Malam ini pukul 21.15. Aku memacu laju motorku. Membelah malam dan menerabas hujan. Padahal, sepotong bulan tampak di atas sana. Aku yakin, hujan ini tiada lama. Aku tetap menarik gas Pedrosa menuju sebuah tempat di mana seseorang pada masa laluku berada.
Lima tahun lalu. Di sebuah kedai minum kopi. Saat malam menjelang pagi, sering kali kuhabiskan waktu di tempat itu bersama dengan teman satu rumahku. Memesan roti bakar dan segelas kopi susu. Kita sering membahas mimpi di hari depan. Dia mengingikan bekerja di sebuah perusahaan pertambangan dengan gaji menggunakan standar Amerika. Dia sering sekali mengolok-olok aku. Katanya, "Nanti pas abang lagi liburan ke Jakarta, terus abang lagi hambur-hambur uang tuh, pas di jalan aku ngeliat kamu jadi penjual lontong sayur, hahahahahaha!"
Dan jelas aku membalasnya.... Jauh lebih parah.
Tapi tak apalah. Awalnya memang sebuah obrolan ringan. Tapi ternyata ada sebuah pengharapan besar ada di balik cerita-cerita itu. Dia yang malam ini kutemui sudah bekerja di perusahaan pertambangan, mempunyai seorang anak lelaki yang sungguh tampan, dan dia jauh lebih gemuk dari yang kubayangkan.
Sementara dia pun melayangkan pujian spesial untukku. Kita sama-sama saling mengapresiasi. kami berkendara ke arah Karena dulunya, kami sama-sama orang selalu dipandang sebelah mata oleh kebanykan. Mungkin juga masih sampai sekarang. Tapi tak apalah. Biarkan saja orang mau omong apa.
Satu hal yang aku dapati dia sungguh berubah. Dia sekarang memiliki rasa takut. Dulu dia adalah jagoan di kampus dan lapangan bola. Semua saja ingin ia tundukkan secara fisik. Mutanya tajam, tulang pelipisnya tebal, mata cekung ke dalam, dan sorotnya tajam. Kadang, kumis dibiarkannya tumbuh.
"Abang sekarang bukan seperti yang dulu," akunya. Sekarang, lanjut dia, aku nggak bisa lagi mikirin aku sendiri. Setiap saat aku mikir si ucok anakku. "Kamu juga harus berhati-hati," pesannya.
Dia juga menceritakan bagaiamana cara pandangannya mengenai Jakarta. "Apa sih yang orang-orang ini cari? Kalau di daerah, mereka itu akan digaji mahal. Mereka punya kemapuan. Tenaga kerja sedikit. Tak tahu aku. Padahal, di daerah sangat membutuhkan orang-orang yang mau bekerja keras. Tak perlu pintar!" katanya lagi.
Saat itu, masa lalu menjadi begitu dekat. Kata-kata ini aku dengar kembali. Semuanya menjadi gamblang terbayang, terbungkus rapi oleh suasana malam menjelang pagi di ibu kota.
***
Semuanya hanyalah misteri. Dulu aku sama sekali tidak menyangka, kalau gurauannya menyimpan sebuah pengharapan yang total ia usahakan.
Untuk abangku, YLTHN!
Thursday, January 8, 2009
Sunday, January 4, 2009
Kupu-Kupu Kuning
Lereng Gunung Ciremai tampak sendu. Puncaknya terlihat samar-samar terhalang kelabu. Angin bertiup malu-malu. Terang tidak, hujan pun tiada. Nyanyi seruling bocah gembala mengalun pelan melantunkan sebuah tembang kemakmuran Negeri Parahyangan. Namun kerbau piaraannya tiada berdendang. Ternak di sana terlihat masih ingin memperpanjang tidurnya. Waktu itu, pagi baru saja berlalu.
Matari belum sempat tersenyum, banyak perempuan tani dengan sayuran di bakul diikat selendang meniti beberapa buah bambu yang dijajar membentuk semacam landasan, menyeberang sungai yang cukup deras airnya dan sangat curam jurangnya. Sungai yang memisahkan antara kampungnya di kaki cermai dan kota di mana pasar berada. Tempat mereka menajajakan hasil bumi yang mungkin untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Wajah-wajahnya keras tiada berseri. Walau santun jelas tergambar dari garis wajahanya. Satu per satu mereka melewati powotan (semacam jembatan) bambu itu. Dan mereka kemudian memacu langkahnya. Sampai mereka perlahan menghilang di balik punggung pepohonan.
Entah mengapa, aku terbawa suasana. Hanyut dalam kesenduan. Mengalir dalam lamunan. Menyepi seorang diri. Nyawa di mana raga entah ke mana. Kosong. Aku memasuki ruang antara bangun dan terlelap. Sadar dan tidak.
Di antara tarik menarik antara dua kekuatan itu kini aku berada. Dan kebimbangan adalah jurang maut tersendiri yang lebar menganga. Perasaanku kini mirip dengan perempuan tani yang sedang melewat powotan bambu itu.
Kalau perempuan tani itu tidak begitu memedulikan resiko dirinya bisa saja terpeleset dan pada akhirnya jatuh, mengapa perasaan bimbangku untuk menyeberang sungai perasaanku sendiri kadang melewat?
Tiba-tiba saja, aku memutuskan untuk meneladan perempuan tani itu. Aku terus masuk ke dalam belantara lamunan. Menukik jauh sampai ke negeri batas senja. Tempat di mana manusia pencinta itu sudah satu minggu aku tinggalkan. Dia yang sering membuat aku terperangkap masuk ke dalam belantara perasaan sadar dan tidak. Bahwa entah ini nyata atau hanya ada dalam alam mimpi saja. Benar atau tidak, aku tidaklah pasti tahu bahwa aku sekarang menjalin asmara dengan dia. Gadis dari batas senja.
Dalam alam lamunku, sungguh dia hadir begitu nyata. Semantara kenyataannya, dia jauh tampak sebagai tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita saja. Kita dipisahkan oleh begitu banyak perbedaan. Minat, cara berpikir, cara memandang, sikap, termasuk warna kulit, suku, agama, dan semuanya saja beda. Siapa dia, siapa aku.
Tapi masalahnya, mengapa aku selalu memikirkannya? Mengapa dia terus ada dalam setiap tarikan nafas dan setiap aliran darahku? Dan mengapa aku sungguh menyukainya?
Di tengah-tengah lamunku, datanglah seekor kupu-kupu kuning entah dari mana. Terbang capat lalu hinggap di bahu kiriku setelah sesaat sayap kirinya yang lembut menyentuh pipi kiriku. Setelah tersenyum sebentar, dia kembali terbang, memutar dan meliuk bagai seorang penari balet. Dan kemudian menghilang enatah ke mana. Aku pun terbangun dari lamunku. Mencari ke mana kupu-kupu itu pergi. Dan tiada kudapati dia. Padahal ingin sekali aku menayakan sesuatu padanya. Pertanyaan kepadanya tentang sebuah kekuatan cinta yang ceritanya mampu mengalahkan segala-galanya. Dan aku yakin kupu-kupu kuning tahu jawabannya.
Katanya, maut pun tak bisa mengalahkan kekuatan cinta. Setidaknya itu aku tahu itu lewat cerita-cerita. Entah nyata atau bukan. Aku tidaklah peduli. Cerita cinta antara Sam Pek dan Eng Tai. Kekuatan cinta Eng Tai kepada Sam Pek mampu mengangakat timbunan tanah di atas liang lahat Sam Pek. Dan Eng Tai lari dari arak-arakan pengantin yang akan menjdodhkan dirinya dengan pria lain. Ia menerjunkan diri dan mendapati Sam Pek di bawah sana. Cinta Sam Pek pun tidak binasa. Kekuatannya mampu menarik tanah liang lahatnya dan kemudian langsung menutup kembali.
Ketika kubur itu digali, tiada didapati mereka berdua. Yang ada hanyalah terbangnya dua ekor kupu-kupu kuning yang menari-nari begitu saja lepas tiada beban. Berseri sepanjang musim.
***
Aku yakin sekali kupu-kupu kuning itu adalah Gadis Batas Senja. Karena, disadadri atau tidak, hampir setiap perempuan di negeri batas senja ingin seperti Eng Tai. Dia memiliki kekuatan cinta dan kesetiaan yang lauar biasa. Sehingga ia tiada binasa!
Masih di antara sadar dan tidak, aku meyakini kupu-kupu kuning itu adalah dia....
menjelang fajar,
4 Januari 2009
Friday, January 2, 2009
Imposible is Nothing!
Matari pertama tahun baru ini kutemui saat aku sedang pulang dari negeri batas senja menuju Jakarta. Sinarnya tak bisa langsung menyentuh sang bumi kekasihnya. Mega-mega menutup matanya. Ia laksana seorang ksatria yang sedang mengintip bidadari yang sedang telanjang mandi. Pandangannya terhalang oleh desiran angin yang membawa serta titik-titik embun yang terlambat turun. Kala itu, pelangi pagi seharusnya ada di belakangku...
Persis enam jam sebelumnya. Gegap gempita menyambut tahun baru terasa di mana-mana. Hampir seluruh penduduk bumi ingin mempersembahkan sesuatu kepadaNya. Lewat kembang api, disampiakannya berjuta harap kepada para dewata di atas sana. Satu lecutan sinar merah merona terbang menembus langit seraya meletus dan melahirkan beberapa anak api yang kemudian juga meletus menyemburkan berjuta warna di batas nirwana. Dari bawah, terlihat seperti brokli ajaib yang membelah malam. Dan di sudut-sudut kota, orang-orang berhamburan menyaksikan rasa syukur berbentuk kembang api yang ingin menggapai langit.
Para dewata pun ternyata ikut berpesta. Aroma wewangian muda-mudi di bawah sana, harum daging ikan, kambing, babi, sapi dan ayam panggang membumbung jauh ke atas membentuk semacam pilar putih yang menyangga kaki para dewata berpijak dan larut dalam suasana pesta.
Penduduk bumi bersyukur dan berharap, sementara para dewata mencoba menyeleksi apa yang menjadi permintaan orang-orang yang sedang berkumpul di bawah sana. Dari atas jelas terlihat. Ada yang sungguh serius meminta, ada yang hanya sekadarnya, ada pula yang terlelap tak menghiraukannya. Dan dewa-dewi bak seorang hakim agung yang sedang dinanti-nanti kedatangannya.
Dan beginilah ceritanya. Para dewata itu senang dengan orang-orang yang gemar memberi sesaji. Di malam tahun baru, para dewa juga sedang memasuki masa panen. Panen sesaji. "Rejeki nomplok," kata Dewa Kemakmuran beregah bangga.
Tak mau kalah, dengan Dewa Kemakmuran yang dipuja oleh hampir seluruh penduduk bumi di bawah sana yang menginginkan tahun baru ini memperoleh berkat darinya, Dewa Api pun tak mau kalah. Kepada Dewa Kemakmuran, Dewa Api bertanya, "Bagaimana kamu akan tahu siapa saja yang memohon kemakmuran tanpa perantaraan kembang api di malam ini?"
"Terang saja dari ucapan mereka, aku bisa mendengarnya. Hahahahhaaha..."
Dan dewa angin pun menyela, "Tanpa aku, bisakah setiap suara di bawah sana akan sampai ke nirwana? Tidak-tidak. Aku tidak mau membantumu," katanya kepada Dewa Kemakmuran.
Singkat cerita, di nirwana sana, terjadi adu mulut yang luar biasa. Siapa melebihi siapa. Dan diambilah sebuah keputusan penting di antara para dewata. Melalui sebuah rapat terbuka, diputuskanlah sebuah maklumat. Berapapun hasil sesaji yang membumbung dari perut bumi ke negeri kahyangan, akan dibagi rata oleh setiap dewa yang ada. Palu pun diketuk. Dewa keadilan, memimpin jalannya pembagian sesajian. Malam itu juga.
Saking banyaknya sesembahan yang harus dibagi, mereka akhirnya dimabuk sasaji. Dewa Pencatat pun akhirnya kelelahan dan bekerja asal-asalan. Ada yang menyumbang sedikit tertulis banyak, ada yang menyumbang sangat banyak tidak tertulis, dan ada juga yang tidak menyumbang tertulis menyumbang sangat banyak.
Dan di bawah sana orang-orang penduduk di bumi sungguh percaya, dewata akan memberikan keadilan mutlak. Absolut. Mereka berlomba-lomba menjadi yang paling bisa memberikan kesenangan bagi para dewa. Ada yang menggunakan berbagai trik supaya permohonannya dikabulkan. Maklum, 2009 ada sebuah agenda politik besar di tanah air. selain kembang api, mereka juga melarungkan hasil bumi, membuat korban bakaran dan juga mempersembahkan wewangian, kemenyan dan minyak mur di atas makam dan di bawah pohon-pohon rindang. Seolah, dewata sudah dikepung oleh seluruh persembahannya. Pikirnya, kemana pun dewa melangkah ke sana pula dia akan bertemu sesajinya yang tak lain untuk mengabulkan permohonannya.
Namun, apalah mau dikata. Di negeri kahyangangan sana samasekali tidak seserius yang diduga oleh kebanyakan orang di muka bumi ini. Di sana parea dewa sudah mabuk. Terlalu capek dan terlalu banyak berdebat satu dengan lainnya. Kerjaan kelewat banyak. Dan pada akhirnya, mereka bekerja asal-asalan.
Enam jam kemudian. Saat orang-orang di atas planet bumi sedang banyak terlelap. Para dewata menurunkan berkatnya. Hujan gerimis pun menjadi tanda turunnya berkat dari para dewata.
Aku sebagai satu oang yang tidak tahu menahu soal berkat dan sesajian. Pada saat pulang, aku merasa sungguh mendapatkan berkat. Padahal, aku adalah seorang yang yang tidak tahu menahu masalah sesaji. Dan sama sekali tidak mengaharap berkat. Namun, orang banyak mengelu-elukan aku. Memuji aku kelewat batas seolah persembahanku diterima para dewa. Dan bakti dan karyaku di dunia berkenan di mata dewa.
Belum sampai di Jakarta, orang-orang memenuhi pinggir-pinggir jalan berdesak-desakkan mencari tempat terbaik utuk dapat melihat aku yang hanya menggunakan sepeda motor. Mereka merasa tidak beruntung dan akhirnya ingin mendapat peruntungan dari kebaikan hatiku membagi-bagikan berkat yang mendadak saja aku terima dari atas langit.
Dan mereka pun menengadahkan tangannya di hadapanku. Sontak, aku merasa sama seperti para dewata. Aku merasa bingung karena terlalu banyak tangan yang menengadah dan akan saling berebut. Baru aku mengambil segenggam, sudah hilang seluruh lengan dan bajuku koyak. Tak kuasa aku menahan sakit dan tak bisa lagi aku mengendarai lajunya sepeda motorku. Aku pun terjun bebas ke kali. berhamburan kembali berkat-berkat itu ke atas permukaan air yang mengalir menuju Laut Jawa. Dan sudah bisa ditebak, orang-orang berlomba-lomba mencegurkan diri berharap dapat meraih berkat-berkat yang mulai menjauh hanyut. Dan mereka pun akhirnya dijemput maut karena hanyut juga dalam ambisi perebutan berkat.
Keesokan harinya. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Bau anyir dan busuk di mana-mana membangunkan tidur para dewata. Dan mereka murka, sehari setelah berpesta, mereka tidak bisa beristirahat justru diusik oleh harum sesungguhnya sifat manusia di dunia.
Para dewata melihat ke bawah. melihat ribuan orang mati sia-sia. Di sekitarnya terlihat pula berbondong-bondnong orang menangisi kepergian Bapak, Ibu, Adik, Kakak, Paman, Bibi dan tetangga mereka.
Dan begitulah akhir ceritanya. Dewata kecewa, manusia kecewa. Dewata bersedih, manusia ikut bersedih. Tangis isak dan derai air mata ada di mana-mana.
Inilah sekelumit kisah dari negeri di alam mimpi. Negeri korupsi. di mana banyak orang berlomba-lomba mencari muka di hadapan pimpinannya. Dan pimpinannya bukan pimpinan yang baik. Mereka termakan oleh suap dan jompa-jampi pujian. Dan mereka tak mau kerja keras. Dan menderitalah semuanya. Termasuk perempuan dan anak-anak tak berdosa!
***
Jika Anda tinggal di negeri seperti ini, maka "imposible is nothing"
1 Januari 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)