Bulan jingga merona
melintas kembali. Dia seolah ingin mengajakku sejenak menjumpai kembali sejumput
perasaan. Perasaan yang dahulu pernah aku titipkan pada bulan jingga merona. Sembilan
belas hari jelang lima tahun tepatnya. Saat itu, rembulan menjadi satu-satunya
saksi mata, tentang sejumput perasaan dan cerita yang muncul sepanjang jalan
dari negeri batas senja.
Lima tahun
pun berlalu. Cepat. Benih-benih perasaan antara aku dengan seorang gadis dari
batas senja telah bertumbuh. Penuh dinamika. Hidup. Dan sampai saat ini survive. Rasanya, tiada satu kalimat pun
yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukurku. Barangkali, hanya bulan jingga
merona itu, yang tahu bisa menggambarkannya, dengan caranya sendiri.
Perasaanku waktu itu, disambut dengan untaian kalimat
sederhana. Dari gadis batas senja kudapati sepenggal kalimat ini, “Maka bulan
jingga pun berpamitan, diucapkan sebuah kata penutup. Bukan ucapan selamat
tinggal tetapi ‘sampai jumpa’”. Katanya kembali, "Sampai jumpa di seberang
sana dengan selamat yah, karena keteguhan hatilah yang akan membawa kalian
selamat sampai di sana, di sebuah bukit kebahagiaan bernama cinta".
Rasanya jawaban sederhana untuk semua perasaan dan persoalan
yang aku titipkan lima tahun lalu pada bulan jingga merona sudah kuperoleh: keteguhan
hati. Hanya dengan itu, menurut gadis batas senja, kita akan sampai pada sebuah
tempat di mana kebahagiaan buah dari cinta berada. Aku percaya saja. Meski, harus
kuakui, aku kerap terjatuh dalam menghidupkan dua kata itu. Dan ketika
terjatuh, aku pun bangkit. Dan langkahku semakin kuat dan mantap. Tapi aku
tidak mau menceritakan hal-hal itu pada bagian ini.
Ya. Lima tahun aku mencoba menghidupi dua-kata itu. Dan, kata-kata
itulah yang barangkali bisa menghantarkanku sampai sejauh ini. Maksudku, bukan
hanya aku, tetapi aku dan gadis itu.
Persoalan menghidupkan nilai –di sini adalah keteguhan hati,
yang berasal dari tempat ideal nun jauh di sana, ke dalam kehidupan riil
bukanlah persoalan sederhana. Ia tidak bisa berjalan sendiri, melainkan harus
ditopang dengan sebuah nyali berani untuk melangkah dan mempertanggungjawabkan setiap
resikonya. Pilihan dan niat itu sudah aku buat. Aku sampaikan melalui sepucuk
surat tentang bulan jingga merona.
Lima tahun lalu, dalam sebuah persentuhan, aku bersama gadis
batas senja menjalani sesuatu yang biasa saja, sesuatu yang hampir setiap
kawula muda merasainya. Namun nyatanya, antara aku dan gadis batas senja, tidak
sesederhana itu persoalannya. Hubunganku menuai tantangan demi tantangan. Yang dari
sanalah, lahirlah sebuah misi. Misa yang tidak disengaja. Misi, yang cukup sederhana
bila diungkapkan; “Semoga tak ada lagi cinta yang terhalang oleh apa pun di
muka bumi ini” (lihat Bulan Jingga).
Begitulah kata-kataku. Lima tahun lalu. Tiada kuubah
sedikitpun. Aku percaya, perjuangan seorang, dua orang, atau pun banyak orang
untuk satu tujuan kemanusiaan tertentu, adalah perjuangan kemanusiaan
seluruhnya. Aku harus percaya diri di bagian ini. Jika tidak, mudah sekali
mereka –yang anti-kemanusiaan, dengan mudah akan menertawakanku.
Saat ini aku berbicara tentang kemanusiaan. Aku sebagai manusia,
beginilah argumenku tentang esensi kemanusiaan. Latarbelakangnya adalah kisah
asmaraku dengan gadis batas senja. Tetapi, setiap hubungan antarmanusia, membutuhkan
rasa kemanusiaan. Bahkan, kini berkembang pesat di negara-negara yang lebih
menghargai kemanusiaan, mereka lebih mencintai kehidupan seluruhnya; tidak
sekadar hubungan antarmanusia, tetapi penghargaan atas seluruh mahluknya.
Rasa kemanusiaan. Rasa itu, nalurinya selalu mendamba
kebahagiaan. Yang, oleh manusia-manusia sendiri, dibuat seolah-olah menjadi milik
sebagian kelompok saja. Kebahagiaan bersyarat. Jadi, begitulah kira-kira
bangunan usang antar-manusia masih kuwarisi dan kuhidupi. Ia walau usang, masih
tetap kokoh berdiri. Banyak pendukungnya, dan mereka adalah manusia-manusia
yang “ternama”.
Di titik itulah perasaan syukur pertamaku bisa kuungkapkan. Aku,
ditemani seorang gadis batas senja yang terkadang terlihat rapuh, namun dalam
dirinya menyimpan sebuah nyali pemberani. Dan saat ini aku baru menyadari, hal
itulah yang aku paling suka.
Setiap ayunan langkah kita berdua, bukanlah perkara
sederhana. Tetapi, aku tidak mau mendramatisirnya di sini. Sebenarnya, bisa
dilihat biasa-biasa saja. Karena, kebiasaan dan budaya memendam persoalan juga
masih diwariskan dari generasi ke generasi. Ia takut dengan konflik. Trauma. Bangsa
ini sudah terlalu banyak cerita penguasa yang haus nyawa. Pertumpahan darah di
mana-mana. Barangkali dari sana, kebiasaan memendam persoalan menjadi sebuah budaya.
Ditahan saja, tak usah diucapkan. Dan, lama-kelamaan, ia akan menjadi bom waktu
yang siap meledak jika, apa yang ditahannya terkonfirmasi di lapangan. “Tuh kan…
gue bilang juga apa!”
Singkat cerita, lima tahun berlalu. Benih perasaan itu
bertumbuh. Ia mulai menunjukkan dirinya. Belum mekar memang. Tetapi,
kuncup-kuncupnya sudah menjulur, kentara di antara tanaman-tanaman lain di
suatu taman bunga. Dengan modal menghidupi dua kata itu, aku dan gadis batas
senja ingin lebih jauh masuk ke dalam hubungan terdalam antar-manusia: perkawinan.
Sederhananya, gadis batas senja adalah manusia yang mendamba kebahagiaan, sedangkan aku, sebagai peziarah, adalah pendamba keberartian. Dalam tarik menarik antara pilihan untuk menjadi bahagia –yang pada hakikatnya adalah insting alami, dan menjadi seseorang yang berarti bagi masyarakatnya bukan sesuatu yang harus dipertentangkan. Ia bukan lawan kata. Bisa disatukan. Bisa dikawinkan.
Bahagia dan berarti, bisa jalan bersama-sama. Aku memaknainya dengan mengusahakan yang esensi adalah perjuangan untuk keberartian, untuk sebuah peradaban dan untuk peningkatan rasa kemanusiaan itu sendiri. Yang esensi itu, bagiku adalah cinta tak bersyarat. Persis seperti yang aku tuliskan kepada bulan jingga. Cinta yang tak mengenal perbedaan. Equality.
Cinta sederhana antara aku dan gadis batas senja, sedang bertumbuh,
mengusahakan apa yang disebut sebagai sebuah peningkatan hidup. Tentang sebuah
peningkatan hidup, dalam “Eleven Minutes”
Paulo Coelho berujar, “Namun kalau kita bicara tentang peningkatan
hidup, hendaknya dipahami bahwa sesuatu yang "cukup indah" tentu jauh
berbeda dengan "yang terindah".
Bulan purnama terakhir setelah lima tahun yang lalu ketika ia menjadi jingga merona!
1 comment:
wow puitisnya
aku suka
salam sukses
Post a Comment