Pages

Sunday, March 28, 2010

Hirarki atau Anarki?

Menyoal perlukah kekuatan hegemonik hadir guna menciptakan kesetabilan sistem internasional, tak lepas dari debat hirarki atau anarki dalam sistem internasioal. Hirarki yang dimaksudkan di sini adalah terdapat semacam pemerintahan dunia. Sementara anarki, adalah sistem internasional dianalogikan ibarat rimba raya. Setiap negara memiliki kedaulatanya masing-masing.

Kekuatan hegemonik seperti Amerika Serikat misalnya, memang mampu bertindak sebagai pengganti pemerintahan internasional, meski tanpa harus melanggar asumsi dasarnya yaitu egoisme yang rasional ; AS menjalankan peran ini karena kepentingannya untuk melakukan hal ini .

Kekutan hegemonik jelas diperlukan dalam kapasitasnya yang mampu menciptakan keadaan yang memungkinkan sistem bekerja dalam kondisi fair play – dalam konteks rejim perdagangan, untuk membuka batas-batas untuk mengimpor dan untuk menjauhkan prilaku ‘kreatif’ yang dapat merusak aturan dalam sistem. Meski demikian, negara pesaing yang ada di dalam sistem tersebut bukanlah aktor yang bodoh. Mereka memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari akses pasar yang dibuka oleh kekuatan hegemmonik. Namun, pada saat yang sama mereka berharap kekuatan hegemonik tidak beraksi berlebihan terhadap manufernya. Secara bertahap, kekuatan hegemonik akan tergoda untuk memaksakan kehendaknya dan lepas dari norma-norma bersama yang aturan mainnya seharusnya dikendalikan oleh Negara yang memiliki kekuatan hegemonik. Pada akhirnya, situasi ini disadari oleh negara-negara yang berada dalam sistem tersebut sebagai persoalan eksistensi dari pemilik kekuatan hegemonik. Tindakan kekutan hegemonik kemudian dinilai sekadar memenuhi kepentingannya sendiri daripada mengusahakan kepentingan bersama . Hal tersebut di atas –kurang lebih– adalah sebuah gambaran bagaimana Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan hegemonik melaksanakan hegemoni ekonomi selama lebih dari 50 tahun terakhir. AS tergoda pada pilihan kebijakan jangka pendek seperti membiayai Perang Vietnam, misalnya.

Sejak tahun 1941, Majalah Times sudah mengumumkan kedatangan dari “American Century”. Dunia yang pada abad-abad sebelumnya dikuasi oleh imperium Eropa, kini masa depannya tenggelam dalam bayang-bayang AS. Argumentasi tersebut mudah saja dicarikan buktinya. Tahun 1945, AS melaju sendiri sebagai Negara industri yang tidak pernah hancur akibat perang –sudah diperkirakan sebelumnya bahwa AS menguasai separo dari total produksi dunia. Dalam merespon Nazi dan mengatasi agrasi militer Jepang, AS telah berbalik arah dari peningkatan kapasitas produksi ke dalam revolusi teknologi militer yang canggih, dengan dukungan Angkatan Laut dan Udara paling hebat sedunia, tentara yang high tech, dan satu-satunya negara yang memiliki nuklir .

Secara singkat, AS pada tahun 1945 meiliki kelimpahan ekonomi dan bentuk-bentuk kekuasaan tradisional akibat dominasinya di seluruh dunia, sebuah konsep yang nantinya menjadi cikal bakal pengertian “soft” power . Namun, “American Century” atau abad Amerika gagal terwujud. Alasannya, pertama, meskipun kekuatan militer besar dimiliki oleh AS, namun posisi Uni Soviet yang lebih dekat dengan Eropa Barat dan Tengah, sebuah pintu masuk yang diharapkan AS untuk menjadi gerbang demokarasi dan liberalismenya memberikan keuntungan potensial bagi Soviet untuk mengerahkan kekuatannya seperti yang dilakukannya selama tahun 1941-5. Hal ini membuat para pengamat Barat menjadi ngeri. Apalagi, ketika pada akhirnya Uni Soviet berhasil mengembangkan nuklirnya sendiri . Dari sanalah, Soviet percaya diri dan menantang kubu AS siap untuk ‘bermitra’ dalam “balance of power ”. Kedua, dalam strategi pada masa Perang Dingin, AS memberikan hibah kepada Negara-negara Eropa Barat dan Jepang dengan imbalan subsidi militer dan dengan stimulasi ekonomi di mana investasi bebas masuk ke negara-negara penerima Marshall Plan. Hasilnya adalah, pada satu tingkat, sangat memuaskan; dalam waktu sangat singkat, Ekonomi Eropa telah dibangun kembali dan mereka melampaui tingkat kemakmuran masa sebelum perang. - di bawah kepemimpinan Amerika dua puluh tahun dari awal 1950-an hingga awal 1970-an, belum pernah terjadi peningkatan kekayaan global terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Tapi, mudah bisa ditebak cerita selanjutanya, negara-negara yang baru sukses secara ekonomi dalam iklim kapitalis mulai untuk bersaing sukses dengan AS, dan Negara patner AS seperti mereka menjadi lebih kaya dan lebih powerful, dengan keengganan yang tinggi mengikuti kemauan AS dalam memimpin agenda-agendanya. Lambat laun akhirnya, “soft power” AS mulai memudar setelah periode perrang berakhir. Kepercayaan diri melalui kultur Eropa Barat terbangun kembali seiring dengan meningkatnya kekayaan mereka. Sementara, AS yang mengambil alih peran Inggris di Eropa, justru terjebak dalam perang dingin dengan Uni Soviet yang malah membangkitkan sentiment anti AS, khususnya di Prancis dan Italia, di aman Partai Komunis subur berkembang . Pada tahun 1950an Rock and Roll menjadi pop culture di AS, yang diikuti oleh anak-anak muda di Inggris tahun 1960-an yang justru memiliki aliran anti kemapanan dan berada di balik gerakan sipil melawan kebijakan AS menyerang Vietnam.

Semua berkata, pada awal 1970-an Amerika jelas negara yang paling kuat di dunia, tetapi bicara tentang abad Amerika telah menjadi sangat ketinggalan zaman. Untuk semua intensi dan tujuan, AS sudah dikalahkan di Vietnam, dan militernya sangat amoral dan tidak bekerja efektif; sebuah simbol kegagalan yang sempurna.

Meski demikian, kekuatan hegemonik tidaklah selamanya mutlak dibutuhkan untuk menjaga kesetabilan sistem internasional. Adalah Robert Keohane dalam After Hegemony memberi inspirasi yang berbeda. Rejim –dalam sebuah sistem internasional, bisa saja terus eksis meski telah memasuki masa “aftrer hegemony”. Hal itu disebabkan karena proses pembangunan rejim telah selesai. Dan pada akhirnya, tugas yang tersisa jauh lebih mudah karena sistem telah bekerja .

AS kini
Awal abad 21, ditandai oleh serangan kilat 2 jam yang merobohkan menara kembar WTC di New York, Washington, DC, dan di lapangan Pennsylvania. AS bingung harus memulai dari mana mengawali abad baru ini. Satu-satunya jalan adalah terus berjalan dan dengan penuh keyakinan seperti pendahulunya bahwa jalannya ditemukan saat berjalan . Dengan kejadian 9/11, AS seolah disadarkan bahwa globalisasi yang digerakkan oleh kapitalisme global yang sebagaian besar berdomisili di AS. Pesannya sangat jelas. Serangan itu menusuk ke jantung pertahanan kapitalisme global yakni WTC. Yang menarik, reaksi dari ungkapan kesedihan atas tragedi tersebut datang terutama dari Eropa Barat, dan minim sekali simpati dan hampir terkesan membisu yang datang dari dunia selatan atau yang sering disebut dunia Muslim.

Tidak mengherankan, pasca 9 / 11 seluruh rakyat Amerika, dan Presiden Bush mendeklarasikan 'War on Terror' langsung disambut secara luas di Amerika Serikat, dan di banyak negara lain di dunia - walaupun beberapa berpendapat bahwa penggunaan istilah 'perang' adalah tidak bijaksana; para teroris itu bukan tentara, dan terlebih lagi, perang adalah peristiwa terpisah sedangkan kampanye melawan Al-Qaeda itu tidak akan memiliki akhir yang menentukan. Namun, awal reaksi internasional tentang gagasan perang melawan teror cukup positif, dan hubungan AS dengan Rusia, Cina dan India ditingkatkan dalam waktu semalam -masing-masing Negara ini telah mereka menyambut gerakan antiteroris pada level domestik .

Peristiwa 9 / 11 mendorong AS untuk bertindak, tapi itu penentuan dengan siapa AS akan bertindak, apakah sendirian atau dengan sekutu yang paling dekat, sesama liberal, demokrasi kapitalis di Eropa Barat? Respon awal pasca 9/11 menjadi kembali ambigu. Ambivalensi hubungan AS-Eropa menjadi ciri karakter periodesasi selanjutanya; kadang dekat dan kadang jauh. Perang Irak tahun 2003 misalnya, menggambarkan peta politik hubungan AS-Eropa, di mana Perancis, Jerman dan Rusia memainkan peran yang sangat aktif dalam upaya menggagalkan tercapainya suatu Resolusi PBB untuk mengesahkan tindakan tersebut. Perang ini diperjuangkan oleh koalisi lain yang mau, sekali lagi termasuk Inggris dan Australia, tetapi juga dengan kontribusi dari Polandia dan sejumlah negara Eropa Timur lainnya meskipun tanpa
dukungan PBB secara eksplisit.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Apakah saat ini sudah terjadi keretakkan hubungan antara AS dan Eropa Barat? Meski agak tidak masuk akal mengingat hubungan ekonomi dan hubungan kesejarahan AS dan Eropa Barat seolah mustahil bakal retak.

Kerajaan Amerika abad 21 memang harus dilihat dengan cara yang berbeda ketika melihat kerajaan pada abad 19. Meski AS masih menjadi kekutan hegemonik dengan kekuatan militernya yang mustahil ditandingi oleh siapapun, namun hegemoni AS kini lebih dilihat dalam lanskap ekonomi. Kritik dari kukuasaan AS secara umum mengabaikan isu-isu yang sifatnya alternatif. Namun, bayangkan jika hari ini tidak ada lagi kekuatan hegemonik AS? Setidaknya hal ini untuk mengkritisi bagaimana jika AS terjebak masuk dalam isolationism. Meski demikian, Banyak promotor masyarakat sipil global dan gerakan progresif kiri tampaknya berpikir bahwa dengan kekuatan Amerika yang keluar dari jalan, PBB akan demokratis, kapitalisme dunia akan
dijinakkan, terorisme global akan menghilang, singa akan berbaring bersama domba di Tengah dan di Timur Jauh, dan orang-orang di dunia akan mengabdikan diri untuk menciptakan Kerajaan Surga di Bumi, mungkin dengan semacam korps perdamaian global untuk membawa kekayaan lingkungan suara untuk yang miskin dan yang tidak bersenjata dan kepolisian berfungsi untuk menjamin bahwa tidak aka ada pelanggaran hak asasi manusia dihormati di mana-mana.

No comments: