Pada dasarnya Hak Assi Manusia (HAM)
adalah intervensi nilai-nilai moral ke dalam ranah politik. Dalam “The Second Treatise of Civil Government and
a Letter Concerning Toleration” John Locke mengajukan sebuah postulat,
semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan
kepemilikan yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dikurangi
oleh negara.[1]
Sekumpulan nilai-nilai dan mekanisme
yang mengatur prilaku bagaimana hubungan antara penguasa dan warganya kemudian
berkembang menjadi sebuah rezim.[2] Rezim HAM telah lama masuk dalam diskursus Hubungan
Internasional dan baru memampatkan dirinya dan terjadi perubahan yang sangat
signifikan, khususnya pada beberapa tiga dekade belakangan ini[3].
Sejak perjanjian Wesphalia (1648)
sampai awal abad ke-20, hubungan internasional pada hakikatnya merupakan
hubungan antara badan-badan pemerintahan yang masing-masing berdaulat.[4]
Usaha memasukkan rezim moral dalam
politik sejatinya sudah dimulai sejak zaman Mesir dan China kuno —kira-kira
abad ke-4 sebelum Masehi, ketika Sun Tzu menyusun sebuah aturan bagaimana perang
seharusnya diselenggarakan. Persoalan HAM juga seiring dengan evolusi
peradaban umat manusia itu sendiri, dalam hal ini, rakyat warga negara-bangsa,
yang tidak saja diam ketika ditindas oleh penguasannya. Mereka melakukan
perlawanan kritis-rasional terhadap penguasa yang dengan mudah menyalahgunakan
kekuasaan (abused of power).
Penyalahgunaan kekuasaan tersebut bisa jadi dalam bentuknya yang diskriminatif,
rasis, imun terhadap hukum, dan lain sebagainya.
Dalam
semangat perlawanan terhadap penyalahgunaan wewenang penguasa, terdapat sejumlah
tonggak sejarah yang bisa dijadikan rujukan. Sebut saja peristiwa pada awal
abad ke-12 ketika Inggris dipimpin oleh Raja John Lackland yang bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyat dan bangsawannya. Tindakan sewenang-wenang Raja
John mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan. Rakyat dan bangsawan
bergerak dan berhasil memaksa Raja John untuk membuat suatu pakta perjanjian
yang kemudian disebut Magna Charta (1215).
Di
daratan Amerika pada abad ke-18, semangat perlawanan orang-orang yang
diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa Inggris juga berhasil mendesakkan
tuntutannya yang kemudian menjadi deklarasi kemerdekaan (declaration of independence, 1776) yang ditandatangani oleh 13
negara bagian. Selain itu, perlawanan rakyat Prancis (1789) melawan kekuasaan
raja dan gereja semasa Raja Lois XVI. Perjuangan rakyat Prancis saat itu
berbuah deklarasi hak asasi manusia dan warga negara (declaration des droit de l’homme et du citoyen).
Abad ke-16, di Prancis, hakim Jean
Bodin menetapkan bahwa perang adalah setan utama dan domain resmi dari pemilik
kedaulatan. Abad ke-17 seorang praktisi hukum Hugo Grotius menjadi saksi
arsitek perang 30 tahun, dan menuliskan bagaimana seharusnya ada tindakan melindungi
non-kombatan dan mempromosikan perdamian. Abad ke-19 dan awal abad ke-20 diselenggarakan
Konvensi di Den Haag yang dilanjutkan di Jenewa dan menghasilkan hukum perang,
dengan tujuan untuk melindungi kombatan dan non-kombatan perang. Aturan-aturan
tersebut menjadikan perang menjadi semakin terlihat humanis. Meski demikian,
belum dialamatkan sebagai pertanyaan-pertanyaan etis dari politik luar negeri.
Kampanye internasional pertama kali dilakukan Quakers di Inggris dan Amerika Serikat
(AS) guna menentang perbudakan dan hak bagi perempuan untuk berpartisipasi
dalam pemilihan umum.[5]
Perang
Dunia II juga dapat dimaknai sebagai perang terhadap kekuasaan fasis di Jerman,
Italia, dan Jepang. Pasca Perang Dunia II, melalui pembentukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), dikumandangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(1948) untuk menjadikan nilai-nilainya sebagai norma yang bersifat universal.
Jadi, bisa dikatakan bahwa semangat HAM adalah semangat perlawanan kritis
rasional rakyat terhadap absolutisme penguasa. Dengan kata lain, HAM dapat
dilihat sebagai sebuah pencapaian peradaban manusia melawan kekuasaan yang
menindas.
Woodrow Wilson merupakan orang
modern pertama yang meletakkan perdebatan etis dan nilai-nilai universal HAM masuk
ke dalam jantung kebijakan luar negeri. Wilson mengundang siapa saja untuk
melakukan penentuan nasib sendiri (self
determination) dan demokrasi. Tokoh lainnya adalah Jimmy Carter. Ia
medeklarasikan HAM sebagai prinsip absolut dalam tema kampanyenya.
Meski fakta menunjukkan, selama
pemerintahannya, Carter mendukung diktator di Argentina, Uruguay, dan Ethiopia.
Ia juga abai dengan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Filipina, Iran,
dan Saudi Arabia.
Akhirnya, banyak pemimpin negara hanya
sanggup membahasakan persoalan keamanan dalam bahasa yang lebih etis. Hal ini
disebabkan salah satunya oleh dominasi perspektif realisme dalam HI.
Realisme
Klasik dan Neorealis
Pendekatan Realis adalah
pendekatan yang dominan berkembang pada masa Perang Dingin.[6] Realis menggambarkan HI sebagai pergumulan untuk meraih kekuasaan di antara
kepentingan nasional negara-negara dan digeneralisasikan sebagai pendekatan yang
pesimistis dalam menghapuskan
konflik dan perang.
Pendekatan ini mendominasi
pada masa Perang Dingin karena realis memberikan penjelasan yang sederhana, tetapi dengan penjelasan yang kuat tentang perang, aliansi, imperalisme, rintangan dalam
berkerjasama dan fenomena internasional
lainnya.
Terdapat penekanan pada kompetisi. Realis
secara konsisten terus menyoroti perseteruan antara AS dan Uni Soviet.[7]
Pendekatan Realis klasik
yang dipelopori oleh Hans Morgenthau dan Reinhold Niebuhr, percaya bahwa negara seperti halnya manusia,
memiliki sifat dasar untuk mendominasi satu sama lain, yang akhirnya berujung
pada perang. Morgenthau menarik kesimpulan bahwa sistem dunia multipolar
merupakan bentuk terbaik dari balance of
power suatu sistem, sedangkan rivalitas antar dua kekuatan (bipolar)
merupakan suatu sistem yang berbahaya.
Realisme klasik memandang sifat negara tidak ubahnya sifat dasar manusia yang pada dasarnya mau
menang sendiri (selfish) dan serakah.
Realisme klasik melihat individu secara
alami adalah binatang politik. Mereka dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan
untuk memperoleh hasil dari kekuasaan. Morgenthau menambahkan, manusia
adalah haus kekuasaan (animus dominandi).[8]
Bagi kaum Realis, negara (state)
adalah aktor utama dalam HI, sekaligus
menekankan pada hubungan antarnegara (interstate
relations). Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas
yang bersifat tunggal (unitary)
dan rasional. Hal yang dimaksud adalah
dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga
menghasilkan satu suara. Sedangkan
negara dianggap rasional karena mampu mengalkulasikan bagaimana cara mencapai
kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal.[9]
Pemikiran Realisme Klasik
ini mendapat tantangan dari seorang bernama Neal Kenneth Waltz (lahir 1924)
dari Columbia University. Waltz menjadi sangat terkemuka di dalam ilmu HI dengan teori Neorealisme atau Realisme strukturalnya. Meski demikian, Waltz sependapat
dengan Realisme Klasik
di mana konsep kedaulatan negara masih menjadi aspek normatif.
Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat
anarki karena struktur internasional yang terdiri atas negara-negara yang
berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, Neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan
distribusi kekuasaan. Karena lahir merevisi Realisme Klasik,
Neorealisme memandang aktor-aktor kurang begitu penting
sebab struktur anarki inilah yang memaksa mereka beraksi dengan cara-cara
tertentu. Struktur atau sitem internasional beserta efeknya, pada dasarnya
adalah faktor utama yang menentukan tindakan.
Dalam buku “Man, the State, and War”, Waltz mendefinisikan anarki sebagai sebuah kondisi atas
kemungkinan untuk atau penyebab yang memungkinkan terjadinya perang,
memperdebatkan bahwa “perang terjadi karena tidak ada yang mencegahnya”. Anarki
mungkin bertahan karena negara-negara
ingin mempertahankan sifatnya yang otonom. Hal ini yang pada akhirnya menjadi
kritik Alexander Wendt —seorang Konstruktivis— terhadap Waltz. Anarki
menurut Wendt adalah apa yang negara buat sendiri[10].
Kenneth
Waltz berpendapat, perhatian mendasar negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup. Ia
juga menganggap masalah utama konflik negara berkekuatan besar adalah perang, dan tugas utama HI —di antara negara-negara berkekuatan besar— adalah perdamaian dan
keamanan.[11]
Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana
menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem itu. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat
alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara
adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya
yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam
menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori
determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan. Dalam
sistem atau pun cara mengooperasikannya inilah, terdapat kemungkinan,
perdebatan HAM bisa muncul dalam paradigma realis. Sejauh rezim HAM yang masuk
ke dalam sistem internasional bisa lebih menambah power suatu negara, terdapat kemungkinan realis menerima HAM, dan
sebaliknya.
HAM dan Kebijakan Luar Negeri
Hubungan
HAM dalam HI mewujud dan dapat dijumpai pada kebijakan luar negeri suatu
negara. Menurut Jack Donnelly, ada
tiga macam hubungan antara HAM dan
kebijakan luar negeri.[12]
Pertama, the realist
argument. Kaum Realis melihat politik internasional sebagai perjuangan
antara negara-negara yang mementingkan kepentingan nasionalnya masing-masing
dalam lingkungan yang anarki. Berhadapan dengan dunia yang (berpotensi atau
secara riil) bermusuhan satu sama lain, dan tidak ada pemerintahan global yang
bisa melindungi, maka perhatian terhadap power
menjadi mutlak dalam situasi apa pun untuk
mendapatkan keadilan atau pengakuan. Hal ini akan membuat negara terbuka atau “mengundang”
negara lain untuk menyerang.
Bagi Morgenthau, formula yang seharusnya mengenai
kepentingan nasional dijelaskan dalam kaitannya dengan power. Memasukkan perhatian soal HAM dalam kebijakan luar negeri,
sebagai instrumen untuk kepentingan nasional, sangat tidak tepat dan akan
membawa bahaya tersendiri. Menurut Morgenthau;
“the principles of
the defense human rights cannot be consistently applied in foreign policy
because it can and must come in conflict with other interests that may be more
important than the defense of human rights in a particular circumstances.”[13]
Baginya, hubungan antarnegera tidak didasarkan atas basis
moral dan basis moral hanya berlaku antarindividu. Ronald
Niebuhr’s dalam bukunya “Moral Man and
Immoral Society” menekankan perbedaan antara individu dalam hubungan moral
dengan dunia yang tidak bermoral yang menjadi fakta hubungan internasional.[14]
Kaum
realis ingin mengeluarkan domain
moral dari lanskap kebijakan luar negeri. George Kennan
menggambarkan secara kontras hubungan antara kepentingan nasional dan moralitas. Ia
membiarkan moralitas berada di
bawah kepentingan nasional. Kepentingan moral tidak menurunkan power.
Kaum
Realis melihat bahwa tidak bijak
menempatkan HAM dalam politik luar negeri. Ia harus dilihat kasus per kasus.[15]
Kedua, the statist (legalist) arguments. HI dibentuk dalam lingkaran kedaulatan, yang memberikan
garansi ekslusif kepada negara untuk menegakkan yurisdiksinya di dalam teritori dan sumber dayanya serta
penduduk masing-masing negara. Kedaulatan adalah hal yang menyebabkan prinsip
non-intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain. Kaum
statis melihat, HAM harus dikeluarkan dari kebijakan luar negeri sebab apa yang
dilakukan oleh negara dengan pertimbangan respek atas teritorinya
masing-masing. Argumentasi statis menekankan pada penerimaan secara luas yang
dibatasi power yang dinamakan
kedaulatan dan bentuk tradisional dari hukum internasional yang mengalir
bersamanya. Kaum statis melihat struktur dan prinsip normatif adalah hal yang
fundamental dari politik internasional.[16]
Argumen statis membahas pengaturan dunia (public world order), dan hukum
internasional adalah inti (core) dari
kedaulatan hukum. Secara virtual, semua
negara di setiap wilayah tergabung dalam kedulatan dasar ini, kecuali
jika negara itu itu dalam keadaan bahaya (at stake). Meski kedaulatan adalah titik awal dari hukum
internasional, hal ini tidak menjadi titik akhir. Kenyataannya, hukum
internasional dapat dilihat sebagai badan untuk membatasi (the body of restriction) dari kedaulatan melalui berbagai perjanjian yang
diterima dan dibuat. Selama lebih
dari setengah abad badan internasional hukum HAM (body of
international human rights law) telah dan masih terus dibangun. HAM telah menjadi subjek yang memiliki legitimasi dalam HI meski
berangkat dari pengaturan yang ketat tentang kedaulatan. Kelemahan dari
implementasi internasional dan mekanisme memaksa (enforcement) dapat disebabkan karena prinsipnya bertentangan dengan
prinsip non-intervensi. Tapi,
penekanan secara paksa (coerchive) tidak diperkenankan.[17]
Ketiga, the relativist (pluralist) argument. Kalangan relativis menekankan pada
prinsip “self determination” atau
komitmen dalam international pluralism. Sebuah negara harus menghadapi yurisdiksi negaranya, di mana dalam terminologi HAM hal itu
bisa direfleksikan dengan mempraktikkan HAM di negaranya masing-masing, seperti hak untuk
berpartisipasi dalam politik. Bagi kaum relativis, hukum internasional HAM dipandang
sebagai imperialisme moral.[18]
Studi Kasus Kebijakan Luar
Negeri AS pada Masa Perang Dingin
Yang
kerap menjadi persoalan adalah terdapat ketidaksesuaian antara kata dan laku
dari negara-negara yang selama ini menegaskan prinsip demokrasi dan HAM dalam
jantung kebijakan luar negerinya, namun berbeda dalam tataran praktiknya di
lapangan.
Untuk
melihat lebih jauh bagaimana ambivalensi ini bisa terjadi, studi kasus atas
kebijakan luar negeri AS pada masa Perang Dingin, khususnya di Chile selama
pemerintahan Augusto Pinochet menjadi relevan.
Fakta dukungan AS terhadap rezim-rezim anti demokrasi dan
pelanggar HAM diungkap Naomi
Klein dalam bukunya “Shock Doctrine”. Klein membongkar berbagai pengabaian persoalan HAM
dengan menggunakan dalih pembendungan terhadap ancaman komunisme dalam
kebijakan luar negeri AS. Peran AS mendukung rezim-rezim pelanggar HAM dan anti
demokrasi, terjadi di Amerika Selatan, Asia, Eropa dan Afrika.[19]
Dukungan AS terhadap rezim diktator anti demokrasi ini,
menurut Klein, dimulai dari era Dwight Eisenhower dari Partai Republik, yang
berhasil menangkap fenomena developmentalism,
berikut gagasan untuk memeranginya. Proyek ini diinisiasi oleh serangkaian
kejadian di Iran dan Indonesia ketika Mohammad Mossadegh dan Soekarno melakukan
berbagai proyek nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan minyak. Melalui serangkaian
operasi, Central Intelligence Agency
(CIA) sukses menggeser kekuasaan Mossadegh di Iran. CIA
juga mendukung coup d’etat di Guatemala tahun 1953 dan 1954.[20]
Kesuksesan di Guatemala menuai tantangan yang lebih berat
ketika memasuki belahan Selatan benua
Amerika, di mana developmentalism
memiliki akar ideologi dan massa yang kuat. Usaha ini dimulai ketika di Chile
bertemu dua orang AS yaitu Albion Patterson, Direktur U.S
International Cooperation Administration — badan ini kini menjadi USAID —
dengan Theodore W. Schultz ketua program Departemen Ekonomi Universitas
Chicago. Schultz berpendapat;
“What we need to do is to
change the formation of the men, to influence the
education, which is very bad”.[21]
Banyak
bukti menunjukkan bahwa CIA berperan serta aktif dalam mendukung sejumlah pihak
di Chile untuk menggulingkan pemerintahan Salvador Allende melalui jalan kudeta.[22]
Budiarto
Shambazy dalam pengantar buku Membongkar
Kegagalan CIA yang ditulis oleh wartawan The New York Times, Tim Weiner,
menggambarkan peran CIA dalam kudeta Allende meneruskan model kesuksesan CIA di
Indonesia yang mendukung Soeharto mengkudeta pemerintahan Soekarno.
“Saking
suksesnya CIA memakai metode ini untuk menunggangi Jendral Augusto Pinochet
menggulingkan pemerintahan Chile yang dipimpin Presiden Gustavo Allende yang
pro-komunis tahun 1973. Nama covert operation itu “Operasi Djakarta.”[23]
Apa yang terjadi di Amerika Selatan sebelumnya terjadi di
Benua Afrika. Pada pertengahan 1950-an Afrika Selatan memasuki babak paling
kelam dengan pemerintahan apartheid.
Nelson Mandela yang waktu itu adalah pemuda progresif yang tergabung dalam African Nationalist Congress (ANC) harus
mengubur impiannya mewujudkan Afrika Selatan yang berdaulat dengan menjalankan Piagam
Kebebasan (Freedom Charter).
Politik apartheid yang dijalankan
pemerintah tidak sekadar membagi kekuasaan politik termasuk hak suara bagi
kulit putih, melainkan apartheid
adalah satu bentuk sistem ekonomi yang menggunakan rasisme untuk menekan
sejumlah perjanjian yang seluruhnya menguntungkan jumlah penduduk kulit putih,
meski mereka sedikit jumlahnya.[24] F.W de Klerk adalah
pemimpin Partai Nasional yang didukung oleh kepentingan modal asing untuk
menghalangi usaha Mandela dan kawan-kawannya menjalankan Freedom Charter. Keterlibatan AS dalam mendukung rezim apartheid yang dimulai sejak pertengahan tahun 1950-an, terus menjadi
sebuah
tanda tanya besar bagi kebijakan politik luar negeri AS,
terutama menyangkut persoalan HAM dan demokrasi, terutama di Afrika
Selatan.
Pada
masa pemerintahan Lyndon B. Johnson dari Partai Demokrat,
AS
banyak terlibat aktif melalui CIA-nya dalam kudeta
militer di Indonesia yang dipimpin Soeharto tahun 1965. Kudeta militer tersebut
diikuti dengan pembunuhan massal (massacre)
dan penghilangan kader maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta
pemenjaraan orang-orang yang dituduh komunis dengan atau pun tanpa melalui proses pengadilan. Klein mencatat, dalam sekitar satu
bulan, setengah juta dan mungkin sampai satu juta orang dibunuh.[25]
Tentu saja, perilaku politik AS seperti ini banyak menuai kecaman dari negara-negara lain
karena Amerika sering membanggakan dirinya sebagai kampiun dan garda demokrasi,
dengan tradisi demokrasi yang kuat sejak deklarasi kemerdekaannya; 4 Juli 1776 hingga kini.[26] Hal ini dipertegas dengan doktrin Carter (1980) yang
berusaha mengaitkan masalah HAM dalam kebijakan luar negeri AS terhadap negara
lain. Presiden Carter setidaknya menyampaikan tiga kategori hak yang hendak
disampaikan AS ke seluruh penjuru dunia, di antaranya;
“the
rights to be free from governmental violation of integrity of the person; the
right to enjoy civil and political liberties; and the right to such vital needs
as food, shelter, health care, and education”.[27]
Chile
Di Chile, Pemerintah AS pun
berani mempengaruhi perubahan tradisi demokrasi negara itu yang sudah
berlangsung sejak tahun 1930-an. Semasa
pemerintahan Richard M. Nixon dari Partai Republik, CIA dan pejabat tinggi pemerintahan AS terlibat
aktif dalam mendukung kudeta militer Augusto
Pinochet, dalam menggulingkan
pemerintahan Salvador Allende yang mendapat mandat sah dari pemilu yang
demokratis. Setelah kudeta
berlangsung, Direktur CIA William Colby mengkonfirmasi dan membenarkan dukungan
ekonomi dengan jumlah US$ 6.476.166 kepada partai politik di Chile, media, dan
organisasi sektor privat di Chile yang menentang Salvador Allende.[28] Padahal,
selama Pinochet berkuasa, dia memimpin mejadi rezim pelanggar HAM dan anti-demokrasi. [29]
Tabel-tabel
di bawah ini menjelaskan bagaimana dukungan pemerintah AS terhadap pemerintah
Chile di bawah Augusto Pinochet[30]
Program or account
|
1974
|
1975
|
1976
|
1976TQ
|
1977
|
1978
|
1979
|
1980
|
1981
|
|||||
Bantuan Ekonomi, Total
|
9.8
|
95.5
|
78.3
|
5.1
|
33.25
|
7
|
13.44
|
10.18
|
12.04
|
|||||
Program or account
|
1982
|
1983
|
1984
|
1985
|
1986
|
1987
|
1988
|
1989
|
1990
|
|||||
Bantuan Ekonomi, Total
|
6.76
|
2.82
|
1.69
|
1.25
|
1.14
|
1.09
|
1.39
|
5.32
|
2.57
|
|||||
Program or account
|
1974
|
1975
|
1989
|
|||||||||||
Bantuan Militer, Total
|
16.1
|
0.62
|
0.05
|
|||||||||||
Hibah Program Bantuan Militer
|
.
|
.
|
.
|
|||||||||||
Pendidikan dan Pelatihan Militer
Internasional
|
1.14
|
0.62
|
0.05
|
|||||||||||
Program Pembiayaan Militer Asing
|
.
|
.
|
.
|
|||||||||||
Pembiayaan Militer Asing, Akun
Program Pinjaman Langsung
|
15
|
.
|
.
|
|||||||||||
Tabel 1: Bantuan-bantuan Luar
Negeri AS untuk Chile Semasa Pinochet (1974-1990)
|
(dalam juta US$)
|
Sumber: US Overseas
Loans & Grants [Greenbook]
|
Menurut Darren Hawkins dalam
Encyclopedia of Human Rights, pemerintahan junta militer dipimpin oleh empat
orang yaitu; Augusto Pinochet untuk Angkatan Darat, Jose Merino untuk Angkatan
Laut, Gustavo Leigh untuk Angkatan Udara, dan untuk Kepolisian Cesar Mendoza.[31] Meski demikian, Angkatan daratlah
yang pada akhirnya menjadi paling berpengaruh, terutama sejak Desember 1974
ketika Pinochet diangkat sebagai Presiden Chile. Di bawah Pinochet,
pemerintahan Chile memiliki tiga misi utama: mengeliminasi Marxisme, membangun
ulang ekonomi, dan stabilisasi sistem politik baru.[32]
Dirección de Inteligencia Nacional (DINA) atau dinas intelijen
nasional di bawah kepemimpinan Manuel Contreras adalah badan yang paling
bertanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM selama 1973-1977 sebagai
akibat dari politik eliminasi Marxis. [33]
Membangun
ulang ekonomi dapat diartikan sebagai mengadopsi secara cepat prinsip-prisip
ekonomi neoliberal. Prinsip-prinsip ini berfokus pada pengurangan peran
pemerintahan dalam sektor ekonomi, terutama dengan memotong sejumlah anggaran
subsidi; menurunkan pajak impor; dan menjual perusahaan milik negera.
Stabilitas politik berarti pemerintahan akan dipimpin oleh junta militer selama
beberapa waktu, karena demokrasi dan konstitusi tidak dapat berdiri bersama
Marxisme. Otoritas resmi sering membuat
klaim hanya militerlah yang mampu membasmi kangker Marxisme dari tubuh sistem
politik Chile.[34]
Meski jumlah komprehensif pelanggaran HAM selama
pemerintahan junta belum pernah terpublikasi secara utuh, pada tahun 1990
pemerintahan demokratik baru di bawah Presiden Aylwin membentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi inilah
yang pada 1991 menerbitkan laporan tentang jumlah korban meninggal dunia dan
orang yang dihilangkan di Chile.[35]
National Corporation of Reparation and
Reconciliation mencatat ada 1.792 korban (meninggal dunia) akibat
pelanggaran HAM oleh pemerintahan Pinochet, selama periode September-Desember
1973.[36]
Tahun Provinsi Santiago Total
1973 182 65
247
1974 22
201 223
1975 21 55 76
1976 5
106 111
1977 7 5 12
Total 237 432 699
Tabel 2: Daftar Orang Hilang selama 1973-1977
Sumber: www.foia.state.gov
Organisasi di bawah otoritas Gereja Katolik juga banyak
mencatat detail persoalan orang hilang dan korban di bawah kepemimpinan junta
militer. Adalah Committee of Cooperation
for Peace (COPACHI) yang kemudian menjelma menjadi organisasi bernama Vicariate of Solidarity (Solidaritas
Korban). COPACHI bekerja sama dengan jaringan di luar Chile dan mampu melakukan
advokasi internasional dengan mengirimkan laporan tersebut kepada Amnesti
International, International Committee of
the Red Cross (ICRC), American Watch,
the International Commission of Jursits,
PBB, Organization of American State
(OAS), dan lain-lain.[37]
Akibat laporan ini, untuk pertama kali Majelis Umum
PBB mengutuk pemerintahan Chile pada bulan
Desember 1974. Dan untuk
pertama kalinya, penyalahgunaan
wewenang negara dengan pelanggaran HAM dikritisi, meski tanpa
menghubungkan persoalan ini
dengan masalah keamanan internasional. Pemerintah Inggris kemudian menghentikan
penjualan senjata ke Chili pada
1974. Pemerintah
AS setelah mendapat tekanan politik yang
diinisiasi oleh Senator Edward Kennedy,
pada akhirnya mengurangi bantuan ekonomi ke
Chile. Akhirnnya, pemerintah AS
menghentikan bantuan militer, namun
tidak menghentikan penjualan
senjata.[38]
Di titik inilah politik luar negeri AS kerap menjadi
bertolak belakang terhadap nilai-nilai yang diyakini Pemerintah
AS, yaitu dukungan terhadap nilai-nilai
demokrasi dan pemajuan HAM. Pertanyaannya kemudian, mengapa
hal itu bisa terjadi? Di mana posisi nilai-nilai tersebut dalam proses
pembuatan kebijakan luar negeri pemerintah AS?
American Exceptionalism
Politik
luar negeri AS di Amerika Latin dan di tempat lain pada era Perang Dingin didominasi
oleh doktrin “American Exceptionalism”.
Menurut Noam Chomsky, AS tidak seperti great
power lain — baik pada masa lalu maupun masa kini — karena menurutnya, AS
memiliki “transcendcent purpose” yaitu ”the establishment of equality and freedom
in America”. Chomsky juga sejalan dengan Morgenthau yang menyatakan, pada
kenyataannya kebijakan luar negeri AS yang “transcendent
purpose” mengingkari realitas sejarah yang ada. [39]
Chomsky
mengkritik keras kebijakan luar negeri AS di Amerika Latin yang mana pemerintah
AS sendiri justru melakukan kejahatan terhadap politik AS yang ideal, yaitu
komitmennya untuk mempromosikan demokrasi dan HAM.[40] Ia
menjelaskan ambivalensi persoalan ini dengan mengutip Samuel P. Huntington pada
jurnal International Security: “AS
melakukan berbagai tindakan yang bertentangan dengan politik idealnya, yang
bertujuan menjadi dan mempertahankan ‘international
primacy’ dengan mempromosikan identitas nasionalnya.”[41] Hal
tersebut tidak bisa dijelaskan secara empiris, seperti penjelasan 2 + 2 = 4.
Jika dijelaskan secara empiris maka yang akan terjadi adalah penyangkalan terhadap
realitas (abuse of reality).[42]
Identitas
nasional AS itu sendiri bagi Huntington, adalah kumpulan dari nilai-nilai
ekonomi dan politik universal; kebebasan (liberty),
demokrasi (democracy), persamaan (equality), kepemilikan pribadi (private property), dan pasar (market). AS, bagi Huntington, merasa
berkewajiban menjalankan sendiri keunggulan international (international primacy) untuk kepentingan dan keuntungan
masyarakat-masyarakat lain di dunia.[43]
Huntington
berpendapat bahwa nilai-nilai ini memang diperjuangkan oleh negara-negara besar
lain dari waktu ke waktu dan dengan derajat tertentu, meski komitmennya tidak
seperti AS. Hal ini tidak mengatakan
bahwa persoalan ini selalu menjadi prioritas utama kebijakan luar negeri AS.
Keprihatianan dan kebutuhan lainnya juga menjadi pertimbangan. Pernyataan
tersebut juga bukan berarti
bahwa promosi demokrasi,
HAM, dan pasar
jauh lebih penting
bagi kebijakan AS daripada kebijakan negara lain. Mengikuti apa yang telah dicapai oleh Carter, dan
Ronald Reagen, Bill Clinton telah berkomitmen untuk mendedikasikan diri pada
kebijakan luar negeri “democrtatic
realism” yang tujuan utamanya adalah promosi AS untuk demokrasi di dunia.[44]
Mempertahankan American primacy dan memperkuat pengaruh AS di dunia sangat
diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Argumentasi ini untuk menjelaskan
bahwa primacy tidak dapat dicapai
tanpa adanya argumentasi nilai-nilai politik dan ekonomi, dan nilai-nilai ini
tidak dapat dicapai tanpa demokrasi.[45]
Studi yang dilakukan penulis
mengenai dukungan pemerintah AS terhadap rezim antidemokratis seperti dukungan
terhadap rezim Pinochet menunjukkan, kebijakan luar negeri HAM pemerintah
AS mendapat tantangan serius ketika kepentingan strategis, ekonomi, dan
keamanan AS terancam di negera lain. Persoalan
ini kemudian menjadi pertarungan sengit di antara para pembuat kebijakan luar
negeri AS dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Pragmatisme untuk
mempertahankan kepentingan ekonomi dan mencapai stabilitas politiklah yang pada
akhirnya harus mengalahkan isu HAM dalam kebijakan luar negeri AS pada masa Perang
Dingin.[46]
Memperhatikan contoh kasus
implementasi HAM dalam kebijakan luar negeri AS di Chile membuktikan bahwa HAM
tidak cukup menjadi perhatian ketika kepentingan nasional suatu negara
berhadapan dengan isu-isu keamanan dan ekonomi. Hard power masih mendominasi diskursus kebijakan luar negeri suatu
negara.
Beberapa pertanyaan
- Bagaimana HAM sebagai rezim yang
diyakini mampu membawa politik ideal yang lebih bermartabat masuk ke dalam
kancah diskursus Hubungan Internasional?
- Apa makna nilai-nilai HAM dalam perspektif
realisme atau neorealisme?
- Di mana posisi nilai-nilai moral
seperti HAM dan demokrasi pada kebijakan luar negeri (di negera Anda)?
- Bagaimana mempromosikan HAM di dalam
kebijakan luar negeri untuk membuat kebijakan luar negeri yang lebih
bermartabat?
- Mana yang lebih penting; satu nyawa
seseorang di negara lain atau keuntungan ekonomi dan stabilitas politik?
- Bagaimana diskursus HAM dalam HI pasca
Perang Dingin?
[1]
John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning
Toleration, disunting oleh J.W. Gough, Blackwell, Oxford, 1964
[2] Stephen D.
Krasner, Structural Causes and Regime
Consequences: Regime as Intervening Variables, Hal.1. Dalam
esai tersebut Krasner mendefinisikan rezim sebagai “… principles, norms, rules, and
decision-making procedures around which actor expectations converge in a given
issue-area”.
[3] Leslie Gelb
and Justine Rosenthal, “Morality and Forign Policy”, Foreign Affairs, vol. 82 (May/June, 2003), 2.
[4] Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Kata Pengantar” dalam Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah,
terj. A. Rahman Zainuddin (Jakarta:Yayasan Obor, 2005), viii-ix.
[5] Ibid., 2-3
[6] Perang
Dingin kerap disebut banyak orang sebagai masa berakhirnya Perang Dunia II
sampai runtuhnya tembok Berlin pada 1989. Meski tidak ada perang secara
langsung antara AS dan Uni Soviet, pada masa Perang Dingin terjadi beberapa
kali perang di negara-negara periferi kedua superpower itu. Perang Dingin
sendiri berlangsung selama empat dekade. Dari tahun 1947 sampai 1989. Puncaknya
terjadi pada 1947-1963, ketika di sana ada ketegangan negosiasi antara AS dan
Uni Soviet. Menurut Joseph S. Nye, Understanding
International Conflicts: An Introduction to Theory and History (New York:
Pearson Longman, 2009), apa yang membuat Perang Dingin menjadi begitu luar
biasa adalah bahwa ada periode ketegangan yang berlarut-larut dan tidak
berakhir dalam perang antara dua negara saingan (AS dan Uni Soviet).
[7] Kenneth
Waltz, “International Relations: One World Many Theories”, Foreign Policy
No.
110, Special Edition: Frontiers of Knowledge (Spring, 1998), hal.
31.
[8]
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction
to International Relations (New York: Oxford University Press, 1999).
[9]Paul R.
Viotti dan Mark V. Kauppi, International
Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, and Beyond (New York: Prentice Hall, 1998).
[10]
Alexander Wendt, Anarchy is what States
Make of it: The Social Construction of Power Politics, International Organization
Vol. 46, No. 2, The MIT Press (Spring, 1992)
[11] Kenneth
N. Waltz, Theory of International
Politics, McGraw-Hill Higher Education, 1979, hal. 112.
[12] Jack
Donnelly, Universal Human Rights in
Theory and Practice, Cornell University Press, 2003, hal
156
[13]
Hans J. Morgenthau, "Human Rights and Foreign Policy,"
First Distinguished CRIA Lecture on Morality & Foreign Policy (New York:
CRIA, 1979). (terjemahan: “Prinsip-prinsip mempertahankan HAM tidak
bosa secara konsisten diaplikasikan dalam kebijakan luar negeri karena hal
tersebut pasti akan membawa konflik antarkepentingan yang mungkin lebih penting
dari mempertahankan HAM dalam banyak hal”).
[19] Naomi
Klein, The Shock Doctrine: The Rise of
Disaster Capitalism (London: Penguin Books, 2008), 57-59.
[21]
Ibid., hal. 59 (terjemahan: “Yang perlu kita lakukan adalah mengubah formasi
orang-orangnya, mempengaruhi sistem pendidikan, yang sangat buruk.”)
[22]
Grace Livingstone, America’s Backyard:
The United States and Latin America from the Monroe Doctrine to the War on
Terror (London: Zed Books Ltd., 2009), 58. Militer AS berkomunikasi sampai
saat kudeta berlangsung, dan terus berkomunikasi mendukung junta militer. Dari
dokumen yang telah dipublikasikan, AS tidak secara langsung mendukung kudeta,
namun hanya menciptakan suasana yang tepat untuk melaksanakan kudeta. Tahun
1975, rapat senat mempertanyakan apakah AS secara langsung terlibat dalam
kudeta. Komite menemukan tidak memiliki bukti untuk hal tersebut. Militer Chile
dan stafnya yang melaksanakan kudeta.
[23] Tim Weiner,
Membongkar Kegagalan CIA, Spionase
Amatiran Sebuah Negara Adidaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
xv.
[24] Klein, The Shock Doctrine, 196.
[25] Ibid., 67.
[26] James Baker
dalam Melvin I. Urofsky, Basic Readings
in US Democracy (Washington DC: United States Information Agency, 1994),
354-355.
[27] Ibid
(terjemhan: hak untuk bebas dari kekerasan yang dilakukan oleh
pemerintah karena integritas seseorang; hak untuk menikmati kebabasan sipil dan
politik; dan hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar seperti pangan, rumah,
perawatan kesehatan dan pendidikan).
[28] Jeremi
Suri, Henry Kissinger and the American
Century (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007),
239.
[29] Augusto José Ramón Pinochet Ugarte (Valparaíso, 25 November 1915–Providencia, 10 Desember 2006). Menurut Lois
Hecth Oppenheim, Politics In Chile:
Democracy, Authoritarianism, and the Search for Development, Second Edition
(Boulder: Westview Press, 1999), Komisi HAM Chile melaporkan sebanyak 2.279
orang dibunuh selama pemerintahan Pinochet, 17,8 persennya berasal dari partai
sosialis, 16,9 berasal dari MIR, dan 15,5 berasal dari komunis militan.
[30]
U.S. Overseas Loans and Grants (Greenbook), Diakses di Information Resource
Center, U.S. Embassy Jakarta pada Mei
2011
[31] Darren
Hawkins, “Chile in the Pinochet Era” dalam Encyclopedia
of Human Rights, David P. Forsythe (ed.), (New York: Oxford University
Press, 2009), 309-319.
[32] Ibid.
[33] Adalah
Kolonel Manuel Contreras, Kepala Dinas Intelijen di bawah Pinochet yang mengaku
bertanggung jawab atas berbagai pembunuhan dan penyiksaan kejam tersebut. Dia menjadi agen bayaran CIA dan bertemu dengan petinggi CIA di Virginia
dua tahun setelah kudeta. Contreras akhirnya dipenjara selama 7 tahun setelah
rezim Pinochet yang berkuasa selama 17 tahun tumbang. Weiner, Membongkar Kegagalan CIA, 403-4.
[34] Forsythe
(ed.), Encyclopedia of Human Rights,
310-1.
[35] Kumpulan dokumen resmi rahasia yang sudah dideklasifikasi dapat diakses di http://www.foia.state.gov/SearchColls/Results.asp?ResultMaxDocs=-1&ResultCount=50&SortField=DocDate&SortOrder=Desc&Page=1&Collection=state&DocumentClass=Kissinger&DocumentClass=foiaitar&DocumentClass=Pinochet&DocumentClass=Chile2&QueryText=&Search.x=35&Search.y=15#
[38] Forsythe
(ed.), Encyclopedia of Human Rights,
311-2.
[39] Noam
Chomsky, Hopes and Prospect, (London:
Penguin Books, 2010), 39.
[40] Ibid., 41.
[42] Ibid.,
39-40.
[43] Samuel P.
Huntington, “Why International Primacy Matters”, International Security, Vol. 17, No. 4 (Spring 1993): 82.
[44] Ibid.
[45] Ibid., 83.
[46]
Awigra, “Dukungan Amerika Serikat terhadap Rezim
Antidemokrasi dan Rezim Pelanggar HAM dan Antidemokrasi; Studi Kasus Dukungan Amerika
Serikat di Chile pada Pemerintahan Augusto Pinochet (1973-1990)”, tesis Pasca
Sarjana Ilmu Hubungan Internasional UI, 2011.
No comments:
Post a Comment