Makalah-makalah tersebut menyoroti berbagai isu di antaranya: belenggu terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi di Korea Utara, cara-cara untuk memperkuat akses Informasi rakyat Korea Utara di bawah pengawasan, perjuangan hidup tiada henti tanpa kebebasan untuk bertindak, dan penculikan warga negara asing dan praktek spionase. Saya tidak mengubah apa pun dalam isi maupun tata bahasanya.
Status Hak Asasi Manusia dan Karakteristik Rezim Korea Utara
oleh In-hoPARK, Perwakilan, DailyNK (dailynk.com).
1. Karakteristik
Rezim Korea Utara
Situasi Hak Asasi Manusia (HAM)
yang buruk memiliki hubungan korelasi dengan karakterisitik rezim Korea Utara.
Pasca Perang Dunia II, negara Korea
Utara mengadopsi filosofi Marx Lenin dalam mengembangkan negara sosialis dengan
memanfaatkan budaya Konfusianisme Asia Timur, namun tetap memperkuat kekuasaan
mutlak keluarga Kim seperti Kim Il Sung, Kim Jong Il dan Kim Jong Eun di Korea
Utara.
Kekuasaan mutlak keluarga
Kim di Korea Utara menyebabkan kultus kepribadian terhadap pemimpin menjadi
nilai otokrasi tertinggi.
Korea Utara tetap mempertahankan
mekanisme rezim yang tidak demokratis untuk mengendalikan penduduknya dan
melakukan ‘Politik Militer’ untuk menekan keluhan masyarakat atas kegagalan
pengelolaan sistem perekonomian.
Kim Jong Eun bahkan telah menjatuhkan
hukuman mati terhadap Jang Sung Tae, Pamannya sendiri demi mempertahankan
kekuasaannya.
Karena terus adanya tekanan dari
pihak instansi tingkat internasional terhadap Korea Utara , Korea Utara telah
mengumumkan dalam sebuah amandemen konstitusi pada tahun 2012 bahwa,
“Pemerintah akan memberikan kebebasan dalam eksploitasi dan penindasan terhadap
masyarakat demi menjaga kepentingan dan mempertahankan kehormatan atas nama HAM
untuk kaum buruh, petani, tentara, intelijen dan juga termasuk rakyat biasa.
Pemerintah Korea Utara sendiri
tidak mematuhi undang-undang yang mereka buat. Oleh karena itu tindakan
tersebut diartikan sebagai sebuah kebohongan publik. Status HAM yang terjadi di
Korea Utara berbeda dengan isu-isu HAM di daerah bahkan di negara berbeda
lainnya.
1)
Tidak ada keributan terkait masalah perbedaan
agama dan etnis, serta masalah regional lainnya di Korea Utara.
Semenanjung Korea telah mempertahankan ras, bahasa dan
budaya selama masa Dinasti Joseon
yang dimulai sejak 600 tahun yang lalu dan masa imperial Jepang selama 36
tahun. Sejak berdirinya pemerintahan Korea Utara pada tahun 1947, karakteristik
ini tetap terjaga hingga sekarang.Suku tertentu tidak mendominasi suku lain,
tapi kelompok ini berbagi budaya tertentu bukan untuk mengatur kelompok lain
yang memiliki budaya yang berbeda. Korea Utara tidak memiliki masalah konflik
agama. Karena semua agama tidak diperbolehkan ada sejak berdirinya pemerintahan
dan berlangsung sampai sekarang.
Sejak tahun 1970 pemerintah Korea Utara memberi toleransi
kepada penduduknya untuk memeluk agama Katolik, Protestan, Buddha tetapi tindakan
itu hanya untuk memberikan citra positif dari dunia luar.
Korea Utara tidak memiliki pendeta yang dibaptis, biksu
pun rambutnya tidak dicukur.
Semua partai yang diterima dibawah perintah Kim Jongeun
yang juga mengatur kelompok beragama. Tidak adanya konflik agama, ras dan
budaya mengartikan penyebab masalah HAM dan tindak penyelesaiannya yang relatif
sederhana.
Timbulnya isu HAM Korea Utara yang terjadi pada warga
sipil dilakukan demi kepentingan dan keuntungan dari pemimpin tertinggi dan
penguasa politik. Jika beralih ke sistem yang lebih demokratis, maka masalah
HAM di Korea Utara akan dapat diselesaikan dengan sangat cepat.
2) Korea
Utara pada umumnya menaati budaya Konfusianisme Asia Timur secara luas. Korea Utara menganut budaya Konfusianisme
Asia Timur yang berakar kuat dari budaya Cina sejak lama. Dalam budaya
Konfusianisme Asia Timur menekankan kepada para pemimpin nasional dan negara
bahwa peran pria jauh lebih penting daripada wanita. Dalam budaya Konfusianisme
Asia Timur bukan masyarakat yang mewakili Negara, melainkan raja yang mewakili
negara dan pria yang bertanggung jawab atas rumah tangga dan menjadi kepala
keluarga. Kim Il Sung berkesan menerapkan rezim sosialisme dalam pemerintahan
Korea Utara dan berpura-pura menentang keras budaya konfusius, padahal dalam
prakteknya dia menjalankan pemerintahan berdasarkan budaya konfusianisme
sejati. Kim Il Sung didefinisikan sebagai ‘Ayah’ untuk negara Korea Utara,
sedangkan Partai Buruh Korea Josun didefinisikan sebagai ‘Ibu’. Dalam budaya
konfusius, seseorang harus menaati perintah ayah. Bahkan Kim Jongil diumpamakan
sebagai pemimpin tertinggi yaitu ‘otak’. Partai Buruh sebagai ‘jantung’ dan
masyarakat sebagai ‘tangan dan kaki’ Negara. Semua diktator di dunia ini lebih
memilih totaliter. Diktator Korea Utara telah didefinisikan sebagai sebuah
keluarga besar untuk mengembangkan logika totaliter. Totaliter Korea Utara yang
telah menyalahgunakan budaya konfusianis menolak kebebasan individu dan
kesetaraan. Hal ini melanggar logika sosialis secara umum ‘Semua Orang Setara’.
3)
Kekuasaan otoriter mutlak di Korea Utara
adalah kekuasaan seseorang.
Biasanya di Eropa Timur dan Cina nilai sosialisme merupakan ‘Kekuasaan otoriter mutlak oleh pemimpin Partai Komunis‘, bukan ‘Kekuasaan otoriter mutlak oleh seorang pemimpin tertinggi’. Namun sifat kekuasaan
di Korea Utara diubah dari kepemimpinan Partai Komunis ke kekuasaan mutlak oleh
pemimpin tertinggi sejak tahun 1970. Kim Il Sung telah membunuh rival
politiknya dari tahun 1950 hingga tahun 1960-an untuk membentuk
kekuasaan
otoriter mutlak perseorangan. Sejak saat itu, Korea Utara menjadi Negara Kim
Il Sung, bukan negara komunis yang memiliki kasta.
Hal tersebut menjadi latar belakang untuk putra tertua Kim Jong-Il mewariskan kekuasaannya tanpa mengadakan pemilu, atau setidaknya mengadakan diskusi seperti pada jaman feodal. Kim Jong Il juga menyerahkan kekuasaannya kepada
putra ke-tiganya Kim Jong Eun tanpa sensus politik atau pemilihan umum. Kini Kim Jong Eun memiliki kekuasaan mutlak sebagai pemimpin
tertinggi, panglima tertinggi, sekretariat pertama di Partai Buruh dan memegang jabatan Ketua Komisi Pertahanan.
4)
Rezim Korea Utara tetap berjalan dalam penindasan
terhadap HAM
Menghapus orang-orang yang menentang rezim
sosialisme Kil Il Sung, menjadi latar belakang terjadinya isu HAM di Korea Utara.
Penindasan HAM dikenal sebagai cara yang dipakai para penguasa otoriter dalam
mengendalikan penduduknya. Tetapi Kim Il Sung mengelompokan lapisan masyarakat
menjadi lapisan inti, fluktuasi, permusuhan dan manajemen lapisan itu dibagi
lagi secara rinci hingga sebanyak 51 lapisan. Lapisan inti yang memimpin rezim
Korea Utara diperkirakan mencapai sekitar 28% dari total penduduk. Sebanyak 200 ribu orang (1% dari populasi)
yang merupakan keluarga dan kerabat dari Kim Il Sung dan Kim Jong Il menduduki
jabatan tinggi dalam lapisan inti. Sisanya 26-27% menduduki jabatan pejabat di
tingkat menengah ke bawah. Para pejabat tinggi dapat memiliki
produk-produk keluaran terbaru , tempat tinggal mewah dan dapat menyekolahkan
anak mereka ke sekolah eksklusif. Sebagian besar dari mereka berstatus
keturunan keluarga pejabat hingga dapat tinggal di kota besar dan menerima
perlakuan khusus untuk direkrut kembali sebagai pejabat tingkat tinggi di
partai militer, pemerintahan termasuk pendidikan sekolah, penanganan medis dan
rumah tinggal. Lapisan fluktuasi yang tidak termasuk lapisan inti dalam rezim
Korea Utara yang berstatus sebagai pekerja umum, insinyur, petani, pegawai, guru
dan anggota keluarganya diperkirakan mencapai 45% dari total populasi. Sebagian
besar dari mereka tinggal di kota-kota kecil dan di daerah pedesaan dengan
taraf hidup yang miskin dan mengalami diskriminasi yang parah dalam penanganan
medis. Diantaranya mereka memiliki kesempatan untuk naik status sebagai lapisan
inti sesui dengan loyalitas dan kontribusi masing-masing. Kelompok (Hirarki) adalah
kelompok yang disingkirkan dan disiksa tanpa HAM oleh pemerintah. Kelompok ini diperkirakan mencapai sekitar 27% dari populasi yang ada. Mereka berasal dari pimpinan daerah dan
keluarga dari pengusaha bermodal, pekerja yang berhubungan dengan nilai agama, dan orang-orang yang pernah ditangkap dan
dipenjarakan termasuk anggota keluarganya yang pernah ditahan di lokasi konsentrasi dan orang yang punya keluarga yang tinggal di Korea Selatan. Pada prinsipnya, hak khusus mereka seperti masuk sekolah
dan menjadi
anggota dari partai militer telah dicabut. Mereka mengalami diskriminasi dalam semua bidang kehidupan sosial, seperti pekerjaan dan pendidikan, tempat tinggal dan pelayanan kesehatan. Pada umumnya mereka akan terlibat dalam pekerjaan yang sulit, keras dan berbahaya. Kim Il Sung membedakan mereka dengan memberikan hak khusus terhadap
golongan orang yang setia mendukungnya dan tidak memberikan hak apapun ada
orang yang tidak mendukung atau memberikan dukungan kecil kepadanya. Cara
tersebut sangat efektif untuk mempekerjakan masyarakatnya namun tidak
memberikan makanan dan upah yang sesuai. Dari hasil secara menyeluruh hal
ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mencegah terjadinya persatuan dan
keharmonisan antar penduduk Korea Utara. Sebagian besar dari lapisah inti
tersebut tinggal di ibu kota Pyong-yang. Sekitar 1/9 penduduk yang tinggal di
Pyong-yang mendapatkan upah yang lebih tinggi, dengan sandang pangan dan
fasilitas budaya seperti menonton TV.
5)
Tindak
penindasan HAM di Korea Utara sama seperti yang terjadi di seluruh dunia.
Penduduk Korea Utara akan mengalami tindakan kekerasan
HAM meski mereka melarikan diri dari Korea Utara. Masyarakat Korea Utara yang berhasil
melarikan diri karena kasus kelaparan dan kemiskinan akan tetap terlacak oleh
Pemerintah Korea Utara. Terutama penduduk yang melarikan diri ke Cina akan
dipulangkan kembali dan dimusuhi masyarakat sekitarnya setelah kembali ke Korea
Utara. Penduduk yang telah dipulangkan ini akan diperlakukan sebagai
‘pembelot’ dan ditahan di pusat pemasyarakatan setidaknya selama tiga tahun.
Mereka dipaksa dan dikritik karena tindakannya yang telah mengkhianati
pemimpin tertinggi dan akan kelaparan di pusat pemasyarakatan. Padahal Adolf Hitler pun tidak melakukan penangkapan terhadap orang Yahudi yang
melarikan diri. Saat ini negara Cina, Laos, Kamboja, Rusia, dan Mongolia sedang gencar memulangkan warga Negara Korea
Utara. Cina adalah negara yang
paling rajin menjalin kerjasama dengan Korea Utara dalam kebijakan pemerintahan. Cina telah menjalin
hubugan diplomatik dengan Korea Utara dan menyebabkan Negara ini mengabaikan kasus
kekerasan HAM di Korea Utara. Para aktifis HAM diseluruh dunia pun mengambil langkah antipati terhadap pemerintah China karena tindakannya tersebut.
2. Isu Utama HAM di Korea Utara
1)
Hak untuk hidup dan eksekusi umum.
Tindakan utama yang melanggar hak untuk hidup di Korea Utara adalah eksekusi mati terbuka. Eksekusi mati terbuka
dilakukan di sekolah, perusahaan dan kebun tempat berkumpulnya masyarakat umum
dan akan diberikan pengumuman terbuka kepada masyarakat setempat. Kim Jong Eun telah membuat
perintah untuk menembak mati orang yang pernah melarikan diri ke Cina di tempat umum.
2)
Kebebasan pribadi dan penahanan illegal.
Di Korea Utara, seseorang bisa ditahan walau tidak melanggar hukum negara
hanya dengan alasan ‘melanggar instruksi dari pemimpin tertinggi’atau’menghina
pemimpin tertinggi’. Tempat tahanan di Korea Utara serupa dengan pusat masyarakat
seperti penjara umum dan tempat kerja paksa maksimal selama 6 bulan, Jipgyeolso
menunggu sampai mendapatkan giliran ke pengadilan, tempat penahanan di Badan
Keamanan Nasional atau Dewan Pertahanan Nasional. Di tahanan tersebut sering
terjadi tindakan tidak manusiawi seperti pemukulan, penyiksaan dan banyak kasus
kematian karena kekurangan gizi dan penyakit. Diantara tempat penahanan, tempat
yang paling terkenal di Korea Utara adalah ‘Kamp Konsentrasi’. Menurut dokumen
yang diperoleh dari Departemen Luar Negeri di AS saat perang Korea, Korea Utara
terus mengoperasikan kamp-kamp penjara di Korea Utara sejak tahun 1947. Menurut
kesaksian masyarakat Korea Utara yang kabur ke Korea Selatan, Korea Utara
memiliki minimal 4 lokasi penahanan untuk narapidana yang diperkirakan mencapai
200 ribu orang didalamnya. Tahanan itu terdiri dari dua tipe, yaitu ‘Zona Kontrol’,
tempat dimana tahanan tidak dapat kembali ke masyarakat umum lagi. Dan ‘Zona Revolusioner’
dimana para tahanan sewaktu- waktu dapat kembali ke dunia luar lagi. Jika seseorang
ditahan di kamp tersebut, maka akan dipekerjakan sebagai mesin hidup tanpa HAM
sedikit pun.
3)
Sistem kontrol
keterlibatan
Sistem tersebut salah dimanfaatkan sebagai cara penting untuk
mempertahankan sistem kontrol. Sistem tersebut memberikan hukuman diskriminatif
kepada keluarga yang bersangkutan. Walaupun telah melakukan kejahatan yang sama,
tapi mendapatkan hukuman yang beda sesuai status keluarga masing-masing. Status
yang rendah akan mendapat hukuman mati dan keluarga berstatus tinggi hanya akan
dijatuhi hukuman penjara. Untuk anak yatim-piatu dan orang yang berasal dari
latar belakang keluarga yang buruk kebanyakan dijatuhi hukuman mati tanpa ada
pertimbangan.
4)
Penyiksaan terhadap orang cacat
Sebanyak
3.41% atau setara dengan 760 ribu
penduduk di Korea Utara dari total penduduknya mengalami kecacatan. Sesuai
kesaksian bahwa pemukiman tempat tinggal untuk penduduk cacat pun dibatasi. Penyandang cacat dibatasi dengan ketat untuk
memasuki daerah khusus seperti Pyongyang dan Nampo, Gaesung yang sering dikunjungi
orang asing.
5)
Penindasan HAM terhadap wanita
Wanita
Korea Utara sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan seksual kaum laki- laki dan
sudah menyerah melawan tindakan kejahatan seks tersebut.
6)
Penindasan HAM terhadap anak-anak
Pemerintah
Korea Utara telah 3 kali melaporkan hasil pelaksanaan Konvensi sejak bergabung
dengan Konvensi Internasional Hak Anak pada September tahun 1990. Meski berusaha
untuk melaksanakan ketentuan sesuai dengan konvensi, tetapi tingkat
kemiskinannya tetap sama karena kekurangan pangan dan kesulitan ekonomi sejak
pertengahan tahun 1990-an. Lingkungan hidup anak-anak Korea Utara sangat miskin
dan makin menurun secara signifikan. Terutama bagi pemuda berusia 16 tahun yang
dipaksa masuk kesatuan militer.
7)
Diskualifikasi kebebasan media dan media
cetak
Media dilarang mengkritik atau memberitakan kehidupan
privasi dari keluarga Kim Il Sung, Kim Jong Il, Kim Jong Eun. Komentar atau keluhan dari sudut pandang positif mengenai reformasi di Korea Selatan, tetap
diklasifikasikan sebagai tindak pidana politik yang akan dijatuhi hukum berat. Selain itu,
stasiun Televisi milik pemerintah tidak berperan untuk memberikan kritik
politik dan menyampaikan informasi yang diperlukan oleh masyarakat, tapi
berkonsentrasi untuk memberitakan dan mempublikasikan Kim Il Sung, Kim Jong Il dan Kim Jong Eun sebagai idola masyarakat. Mengontrol semua alat komunikasi untuk mencegah masuknya informasi dari luar
negeri. Frekuensi radio di Korea Utara terpasang
hanya untuk disiarkan oleh pusat stasiun yang dimiliki oleh pemerintah. Jika seseorang ketahuan menonton film
atau drama asing, maka akan diberi hukuman. Signal ponsel di Korea Utara pun tidak dapat melakukan panggilan telepon ke luar negeri.
8)
Perampasan kebebasan
berserikat dan berkumpul
Tidak semua warga Korea Utara mulai dari usia enam tahun hingga usia lanjut
berkewajiban untuk merasakan pendidikan TK, Pramuka, dan berbagai institusi
pendidikan tinggi lain, Liga Pemuda Sosialis Kim Il Sung, Serikat Pekerja Galangan Kapal, Aliansi Pekerja Pertanian dan Pembuatan Kapal, Uni Demokrasi Wanita Korea, Partai Buruh Korea tapi ada beberapa
golongan yang wajib untuk bergabung dengan organisasi tersebut Mobilisasi penduduk dalam kampanye utama bagi otoritas tersebut menjadi tujuan utama dari fungsi kontrol bagi masyarakat dari kelompok-kelompok sosial tertentu. Semua masyarakat adalah milik berbagai organisasi tertentu, termasuk jenis pekerjaan yang tunduk pada jumlah tersebut, dan pelatihan ilmu politik sekitar 1-2 kali dalam seminggu.
9)
Diskualifikasi hak pemilih
Di Korea
Utara hanya diadakan pemilihan untuk Ketua Majelis Pusat dan Daerah. Penduduk tidak
memiliki hak untuk memilih anggota departemen administrasi atau pemimpin
tertinggi negara. Semua pemilu akan dilakukan dalam pengawasan polisi dan
kandidatnya hanya satu orang yang berasal dari partai buruh. Mereka hanya
berhak untuk setuju atau tidak setuju. Jika bersuara tidak setuju maka akan
ditetapkan sebagai narapidana. Pemerintah Korea Utara telah mengumumkan, dibawah
’99,97% dari seluruh penduduk berhak member suara untuk berpartisispasi dalam
pemilihan dan mereka 100% setuju untuk memilih anggota majelis sebanyak 687 orang
pada Maret 2014 lalu.
10) Penindasan
HAM terhadap desertir Korea Utara
Hingga saat ini sebanyak 260ribu penduduk Korea Utara
telah melarikan diri ke Korea Selatan pasca perang Korea pada tahun 1953.
Sebagian besar dari mereka melarikan diri mulai dari akhir tahun 1990-an. Korea
Utara mendefinisikan desertir Korea Utara sebagai pembelot dan menangkap mereka
untuk ditarik lagi ke Korea Utara. Setelah dipulangkan mereka dipaksa bekerja
di tempat tahanan lebih dari 3 tahun. Pemerintah Cina masih mempertahankan
kebijakan memuulangkan semua deserter asal Korea Utara ke Korea Utara dan menyebut
mereka sebagai ‘orang illegal’. Diperkirakan sekitar 200 ribu-300 ribu jiwa penduduk
Korea Utara telah dipulangkan secara paksa setelah melarikan diri. Beberapa NGO
mengira lebih dari 1 juta orang telah dipulangkan. Bahkan desertir wanita Korea
Utara pun dijual atau dipaksa bekerja sebagai wanita penghibur di Cina.
No comments:
Post a Comment