme di kawasan Asia Tenggara. ASEAN juga kini menempatkan HAM sebagai salah satu isu yang akan didorong selain tiga pilarnya yang disepakati yaitu kerjasama ekonomi, budaya, dan keamanan. Indonesia yang kini mendapat giliran menjadi ketua ASEAN, belum (baca: tidak) memilki prestasi pemajuan HAM di tanah air. Posisi yang strategis ini tidak dimanfaatkan karena ketiadaan kemauan politik untuk memajukan HAM.
Selain itu, hambatan pemajuan HAM di ASEAN datang dari ASEAN Charter sendiri yaitu prinsip non intervention. Padahal, pelanggaran HAM dan iklim antidemokrasi masih menjadi penyakit sebagian besar negara anggota ASEAN. Berbagai kasus kekerasan atasnama agama di Indonesia, tindakan represeif pemerintahan junta militer Burma, tidak adanya kebebasan pers dan demokrasi di Malaysia dan Vietnam adalah agenda strategis yang harus segera diselesaikan. Maka, kerjasama bilateral antarnegara anggota ASEAN yang memiliki komitmen terhadap pemajuan HAM sangat strategis dilaksanakan.
Dengan kata lain, advokasi pada level internasional bisa dilakukan dengan dua pendekatan sekaligus; multilateral dan bilateral untuk saling melengkapi. Memahami mekanisme HAM regional dan internasional menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap aktivis dan penegak hukum di tanah air.
[1] Alm. Munir Said Thalib, meninggal di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan dari Jakara ke Belanda pada 7 September 2004. Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan pihak berwenang Belanda ditemukan bahwa Munir diracun dengan arsenik.
[3] http://nasional.kompas.com/read/2011/09/06/15024812/Sutanto.Enggak.Benar.yang.Gitugituan.Lah
[4] Hampir setiap tahunnya, pemerintah AS menyiapkan dana sebesar USD 700 juta yang sebagian besar disalurkan ke Centre or Democracy and Governance. Guilhot, Nicholas, The Democracy Makers; Human Rights and International Order, Columbia University Press, 2005, hal. 2-4
[5] Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, 2003, hal. 191
Subscribe to:
Posts (Atom)