Pages

Monday, March 15, 2010

Hantu Mayoritarianisme

Apa yang pernah didebatkan James Madison dengan Thomas Jeferson dalam the Federalist Papers sepertinya sedang terjadi di sini yaitu bahaya mayoritarianisme dalam demokrasi. Tak bisa disangkal bahwa demokrasi memberikan ruang istimewa bagi mayoritas. Salah satu contoh operasinaliasasinya adalah pemilu. Daerah mana yang memiliki dapil (daerah pemilihan) paling banyak? Tentu saja Jawa, yang notabene memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Apa jadinya jika hal ini terjadi pada daerah-daerah yang secara teritori luas dan kaya akan sumber mineral sementara sedikit dalam arti jumlah penduduk? Situasi inilah yang menimpa berbagai kawasan khususnya di Indonesia bagian Timur dan tengah. Buktinya adalah tingginya angka kemiskinan dan kematian. Negara seharusnya bertanggungjawab atas sitasi ini (lihat konstitusi).

Persoalan ketidakadilan di berbagai aras kehidupan adalah salahsatu pangkal sebab dari berbagai turbulensi sosial-politik, ekonomi, dan budaya di tanah air. Ketika banyak daerah di Indonesia bagian Timur dan Tengah mulai merasa tereksploitasi secara sumber daya alam, tapi tidak dipertimbangkan secara proporsional dalam penentuan kebijakan politik, hukum, dan pembangunan, rasa terdiskriminasi itu menguat. Ketika orang-orang ingin menuntut haknya, pemerintah justru mendekati mereka dengan cara-cara militeristik yang menghalalkan kekerasan. Bahkan, cap sparatis dan ingin berbuat maker dilekatkan kepada mereka. Beberapa daerah mulai berani mengangkat panji-panji wilayahnya dan bahkan ingin melepaskan diri dari Indonesia.

Sementara, yang terjadi di tingkat elit nasional adalah wabah mayoritarianisme dalam bentuk-bentuknya yang ingin mencari menangnya sendiri. Spirit kebebasan yang dihirup setelah reformasi, dirayakan baru sebatas bebas dari represi politik Orba. Belum sampai bagaimana memberikan penghargaan terhadap yang berbeda pendapat. Ada kelompok yang mengaku merasa dirinya mayoritas berhak meyerang kelompok yang diniali sesat, menyimpang, dan sebagainya. Di sana sudah terjadi banyak sekali korban baik harta benda maupun nyawa.

Meski reformasi sudah membangun sistem pelibatan publik dalam setiap pengambilan keputusan, namun tetap saja bahaya tirani mayoritas diisi oleh parpol-parpol besar. Celakanya, parpol saat ini hanya bekerja mengatasnamakan kepentingan rakyat. Belum sepenuhnya berjuang demi kepentingan rakyat. Parpol belum melaksanakan fungsinya dengan benar. Malah, menjadi sumber persoalan akut di mana tradisi korupsi merajalela di sana.

Umum diketahui, jika mau menjadi calon legislatif melalui parpol besar, seseorang sudah harus menyerahkan sejumlah uang dalam sekala besar kepada parpol tersebut, belum lagi sitem pendaftarannya di KPU sudah banyak pihak sebut sangat korup. Sehingga, siapa yang bisa menjadi representasi rakyat adalah bukan orang-orang yang berasal dari rakyat miskin dan terpinggirkan. Mereka adalah orang-orang kaya yang karena kekuatan akses modal dan jaringannya terhadap penguasalah yang selalu menduduki posisi-posisi penting tersebut. Bagaimana mereka bisa menyuarakan kepentingan rakyat miskin? Bagaimana mereka bisa menyuarakan kepentingan rakyat di daerah-daerah miskin di perbatasan? Rasanya itu mustahil. Yang ada di benak wakil-wakil rakyat itu kemungkinan adalah bagaimana mereka dapat mengembalikan modalnya selama masa kampanye!

Pada akhirnya, bagaimana cara mereka membuat keputusan? Membuat agenda kerja? membuat prioritas program? Dan bagaimana menyusun struktur anggaran?
Fragmentasi ketidaksensitifan elit penguasa dalam membuat kebijakan publik telanjang disaksikan baru-baru ini melalui pembelian mobil-mobil dinas baru para pejabat dari tingkat pusat sampai daerah. Bagaimana perlindungan pemerintah justru kepada pemilik modal seperti Lapindo!

Belum lagi soal pelarangan buku yang notabene adalah cara-cara rezim otoriter. Memang betul bahwa alasan yang dikemukakan adalah untuk menjaga kepentingan mayoritas (ketertiban umum). Tetapi persis karena alasan mayoritarianisme itulah yang menjadi titik kisruh. Pertanyaan utamanya adalah apakah alasan mayoritarian cukup menjadi dasar bagi sebuah pencekalan dan pelarangan sebuah karya dan kreatifitas.

Demokratisasi yang digadai dengan model mayoritarianisme seperti inilah yang seharusnya dijungkirbalikkan! Tapi hal ini bukan dengan kembali kepada rezim otoritarianisme, sentralistik, dan militeristik a la Soeharto.

Menurut John Rawls, ketidaksama¬rataan dalam hal kekuasaan, kekayaan dan status hanya dapat dibenarkan sejauh semuanya itu sangat menguntungkan anggota masyarakat yang paling terbelakang, apalagi sejauh posisi atau jabatan yang membawa ketidaksamarataan dalam hal kekuasaan, kekayaan dan status, itu juga benar-benar terbuka bagi semua orang (ketidakmerataan fungsional). Asas keadilan sosial menegaskan perlunya pembagian kekayaan dan kekuasaan demi keuntungan anggota masyarakat yang paling kurang diuntungkan. Dengan kata lain fokus utama dari asas keadilan adalah nasib anggota masyarakat yang paling kurang diun-tungkan.

Bagaimana keadilan itu bisa berujung pertama-tama kepada yang miskin dan terpinggirkan baik secara kualitas, kuantitas maupun akses. Hal itu hanya mungkin terjadi ketika orang miskin dan terpinggirkan bisa masuk, terlibat dan mempengaruhi setiap keputusan public didorong oleh gerakan masyarakat sipil pro demokrasi yang dapat memanfaatkan celah untuk ikut berpartisipasi aktif dalam setiap pembuatan peraturan perundang-undangan (Bdk. Pasal 53 UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Kekuasaan juga harus dikontrol dengan baik oleh media massa yang sehat.

Mayoritarianisme dalam pengertian ini harus dihapuskan. Demokrasi seharusnya memberi peluang yang sama derajatnya untuk siapa saja di depan hukum dan keadilan.


No comments: