Menyoal perlukah kekuatan hegemonik hadir guna menciptakan kesetabilan sistem internasional, tak lepas dari debat hirarki atau anarki dalam sistem internasioal. Hirarki yang dimaksudkan di sini adalah terdapat semacam pemerintahan dunia. Sementara anarki, adalah sistem internasional dianalogikan ibarat rimba raya. Setiap negara memiliki kedaulatanya masing-masing.
Kekuatan hegemonik seperti Amerika Serikat misalnya, memang mampu bertindak sebagai pengganti pemerintahan internasional, meski tanpa harus melanggar asumsi dasarnya yaitu egoisme yang rasional ; AS menjalankan peran ini karena kepentingannya untuk melakukan hal ini .
Kekutan hegemonik jelas diperlukan dalam kapasitasnya yang mampu menciptakan keadaan yang memungkinkan sistem bekerja dalam kondisi fair play – dalam konteks rejim perdagangan, untuk membuka batas-batas untuk mengimpor dan untuk menjauhkan prilaku ‘kreatif’ yang dapat merusak aturan dalam sistem. Meski demikian, negara pesaing yang ada di dalam sistem tersebut bukanlah aktor yang bodoh. Mereka memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari akses pasar yang dibuka oleh kekuatan hegemmonik. Namun, pada saat yang sama mereka berharap kekuatan hegemonik tidak beraksi berlebihan terhadap manufernya. Secara bertahap, kekuatan hegemonik akan tergoda untuk memaksakan kehendaknya dan lepas dari norma-norma bersama yang aturan mainnya seharusnya dikendalikan oleh Negara yang memiliki kekuatan hegemonik. Pada akhirnya, situasi ini disadari oleh negara-negara yang berada dalam sistem tersebut sebagai persoalan eksistensi dari pemilik kekuatan hegemonik. Tindakan kekutan hegemonik kemudian dinilai sekadar memenuhi kepentingannya sendiri daripada mengusahakan kepentingan bersama . Hal tersebut di atas –kurang lebih– adalah sebuah gambaran bagaimana Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan hegemonik melaksanakan hegemoni ekonomi selama lebih dari 50 tahun terakhir. AS tergoda pada pilihan kebijakan jangka pendek seperti membiayai Perang Vietnam, misalnya.
Sejak tahun 1941, Majalah Times sudah mengumumkan kedatangan dari “American Century”. Dunia yang pada abad-abad sebelumnya dikuasi oleh imperium Eropa, kini masa depannya tenggelam dalam bayang-bayang AS. Argumentasi tersebut mudah saja dicarikan buktinya. Tahun 1945, AS melaju sendiri sebagai Negara industri yang tidak pernah hancur akibat perang –sudah diperkirakan sebelumnya bahwa AS menguasai separo dari total produksi dunia. Dalam merespon Nazi dan mengatasi agrasi militer Jepang, AS telah berbalik arah dari peningkatan kapasitas produksi ke dalam revolusi teknologi militer yang canggih, dengan dukungan Angkatan Laut dan Udara paling hebat sedunia, tentara yang high tech, dan satu-satunya negara yang memiliki nuklir .
Secara singkat, AS pada tahun 1945 meiliki kelimpahan ekonomi dan bentuk-bentuk kekuasaan tradisional akibat dominasinya di seluruh dunia, sebuah konsep yang nantinya menjadi cikal bakal pengertian “soft” power . Namun, “American Century” atau abad Amerika gagal terwujud. Alasannya, pertama, meskipun kekuatan militer besar dimiliki oleh AS, namun posisi Uni Soviet yang lebih dekat dengan Eropa Barat dan Tengah, sebuah pintu masuk yang diharapkan AS untuk menjadi gerbang demokarasi dan liberalismenya memberikan keuntungan potensial bagi Soviet untuk mengerahkan kekuatannya seperti yang dilakukannya selama tahun 1941-5. Hal ini membuat para pengamat Barat menjadi ngeri. Apalagi, ketika pada akhirnya Uni Soviet berhasil mengembangkan nuklirnya sendiri . Dari sanalah, Soviet percaya diri dan menantang kubu AS siap untuk ‘bermitra’ dalam “balance of power ”. Kedua, dalam strategi pada masa Perang Dingin, AS memberikan hibah kepada Negara-negara Eropa Barat dan Jepang dengan imbalan subsidi militer dan dengan stimulasi ekonomi di mana investasi bebas masuk ke negara-negara penerima Marshall Plan. Hasilnya adalah, pada satu tingkat, sangat memuaskan; dalam waktu sangat singkat, Ekonomi Eropa telah dibangun kembali dan mereka melampaui tingkat kemakmuran masa sebelum perang. - di bawah kepemimpinan Amerika dua puluh tahun dari awal 1950-an hingga awal 1970-an, belum pernah terjadi peningkatan kekayaan global terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Tapi, mudah bisa ditebak cerita selanjutanya, negara-negara yang baru sukses secara ekonomi dalam iklim kapitalis mulai untuk bersaing sukses dengan AS, dan Negara patner AS seperti mereka menjadi lebih kaya dan lebih powerful, dengan keengganan yang tinggi mengikuti kemauan AS dalam memimpin agenda-agendanya. Lambat laun akhirnya, “soft power” AS mulai memudar setelah periode perrang berakhir. Kepercayaan diri melalui kultur Eropa Barat terbangun kembali seiring dengan meningkatnya kekayaan mereka. Sementara, AS yang mengambil alih peran Inggris di Eropa, justru terjebak dalam perang dingin dengan Uni Soviet yang malah membangkitkan sentiment anti AS, khususnya di Prancis dan Italia, di aman Partai Komunis subur berkembang . Pada tahun 1950an Rock and Roll menjadi pop culture di AS, yang diikuti oleh anak-anak muda di Inggris tahun 1960-an yang justru memiliki aliran anti kemapanan dan berada di balik gerakan sipil melawan kebijakan AS menyerang Vietnam.
Semua berkata, pada awal 1970-an Amerika jelas negara yang paling kuat di dunia, tetapi bicara tentang abad Amerika telah menjadi sangat ketinggalan zaman. Untuk semua intensi dan tujuan, AS sudah dikalahkan di Vietnam, dan militernya sangat amoral dan tidak bekerja efektif; sebuah simbol kegagalan yang sempurna.
Meski demikian, kekuatan hegemonik tidaklah selamanya mutlak dibutuhkan untuk menjaga kesetabilan sistem internasional. Adalah Robert Keohane dalam After Hegemony memberi inspirasi yang berbeda. Rejim –dalam sebuah sistem internasional, bisa saja terus eksis meski telah memasuki masa “aftrer hegemony”. Hal itu disebabkan karena proses pembangunan rejim telah selesai. Dan pada akhirnya, tugas yang tersisa jauh lebih mudah karena sistem telah bekerja .
AS kini
Awal abad 21, ditandai oleh serangan kilat 2 jam yang merobohkan menara kembar WTC di New York, Washington, DC, dan di lapangan Pennsylvania. AS bingung harus memulai dari mana mengawali abad baru ini. Satu-satunya jalan adalah terus berjalan dan dengan penuh keyakinan seperti pendahulunya bahwa jalannya ditemukan saat berjalan . Dengan kejadian 9/11, AS seolah disadarkan bahwa globalisasi yang digerakkan oleh kapitalisme global yang sebagaian besar berdomisili di AS. Pesannya sangat jelas. Serangan itu menusuk ke jantung pertahanan kapitalisme global yakni WTC. Yang menarik, reaksi dari ungkapan kesedihan atas tragedi tersebut datang terutama dari Eropa Barat, dan minim sekali simpati dan hampir terkesan membisu yang datang dari dunia selatan atau yang sering disebut dunia Muslim.
Tidak mengherankan, pasca 9 / 11 seluruh rakyat Amerika, dan Presiden Bush mendeklarasikan 'War on Terror' langsung disambut secara luas di Amerika Serikat, dan di banyak negara lain di dunia - walaupun beberapa berpendapat bahwa penggunaan istilah 'perang' adalah tidak bijaksana; para teroris itu bukan tentara, dan terlebih lagi, perang adalah peristiwa terpisah sedangkan kampanye melawan Al-Qaeda itu tidak akan memiliki akhir yang menentukan. Namun, awal reaksi internasional tentang gagasan perang melawan teror cukup positif, dan hubungan AS dengan Rusia, Cina dan India ditingkatkan dalam waktu semalam -masing-masing Negara ini telah mereka menyambut gerakan antiteroris pada level domestik .
Peristiwa 9 / 11 mendorong AS untuk bertindak, tapi itu penentuan dengan siapa AS akan bertindak, apakah sendirian atau dengan sekutu yang paling dekat, sesama liberal, demokrasi kapitalis di Eropa Barat? Respon awal pasca 9/11 menjadi kembali ambigu. Ambivalensi hubungan AS-Eropa menjadi ciri karakter periodesasi selanjutanya; kadang dekat dan kadang jauh. Perang Irak tahun 2003 misalnya, menggambarkan peta politik hubungan AS-Eropa, di mana Perancis, Jerman dan Rusia memainkan peran yang sangat aktif dalam upaya menggagalkan tercapainya suatu Resolusi PBB untuk mengesahkan tindakan tersebut. Perang ini diperjuangkan oleh koalisi lain yang mau, sekali lagi termasuk Inggris dan Australia, tetapi juga dengan kontribusi dari Polandia dan sejumlah negara Eropa Timur lainnya meskipun tanpa
dukungan PBB secara eksplisit.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Apakah saat ini sudah terjadi keretakkan hubungan antara AS dan Eropa Barat? Meski agak tidak masuk akal mengingat hubungan ekonomi dan hubungan kesejarahan AS dan Eropa Barat seolah mustahil bakal retak.
Kerajaan Amerika abad 21 memang harus dilihat dengan cara yang berbeda ketika melihat kerajaan pada abad 19. Meski AS masih menjadi kekutan hegemonik dengan kekuatan militernya yang mustahil ditandingi oleh siapapun, namun hegemoni AS kini lebih dilihat dalam lanskap ekonomi. Kritik dari kukuasaan AS secara umum mengabaikan isu-isu yang sifatnya alternatif. Namun, bayangkan jika hari ini tidak ada lagi kekuatan hegemonik AS? Setidaknya hal ini untuk mengkritisi bagaimana jika AS terjebak masuk dalam isolationism. Meski demikian, Banyak promotor masyarakat sipil global dan gerakan progresif kiri tampaknya berpikir bahwa dengan kekuatan Amerika yang keluar dari jalan, PBB akan demokratis, kapitalisme dunia akan
dijinakkan, terorisme global akan menghilang, singa akan berbaring bersama domba di Tengah dan di Timur Jauh, dan orang-orang di dunia akan mengabdikan diri untuk menciptakan Kerajaan Surga di Bumi, mungkin dengan semacam korps perdamaian global untuk membawa kekayaan lingkungan suara untuk yang miskin dan yang tidak bersenjata dan kepolisian berfungsi untuk menjamin bahwa tidak aka ada pelanggaran hak asasi manusia dihormati di mana-mana.
Sunday, March 28, 2010
Monday, March 15, 2010
Hantu Mayoritarianisme
Apa yang pernah didebatkan James Madison dengan Thomas Jeferson dalam the Federalist Papers sepertinya sedang terjadi di sini yaitu bahaya mayoritarianisme dalam demokrasi. Tak bisa disangkal bahwa demokrasi memberikan ruang istimewa bagi mayoritas. Salah satu contoh operasinaliasasinya adalah pemilu. Daerah mana yang memiliki dapil (daerah pemilihan) paling banyak? Tentu saja Jawa, yang notabene memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Apa jadinya jika hal ini terjadi pada daerah-daerah yang secara teritori luas dan kaya akan sumber mineral sementara sedikit dalam arti jumlah penduduk? Situasi inilah yang menimpa berbagai kawasan khususnya di Indonesia bagian Timur dan tengah. Buktinya adalah tingginya angka kemiskinan dan kematian. Negara seharusnya bertanggungjawab atas sitasi ini (lihat konstitusi).
Persoalan ketidakadilan di berbagai aras kehidupan adalah salahsatu pangkal sebab dari berbagai turbulensi sosial-politik, ekonomi, dan budaya di tanah air. Ketika banyak daerah di Indonesia bagian Timur dan Tengah mulai merasa tereksploitasi secara sumber daya alam, tapi tidak dipertimbangkan secara proporsional dalam penentuan kebijakan politik, hukum, dan pembangunan, rasa terdiskriminasi itu menguat. Ketika orang-orang ingin menuntut haknya, pemerintah justru mendekati mereka dengan cara-cara militeristik yang menghalalkan kekerasan. Bahkan, cap sparatis dan ingin berbuat maker dilekatkan kepada mereka. Beberapa daerah mulai berani mengangkat panji-panji wilayahnya dan bahkan ingin melepaskan diri dari Indonesia.
Sementara, yang terjadi di tingkat elit nasional adalah wabah mayoritarianisme dalam bentuk-bentuknya yang ingin mencari menangnya sendiri. Spirit kebebasan yang dihirup setelah reformasi, dirayakan baru sebatas bebas dari represi politik Orba. Belum sampai bagaimana memberikan penghargaan terhadap yang berbeda pendapat. Ada kelompok yang mengaku merasa dirinya mayoritas berhak meyerang kelompok yang diniali sesat, menyimpang, dan sebagainya. Di sana sudah terjadi banyak sekali korban baik harta benda maupun nyawa.
Meski reformasi sudah membangun sistem pelibatan publik dalam setiap pengambilan keputusan, namun tetap saja bahaya tirani mayoritas diisi oleh parpol-parpol besar. Celakanya, parpol saat ini hanya bekerja mengatasnamakan kepentingan rakyat. Belum sepenuhnya berjuang demi kepentingan rakyat. Parpol belum melaksanakan fungsinya dengan benar. Malah, menjadi sumber persoalan akut di mana tradisi korupsi merajalela di sana.
Umum diketahui, jika mau menjadi calon legislatif melalui parpol besar, seseorang sudah harus menyerahkan sejumlah uang dalam sekala besar kepada parpol tersebut, belum lagi sitem pendaftarannya di KPU sudah banyak pihak sebut sangat korup. Sehingga, siapa yang bisa menjadi representasi rakyat adalah bukan orang-orang yang berasal dari rakyat miskin dan terpinggirkan. Mereka adalah orang-orang kaya yang karena kekuatan akses modal dan jaringannya terhadap penguasalah yang selalu menduduki posisi-posisi penting tersebut. Bagaimana mereka bisa menyuarakan kepentingan rakyat miskin? Bagaimana mereka bisa menyuarakan kepentingan rakyat di daerah-daerah miskin di perbatasan? Rasanya itu mustahil. Yang ada di benak wakil-wakil rakyat itu kemungkinan adalah bagaimana mereka dapat mengembalikan modalnya selama masa kampanye!
Pada akhirnya, bagaimana cara mereka membuat keputusan? Membuat agenda kerja? membuat prioritas program? Dan bagaimana menyusun struktur anggaran?
Fragmentasi ketidaksensitifan elit penguasa dalam membuat kebijakan publik telanjang disaksikan baru-baru ini melalui pembelian mobil-mobil dinas baru para pejabat dari tingkat pusat sampai daerah. Bagaimana perlindungan pemerintah justru kepada pemilik modal seperti Lapindo!
Belum lagi soal pelarangan buku yang notabene adalah cara-cara rezim otoriter. Memang betul bahwa alasan yang dikemukakan adalah untuk menjaga kepentingan mayoritas (ketertiban umum). Tetapi persis karena alasan mayoritarianisme itulah yang menjadi titik kisruh. Pertanyaan utamanya adalah apakah alasan mayoritarian cukup menjadi dasar bagi sebuah pencekalan dan pelarangan sebuah karya dan kreatifitas.
Demokratisasi yang digadai dengan model mayoritarianisme seperti inilah yang seharusnya dijungkirbalikkan! Tapi hal ini bukan dengan kembali kepada rezim otoritarianisme, sentralistik, dan militeristik a la Soeharto.
Menurut John Rawls, ketidaksama¬rataan dalam hal kekuasaan, kekayaan dan status hanya dapat dibenarkan sejauh semuanya itu sangat menguntungkan anggota masyarakat yang paling terbelakang, apalagi sejauh posisi atau jabatan yang membawa ketidaksamarataan dalam hal kekuasaan, kekayaan dan status, itu juga benar-benar terbuka bagi semua orang (ketidakmerataan fungsional). Asas keadilan sosial menegaskan perlunya pembagian kekayaan dan kekuasaan demi keuntungan anggota masyarakat yang paling kurang diuntungkan. Dengan kata lain fokus utama dari asas keadilan adalah nasib anggota masyarakat yang paling kurang diun-tungkan.
Bagaimana keadilan itu bisa berujung pertama-tama kepada yang miskin dan terpinggirkan baik secara kualitas, kuantitas maupun akses. Hal itu hanya mungkin terjadi ketika orang miskin dan terpinggirkan bisa masuk, terlibat dan mempengaruhi setiap keputusan public didorong oleh gerakan masyarakat sipil pro demokrasi yang dapat memanfaatkan celah untuk ikut berpartisipasi aktif dalam setiap pembuatan peraturan perundang-undangan (Bdk. Pasal 53 UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Kekuasaan juga harus dikontrol dengan baik oleh media massa yang sehat.
Mayoritarianisme dalam pengertian ini harus dihapuskan. Demokrasi seharusnya memberi peluang yang sama derajatnya untuk siapa saja di depan hukum dan keadilan.
Apa jadinya jika hal ini terjadi pada daerah-daerah yang secara teritori luas dan kaya akan sumber mineral sementara sedikit dalam arti jumlah penduduk? Situasi inilah yang menimpa berbagai kawasan khususnya di Indonesia bagian Timur dan tengah. Buktinya adalah tingginya angka kemiskinan dan kematian. Negara seharusnya bertanggungjawab atas sitasi ini (lihat konstitusi).
Persoalan ketidakadilan di berbagai aras kehidupan adalah salahsatu pangkal sebab dari berbagai turbulensi sosial-politik, ekonomi, dan budaya di tanah air. Ketika banyak daerah di Indonesia bagian Timur dan Tengah mulai merasa tereksploitasi secara sumber daya alam, tapi tidak dipertimbangkan secara proporsional dalam penentuan kebijakan politik, hukum, dan pembangunan, rasa terdiskriminasi itu menguat. Ketika orang-orang ingin menuntut haknya, pemerintah justru mendekati mereka dengan cara-cara militeristik yang menghalalkan kekerasan. Bahkan, cap sparatis dan ingin berbuat maker dilekatkan kepada mereka. Beberapa daerah mulai berani mengangkat panji-panji wilayahnya dan bahkan ingin melepaskan diri dari Indonesia.
Sementara, yang terjadi di tingkat elit nasional adalah wabah mayoritarianisme dalam bentuk-bentuknya yang ingin mencari menangnya sendiri. Spirit kebebasan yang dihirup setelah reformasi, dirayakan baru sebatas bebas dari represi politik Orba. Belum sampai bagaimana memberikan penghargaan terhadap yang berbeda pendapat. Ada kelompok yang mengaku merasa dirinya mayoritas berhak meyerang kelompok yang diniali sesat, menyimpang, dan sebagainya. Di sana sudah terjadi banyak sekali korban baik harta benda maupun nyawa.
Meski reformasi sudah membangun sistem pelibatan publik dalam setiap pengambilan keputusan, namun tetap saja bahaya tirani mayoritas diisi oleh parpol-parpol besar. Celakanya, parpol saat ini hanya bekerja mengatasnamakan kepentingan rakyat. Belum sepenuhnya berjuang demi kepentingan rakyat. Parpol belum melaksanakan fungsinya dengan benar. Malah, menjadi sumber persoalan akut di mana tradisi korupsi merajalela di sana.
Umum diketahui, jika mau menjadi calon legislatif melalui parpol besar, seseorang sudah harus menyerahkan sejumlah uang dalam sekala besar kepada parpol tersebut, belum lagi sitem pendaftarannya di KPU sudah banyak pihak sebut sangat korup. Sehingga, siapa yang bisa menjadi representasi rakyat adalah bukan orang-orang yang berasal dari rakyat miskin dan terpinggirkan. Mereka adalah orang-orang kaya yang karena kekuatan akses modal dan jaringannya terhadap penguasalah yang selalu menduduki posisi-posisi penting tersebut. Bagaimana mereka bisa menyuarakan kepentingan rakyat miskin? Bagaimana mereka bisa menyuarakan kepentingan rakyat di daerah-daerah miskin di perbatasan? Rasanya itu mustahil. Yang ada di benak wakil-wakil rakyat itu kemungkinan adalah bagaimana mereka dapat mengembalikan modalnya selama masa kampanye!
Pada akhirnya, bagaimana cara mereka membuat keputusan? Membuat agenda kerja? membuat prioritas program? Dan bagaimana menyusun struktur anggaran?
Fragmentasi ketidaksensitifan elit penguasa dalam membuat kebijakan publik telanjang disaksikan baru-baru ini melalui pembelian mobil-mobil dinas baru para pejabat dari tingkat pusat sampai daerah. Bagaimana perlindungan pemerintah justru kepada pemilik modal seperti Lapindo!
Belum lagi soal pelarangan buku yang notabene adalah cara-cara rezim otoriter. Memang betul bahwa alasan yang dikemukakan adalah untuk menjaga kepentingan mayoritas (ketertiban umum). Tetapi persis karena alasan mayoritarianisme itulah yang menjadi titik kisruh. Pertanyaan utamanya adalah apakah alasan mayoritarian cukup menjadi dasar bagi sebuah pencekalan dan pelarangan sebuah karya dan kreatifitas.
Demokratisasi yang digadai dengan model mayoritarianisme seperti inilah yang seharusnya dijungkirbalikkan! Tapi hal ini bukan dengan kembali kepada rezim otoritarianisme, sentralistik, dan militeristik a la Soeharto.
Menurut John Rawls, ketidaksama¬rataan dalam hal kekuasaan, kekayaan dan status hanya dapat dibenarkan sejauh semuanya itu sangat menguntungkan anggota masyarakat yang paling terbelakang, apalagi sejauh posisi atau jabatan yang membawa ketidaksamarataan dalam hal kekuasaan, kekayaan dan status, itu juga benar-benar terbuka bagi semua orang (ketidakmerataan fungsional). Asas keadilan sosial menegaskan perlunya pembagian kekayaan dan kekuasaan demi keuntungan anggota masyarakat yang paling kurang diuntungkan. Dengan kata lain fokus utama dari asas keadilan adalah nasib anggota masyarakat yang paling kurang diun-tungkan.
Bagaimana keadilan itu bisa berujung pertama-tama kepada yang miskin dan terpinggirkan baik secara kualitas, kuantitas maupun akses. Hal itu hanya mungkin terjadi ketika orang miskin dan terpinggirkan bisa masuk, terlibat dan mempengaruhi setiap keputusan public didorong oleh gerakan masyarakat sipil pro demokrasi yang dapat memanfaatkan celah untuk ikut berpartisipasi aktif dalam setiap pembuatan peraturan perundang-undangan (Bdk. Pasal 53 UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Kekuasaan juga harus dikontrol dengan baik oleh media massa yang sehat.
Mayoritarianisme dalam pengertian ini harus dihapuskan. Demokrasi seharusnya memberi peluang yang sama derajatnya untuk siapa saja di depan hukum dan keadilan.
TRIPs Surat Perintah Hukuman Mati untuk Negara Miskin
Globalisasi yang membuat dunia tampil nyaris tanpa batas membuat sisi baru dalam perdagangan internasional. Arus barang dan jasa, serta modal dengan skala mundial bergerak melewati batas-batas negara terjadi setiap saat. Persoalan pengaturan perdangan internasional menjadi isu utama studi Ekonomi Politik Internasional. Lembaga seperti World Trade Organization (WTO) menjadi ajang pertarungan kepentingan bisnis antarnegara.
Tidak cukup dengan mengatur tarif dan pajak, WTO terus merangsek ke sektor yang masih kontroversial yakni persoalan kepemilikan, penemuan baru, dan inovasi. WTO memaksakan membuat aturan hak paten, merek dagang dan hak cipta yang kini banyak digugat oleh ilmuan dan aktivis sosial dari berbagai penjuru bumi.
Di Indonesia, persoalan hak paten telah memakan korban. Made Desak Suarti digugat di pengadilan AS oleh Lois Hill, seorang desainer perhiasan dari New York. Menurut Hill, pemilik Ancient Modern Art, Suarti telah mencuri enam desain perhiasan ciptaannya, yang terdiri atas desain tiga anting-anting, dua gelang dan satu kalung.
Menurut Hill, kasus penjiplakan itu telah mengakibatkan perusahaannya merugi sebesar 600 ribu dollar AS. Suarti, pemilik Balinese Inc., menolak tuduhan tersebut karena menurutnya apa yang diciptakannya merupakan desain yang sudah diwariskan turun temurun. Misalnya desain kalung yang dikatakan mencuri desain Hill merupakan desain dengan corak Borobudur .
Padahal, Balinese Inc. yang memasuki pasar AS sejak 1973, sekarang menjadi pemimpin pasar untuk produk perhiasan perak di negara tersebut. Menurut suami Suarti, gugatan yang sekarang didaftarkan di Pengadilan Distrik bagian Utara New York lebih merupakan persaingan dagang karena perusahaannya mampu menjual perhiasan perak dengan harga terendah yaitu 65 sen (dollar AS) per gram. Sementara, perusahaan milik Hill menjual dengan harga 1,2 dollar AS per gram dan bahkan desainer lain menjualnya dengan 3 dollar AS per gram. Bagi Bali, kasus tersebut dapat mengancam kelangsungan creator lokal di bidang perhiasan perak dan juga nilai devisa yang dapat diperoleh, arena ekspor kerajinan perak Bali pada 1988 mencapai 29 juta dollar AS .
Makalah ini mencoba mengurai jalin-tundan persoalan hak paten sebagai turunan dari ratifikasi oleh pemerintah Indonesia atas persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs) yang merupakan perjanjian multilateral dalam rezim WTO pada April 1994.
Pertanyaan dasarnya adalah, bagaimana posisi hak paten dilihat dari perspektif ekonomi politik internasional dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional menggunakan tiga prespektif; liberalisme, merkantilisme, dan strukturalisme? Apa implikasinya bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang terlanjur telah meratifikasinya? Dan bagaimana mencari solusi atas situasi yang sudah terjadi ini?
Sejarah HaKI di Indonesia
Perdebatan mengenai paten sebenarnya sudah masuk dalam ranah intellectual property right (IPR) atau hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Awalnya, persoalan ini bermula dari ‘keberanian’ pemerintah Indonesia pada era Soeharto masuk dalam rezim perdagangan World Trade Organization (WTO). Hampir semua negara menolak kesepakatan yang hendak dijejalkan dalam keputusan WTO itu. Seluruh negara Eropa tak ada yang tanda tangan. Begitupun negara ASEAN. Bahkan Menteri Industri Malaysia sempat menyindir "keberanian" Indonesia masuk kerangka penuh jebakan itu. Asal tahu saja, selain Jepang dan Amerika sebagai penggagas, hanya empat negara lain yang setuju kala itu: Kanada, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, yang satelit kepentingan AS .
Dalam kerangka perjanjian multilateral GATT (saat ini menjadi WTO), pada bulan April 1994 di Marakesh, Maroko, telah berhasil disepakati satu paket hasil perundingan perdagangan yang paling lengkap yang pernah dihasilkan oleh GATT. Perundingan yang telah dimulai sejak tahun 1986 di Punta del Este, Uruguay, yang dikenal dengan Puataran Uruguai antara lain memuat persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs).
Persetujuan TRIPs memuat norma-norma dan standar perlindungan bagi karya intelektual manusia dan menempatkan perjanjian internasional di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) sebagai dasar. Di samping itu, persetujuan tersebut mengatur pula aturan pelaksanaan penegakan hukum di bidang HaKI secara ketat .
HaKI pada dasarnya merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada penemu atau pencipta baik itu di bidang IPTEK, dagang, maupun karya sastra untuk melarang pihak lain tanpa seijinnya meniru atau mencontoh hasil karya atau ciptaannya tersebut.
Terdapat lima bidang HAKI di Indonesia hasil ratifikasi terhdap rezim WTO, yaitu hak paten yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001; hak cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002; hak merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000; Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000; dan Rahasia Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000.
Pasal 1 Undang-Undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten mengatakan paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
HaKI dalam arti ini, pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan insentif kepada pencipta atau penemu untuk mengeksploitasi hasil ciptaan atau penemuannya tersebut secara ekonomis .
Tiga perspektif HI melihat HaKI
Dalam buku Introduction to International Political Economy, David N. Balaam dan Michael Veseth melihat persoalan HaKI dapat dianalisis menggunakan tiga perspektif. Dalam kacamata liberal, hak atas kepemilikan barang adalah dasar untuk menjalankan mekanisme pasar. Hak tersebut membuat sebuah insentif tinggi dalam menggunakan sumber daya secara efisien. Property rights mendirikan secara langsung hubungan antara usaha dan imbalan. Sementara hak atas kekayaan intelektual atau intellectual property rights –paten, trademarks, and copyright (paten, merek dagang, dan hak cipta) membuat hubungan antara usaha dan imbalan.
Invensi dan inovasi (komersialisasi dari invensi) termasuk penciptaan dari pengetahuan. Dan pengetahuan, secara alamiah, adalah nonrival. Untuk itu, pengetahuan satu perusahaan bisa digunakan oleh perusahaan-perusahaan lain. (secara kontras, baja satu perusahaan tidak dapat digunakan oleh perusahaan karena baja adalah baranbg rival). Pengetahuan yang oleh satu perusahaan kembangkan dalam keraqngka untuk produksi dan proses inovasinya juga dapat dibuat oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Kensekuensinya, tanpa pengaturan secara legal meniadakan kegunaan temuan pengetahuan baru kepada perusahaan lain, tumbuhnya produk imitasi akan mengeliminasi keuntungan dari pentingnya melakukan inovasi. Hasil dari pengtingnya melkukan inovasi di bidang teknologi tidak mendapatkan imbalan. Tanpa HaKI, ketidakcukupan sumberdaya akan dikhususkan untuk riset dan pengembangan, dan dalam jangka panjang, konsumen tidak akan mendapatkan barang yang murah.
Dari pandangan liberal, aturan internasional dari HaKI adalah sangat esensial jika pasar ekonomi dunia menginginkan keuntungan luar biasa dari perkembangan teknologi baru. Konvensi internasional untuk HaKI perlu dikuatkan dalam menggaransi sebagai proteksi efektif dari temuan teknologi. Pemenang dari proses ini terakhir adalah konsumen dunia yang akan mendapatakan pilihan yang beragam atas produk-produk baru.
Merkantilis melihat, proses inovasi teknologi dalam banyak segi. Pengetahuan adalah sumberdaya untuk kesejahteraan dan kekuatan nasional. Maka produktivitas, bukan konsumsi, adalah hal yang krusial dalam kepentingan nasional. Kemampuan untuk menciptakan adalah alat ukur dari kemajuan dan kekuatan sebuah bangsa. Teknologi, kemudian pengetahuan produksi, secara luas menentukan posisi Negara di dunia. Negara harus mengembangkan kemudian menjaga secara rapat-rapat teknologinya, dan teknologi dikendalikan oleh Negara lain harus diterima. Ketergantungan teknologi harus dihindari.
Proteksi HaKI untuk perusahaan-perusahaan domenstik sangat jelas sesuai dalam kaitannya untuk membesarkan inovasi teknologi diomestik. Proteksi yang sama dari teknologi yang dimiliki perusahaan asing, suka tidak suka akan menjadi kepentingan nasional. Agaknya, kebijakan pemerintah dalam bidang ini seharusnya memfasdilitasi akuisisi dari kepemilikan teknologi luar negeri dalam biaya semurah mungkin.
Ditingkatkannya proteksi dari HaKI adalah lalu tidak penting dalam kepentingan nasional. Perlindungan kekayaan intelektual dari perusahaan nasional dalam area domestic maupun pasar luar negeri adalah sesuai, tetapi timbal-balik proteksi untuk perusahaan dari luar negeri dalam pasar domestik seharusnya dibatasi. Perdaganagan dalam arti ini adalah sebuah zero-sum game. Satu negara akan mendapatkan market share internasional datang pada pengeluartan dari Negara-negara lain yang kalah.
Pertarungan pasar akan dimenangkan oleh Negara ang dapat mengeksploitasi keunggulan teknologinya. Dengan kata lain, proteksi terhadap kekayaan intelektual akan menguntungkan Negara-negara yang memiliki keunggulan kapasitas teknologi.
Strukturalis melihat HaKI akan meningkatkan ketergantungan dari negara periphery terhadap core. HaKI adalah alat yang menyebabkan ketergantungan. Negara maju menggunakan HaKI untuk mengelola keunggulan teknologi mereka terhadap Negara dunia ketiga. Paten, trademarks, dan copyrights digunakan untuk memonopoli pasar dunia ketiga, mendatangkan keuntungan, dan memperdalam dan melegalkan ketergantungan.
Dari sudut pandang ini, pemenang dari pemberlakuan HaKI adalah jelas Negara-negara maju dengan perusahaan-perusahaannya. Yang kalah adalah orang-orang di dunia ketiga yang membayar monopli harga-harga untuk produk barang dan jasa dan siapa yang menerima keuntungan dari transfer teknologi dalam kerangka untuk didikte oleh perusahaan dari negara maju.
Sehingga, perdebatan mengenai HaKI tak bisa dilepaskan begitu saja dari debat antara kepentingan negera-negara utara melawan negara-negara selatan.
Analisis
Yang terjadi terhadap Suarti adalah bukti bagaimana rezim perdagangan ini telah bekerja. Siapa yang lebih dahulu mempatenkan produk, dialah pemilik yang diakui secara legal formal terhadap produk itu. Meski Suarti mengaku telah menjadi pengrajin perak menuruni warisan leluhurnya, yang entah siapa pertamakali membuat desain itu, entah diciptakan oleh seorang atau dikerjakan bersama. Tetap saja, Suarti harus berurusan di meja hijau.
Yang paling berbahaya dalam perjanjian TRIPs adalah tiadanya pengakuan tentang hak milik komunal/masyarakat. Alinea 4 halaman 320 perjanjian ini mengakui secara eksplisit bahwa "hak kekayaan intelektual adalah hak milik pribadi" ("Recognizing that intellectual property rights are private rights"). Akibatnya, bukan aspek kesejarahan yang penting di sini namun siapa yang paling cepat dan paling banyak punya modal untuk mendaftarkan haknya. Filosofi dasar TRIPs ini memungkinkan sebuah perusahaan/perorangan mengklaim paten atas suatu pengetahuan yang bersifat komunal.
Kasus ini, juga bisa menjadi pintu masuk mempelajari bagaimana kerjasama ekonomi yang tidak adil seperti ini bisa terjadi? Menurut Keohane dalam After Hegemony, dia membedakan antara kerjasama, harmoni dan discord (perselisihan). Kondisi harmoni adalah ketika masing-masing aktor sosial dengan mengejar kepentingannya sendiri-sendiri tanpa memedulikan pihak lain dengan sendirinya akan memfasilitasi pihak-pihak lain mencapai kepentingannya. Dalam situasi seperti ini, justru tidak butuh kerjasama. Sebaliknya, kerjasama dibutuhkan pada saat terjadi situasi tidak harmoni atau disharmoni. Aktor-aktor (negara-negara yang sedang tidak harmoni) akan diarahkan pada situasi kecocokan melalui proses negosiasi atau koordinasi kebijakan.
Paten dilihat serta dianalisis menggunakan pendekatan liberalisme dan cara pandangnya terhadap kerjasama seperti yang dijelaskan Keohane adalah dimulai ketika terjadi kondisi disharmoni yakni ancaman terhadap maraknya pembajakan ketika terjadi perdagangan bebas antarnegara. Namun, situasi disharmoni ini diterjemahkan menurut siapa? Tentu saja, aktor-aktor utama WTO yang merasa dirugikan dengan situasi ini.
Perusahaan-perusahaan di AS memainkan peran utama dalam mengevaluasi perlindungan atas kekayaan intelektual untuk menjadikan isu utama dari kebijakan luar negeri AS. Intellectual Property Committee adalah badan ad hoc yang terdiri dari 12 perusahaan utama AS yang merepresentasikan berbagai bidang industry telah dibangun sejak 1986 dengan tujuan untuk meningkatkan proteksi internasional terhadap HaKI . US Intellectual Property Committee menyebut kerugian akibat pelanggaran tidak adanya proteksi HaKI anatar US$ 43-61 milyar dalam tahun 1986 .
Rezim WTO khususnya menyangkut hak paten dan hak cipta adalah sebuah mekanisme kerjasama yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan insentif kepada pencipta atau penemu untuk mengeksploitasi hasil ciptaan atau penemuannya tersebut secara ekonomis. Semangatnya, dengan adanya perlindungan hak dari hukum tersebut diharapkan masyarakat akan lebih kreatif untuk mencipta maupun menemukan inovasi-inovasi baru lagi .
Pada dasarnya hak kekayaan intelektual dibagi menjadi dua macam yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak cipta terkait di dalamnya hak atas karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Pada perkembangannya termasuk dalam hak cipta adalah program komputer. Sementara itu yang masuk dalam kelompok hak kekayaan industri adalah hak paten, hak merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan varitas tanaman.
Masuknya program komputer ke dalam kelompok ciptaan yang dilindungi dengan hak cipta atau copy rights merupakan keberhasilan dari negara-negara industri maju dalam melakukan loby pada saat pembahasan perjanjian TRIPs yang merupakan pedoman dalam menyusun hukum Intellectual Property Rights di negara-negara anggota WTO. Hal ini, sesuai dengan prinsip rezim dalam kacamata neoliberal yaitu fokus pada absolute gains. Keuntungan yang diambil dari sini adalah korporasi-korporasi dari AS seperti Microsoft adalah dengan mendapatkan royalti atas produk-produk software yang dijual ke negara-negara lain. Dan jika individu atau perusahaan di suatu negara yang terikat dalam perjanjian WTO soal HKI ini melakukan pembajakan, maka Microsoft seharusnya bisa menuntut individu atau perusahaan di Negara itu di pengadilan. Karena mereka sudah merativikasinya dalam bentuk UU.
Perlawanan atas rezim ini biasanya didasarkan pada pemikiran strukturalis dalam mengkritisi bagaimana rezim perdagangan ini menciptakan ketergantungan, dan melegitimasi monopoli atas temuan teknologi. terhadap dominasi perusahaan-perusahaan tersebut dilakukan dengan membentuk sebuah gerakan yang kerap disebut sebagai copyleft movement dan open source. Spritnya adalah melindungi hak konsumen untuk bebas membagi, memodifikasi, dan melipatgandakan.
Kesimpulan
HaKI sebagai instrumen turunan dari rezim WTO dibuat dalam situasi dunia yang dalam bahasa Keohane sedang mengalamai disharmoni. Walau, situasi disharmoni ini ditentukan dalam kacamata Negara maju seperti AS, yang menjadi aktor utama WTO, sehingga jika dilihat dari kacamata merkantilsme adalah ajang unjuk kekuatan AS di sana. Maraknya pembajakan software dinilai sebagai situasi yang merugikan dan mengancam industry teknologi AS. Indonesia pun dituding sebagai surge para maling software.
Ketika situasi ini diterjemahkan dalam bentuk aturan berupa HaKI, terdapat banyak sekali kekuarangan dan mebuat perdagangan dunia semakin buas. Salah satu kelemahan utamanya adalah basis atas HaKI adalah hak milik pribadi. Peraih Nobel Ekonomi tahun 2001 Joseph Stiglitz yang merupakan menilai Hak atas Kekayaan Intelektual dan TRIPs yang disepakati pada 15 April 1994 menilai, “… tidak disadari sebagai surat perintah hukuman mati bagi ribuan manusia di negara-negara miskin di dunia.”
Pemerintah harus melakukan kaji ulang atas isi dan pelaksanaan TRIPs di Indonesia, terutama berkaitan dengan perundangan di bidang hak paten. Proses kaji ulang ini harus melibatkan semua sektor masyarakat mengingat kompleksitas dan luasnya obyek perlindungan HaKI. Proses tersebut dapat berupa penelitian partisipatif yang diikuti dengan konsultasi nasional, untuk menganalisis: dampak positif dan negatif dari TRIPs bagi masyarakat kebanyakan terutama berkaitan dengan hak cipta, paten.
Langkah berani yang ditawarkan Ronny Agustinus dalam tulisannya berjudul Sebuah Esai Tanpa hak Cipta juga bisa ditempuh melihat seriusnya ancaman dari rezim paten ini adalah walaupun berdasarkan 60 kesepakatan dan perjanjian setebal 550 halaman yang diteken bulan April 1994 itu, masalah HaKI sebenarnya cuma dibahas sepanjang 33 halaman dalam annex 1C (hal 319-351), namun dampaknya ternyata sungguh luar biasa dalam hidup kita sekarang dan masa depan. Persoalannya: biarpun perjanjian itu sudah diteken, buat apa kita harus mematuhinya? Alasan untuk itu jelas: Putaran Uruguay dan perjanjian-perjanjian WTO lainnya diikuti dan disetujui oleh Indonesia semasa rezim pemerintahan korup-diktatorial yang tidak dipilih rakyat, sehingga keabsahannya harus diragukan dan sebisa mungkin dibatalkan.
Daftar Pustaka
• Peter Jaszi, Kebudayaan Tradisional, LSPP, 2009
• David N. Balaam dan Michael Vaseth, Introduction to International Political Economy, Prentice Hall, 1996
• Mardiharto Tjokrowasito, Peraturan Perundang-Undangan yang Mendukung Pembangunan Ekonomi yang Berbasis IPTEK
• Maria Hartiningsih, Kompas, 20 Januari 2003
• Stephen D. Krasner, Structural causes and regime consequences: regime as intervening variables
• Oran R. Young, “International Regimes: Problems of Concept Formation,” World Politics 32, 1980
• Friedrich Kratochwil dan John Gerard Rugie, International Organization: A State of the Art on Art of the State
• “The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations”, the Legal Text, the WTO, Switzerland
Tidak cukup dengan mengatur tarif dan pajak, WTO terus merangsek ke sektor yang masih kontroversial yakni persoalan kepemilikan, penemuan baru, dan inovasi. WTO memaksakan membuat aturan hak paten, merek dagang dan hak cipta yang kini banyak digugat oleh ilmuan dan aktivis sosial dari berbagai penjuru bumi.
Di Indonesia, persoalan hak paten telah memakan korban. Made Desak Suarti digugat di pengadilan AS oleh Lois Hill, seorang desainer perhiasan dari New York. Menurut Hill, pemilik Ancient Modern Art, Suarti telah mencuri enam desain perhiasan ciptaannya, yang terdiri atas desain tiga anting-anting, dua gelang dan satu kalung.
Menurut Hill, kasus penjiplakan itu telah mengakibatkan perusahaannya merugi sebesar 600 ribu dollar AS. Suarti, pemilik Balinese Inc., menolak tuduhan tersebut karena menurutnya apa yang diciptakannya merupakan desain yang sudah diwariskan turun temurun. Misalnya desain kalung yang dikatakan mencuri desain Hill merupakan desain dengan corak Borobudur .
Padahal, Balinese Inc. yang memasuki pasar AS sejak 1973, sekarang menjadi pemimpin pasar untuk produk perhiasan perak di negara tersebut. Menurut suami Suarti, gugatan yang sekarang didaftarkan di Pengadilan Distrik bagian Utara New York lebih merupakan persaingan dagang karena perusahaannya mampu menjual perhiasan perak dengan harga terendah yaitu 65 sen (dollar AS) per gram. Sementara, perusahaan milik Hill menjual dengan harga 1,2 dollar AS per gram dan bahkan desainer lain menjualnya dengan 3 dollar AS per gram. Bagi Bali, kasus tersebut dapat mengancam kelangsungan creator lokal di bidang perhiasan perak dan juga nilai devisa yang dapat diperoleh, arena ekspor kerajinan perak Bali pada 1988 mencapai 29 juta dollar AS .
Makalah ini mencoba mengurai jalin-tundan persoalan hak paten sebagai turunan dari ratifikasi oleh pemerintah Indonesia atas persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs) yang merupakan perjanjian multilateral dalam rezim WTO pada April 1994.
Pertanyaan dasarnya adalah, bagaimana posisi hak paten dilihat dari perspektif ekonomi politik internasional dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional menggunakan tiga prespektif; liberalisme, merkantilisme, dan strukturalisme? Apa implikasinya bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang terlanjur telah meratifikasinya? Dan bagaimana mencari solusi atas situasi yang sudah terjadi ini?
Sejarah HaKI di Indonesia
Perdebatan mengenai paten sebenarnya sudah masuk dalam ranah intellectual property right (IPR) atau hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Awalnya, persoalan ini bermula dari ‘keberanian’ pemerintah Indonesia pada era Soeharto masuk dalam rezim perdagangan World Trade Organization (WTO). Hampir semua negara menolak kesepakatan yang hendak dijejalkan dalam keputusan WTO itu. Seluruh negara Eropa tak ada yang tanda tangan. Begitupun negara ASEAN. Bahkan Menteri Industri Malaysia sempat menyindir "keberanian" Indonesia masuk kerangka penuh jebakan itu. Asal tahu saja, selain Jepang dan Amerika sebagai penggagas, hanya empat negara lain yang setuju kala itu: Kanada, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, yang satelit kepentingan AS .
Dalam kerangka perjanjian multilateral GATT (saat ini menjadi WTO), pada bulan April 1994 di Marakesh, Maroko, telah berhasil disepakati satu paket hasil perundingan perdagangan yang paling lengkap yang pernah dihasilkan oleh GATT. Perundingan yang telah dimulai sejak tahun 1986 di Punta del Este, Uruguay, yang dikenal dengan Puataran Uruguai antara lain memuat persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs).
Persetujuan TRIPs memuat norma-norma dan standar perlindungan bagi karya intelektual manusia dan menempatkan perjanjian internasional di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) sebagai dasar. Di samping itu, persetujuan tersebut mengatur pula aturan pelaksanaan penegakan hukum di bidang HaKI secara ketat .
HaKI pada dasarnya merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada penemu atau pencipta baik itu di bidang IPTEK, dagang, maupun karya sastra untuk melarang pihak lain tanpa seijinnya meniru atau mencontoh hasil karya atau ciptaannya tersebut.
Terdapat lima bidang HAKI di Indonesia hasil ratifikasi terhdap rezim WTO, yaitu hak paten yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001; hak cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002; hak merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000; Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000; dan Rahasia Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000.
Pasal 1 Undang-Undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten mengatakan paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
HaKI dalam arti ini, pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan insentif kepada pencipta atau penemu untuk mengeksploitasi hasil ciptaan atau penemuannya tersebut secara ekonomis .
Tiga perspektif HI melihat HaKI
Dalam buku Introduction to International Political Economy, David N. Balaam dan Michael Veseth melihat persoalan HaKI dapat dianalisis menggunakan tiga perspektif. Dalam kacamata liberal, hak atas kepemilikan barang adalah dasar untuk menjalankan mekanisme pasar. Hak tersebut membuat sebuah insentif tinggi dalam menggunakan sumber daya secara efisien. Property rights mendirikan secara langsung hubungan antara usaha dan imbalan. Sementara hak atas kekayaan intelektual atau intellectual property rights –paten, trademarks, and copyright (paten, merek dagang, dan hak cipta) membuat hubungan antara usaha dan imbalan.
Invensi dan inovasi (komersialisasi dari invensi) termasuk penciptaan dari pengetahuan. Dan pengetahuan, secara alamiah, adalah nonrival. Untuk itu, pengetahuan satu perusahaan bisa digunakan oleh perusahaan-perusahaan lain. (secara kontras, baja satu perusahaan tidak dapat digunakan oleh perusahaan karena baja adalah baranbg rival). Pengetahuan yang oleh satu perusahaan kembangkan dalam keraqngka untuk produksi dan proses inovasinya juga dapat dibuat oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Kensekuensinya, tanpa pengaturan secara legal meniadakan kegunaan temuan pengetahuan baru kepada perusahaan lain, tumbuhnya produk imitasi akan mengeliminasi keuntungan dari pentingnya melakukan inovasi. Hasil dari pengtingnya melkukan inovasi di bidang teknologi tidak mendapatkan imbalan. Tanpa HaKI, ketidakcukupan sumberdaya akan dikhususkan untuk riset dan pengembangan, dan dalam jangka panjang, konsumen tidak akan mendapatkan barang yang murah.
Dari pandangan liberal, aturan internasional dari HaKI adalah sangat esensial jika pasar ekonomi dunia menginginkan keuntungan luar biasa dari perkembangan teknologi baru. Konvensi internasional untuk HaKI perlu dikuatkan dalam menggaransi sebagai proteksi efektif dari temuan teknologi. Pemenang dari proses ini terakhir adalah konsumen dunia yang akan mendapatakan pilihan yang beragam atas produk-produk baru.
Merkantilis melihat, proses inovasi teknologi dalam banyak segi. Pengetahuan adalah sumberdaya untuk kesejahteraan dan kekuatan nasional. Maka produktivitas, bukan konsumsi, adalah hal yang krusial dalam kepentingan nasional. Kemampuan untuk menciptakan adalah alat ukur dari kemajuan dan kekuatan sebuah bangsa. Teknologi, kemudian pengetahuan produksi, secara luas menentukan posisi Negara di dunia. Negara harus mengembangkan kemudian menjaga secara rapat-rapat teknologinya, dan teknologi dikendalikan oleh Negara lain harus diterima. Ketergantungan teknologi harus dihindari.
Proteksi HaKI untuk perusahaan-perusahaan domenstik sangat jelas sesuai dalam kaitannya untuk membesarkan inovasi teknologi diomestik. Proteksi yang sama dari teknologi yang dimiliki perusahaan asing, suka tidak suka akan menjadi kepentingan nasional. Agaknya, kebijakan pemerintah dalam bidang ini seharusnya memfasdilitasi akuisisi dari kepemilikan teknologi luar negeri dalam biaya semurah mungkin.
Ditingkatkannya proteksi dari HaKI adalah lalu tidak penting dalam kepentingan nasional. Perlindungan kekayaan intelektual dari perusahaan nasional dalam area domestic maupun pasar luar negeri adalah sesuai, tetapi timbal-balik proteksi untuk perusahaan dari luar negeri dalam pasar domestik seharusnya dibatasi. Perdaganagan dalam arti ini adalah sebuah zero-sum game. Satu negara akan mendapatkan market share internasional datang pada pengeluartan dari Negara-negara lain yang kalah.
Pertarungan pasar akan dimenangkan oleh Negara ang dapat mengeksploitasi keunggulan teknologinya. Dengan kata lain, proteksi terhadap kekayaan intelektual akan menguntungkan Negara-negara yang memiliki keunggulan kapasitas teknologi.
Strukturalis melihat HaKI akan meningkatkan ketergantungan dari negara periphery terhadap core. HaKI adalah alat yang menyebabkan ketergantungan. Negara maju menggunakan HaKI untuk mengelola keunggulan teknologi mereka terhadap Negara dunia ketiga. Paten, trademarks, dan copyrights digunakan untuk memonopoli pasar dunia ketiga, mendatangkan keuntungan, dan memperdalam dan melegalkan ketergantungan.
Dari sudut pandang ini, pemenang dari pemberlakuan HaKI adalah jelas Negara-negara maju dengan perusahaan-perusahaannya. Yang kalah adalah orang-orang di dunia ketiga yang membayar monopli harga-harga untuk produk barang dan jasa dan siapa yang menerima keuntungan dari transfer teknologi dalam kerangka untuk didikte oleh perusahaan dari negara maju.
Sehingga, perdebatan mengenai HaKI tak bisa dilepaskan begitu saja dari debat antara kepentingan negera-negara utara melawan negara-negara selatan.
Analisis
Yang terjadi terhadap Suarti adalah bukti bagaimana rezim perdagangan ini telah bekerja. Siapa yang lebih dahulu mempatenkan produk, dialah pemilik yang diakui secara legal formal terhadap produk itu. Meski Suarti mengaku telah menjadi pengrajin perak menuruni warisan leluhurnya, yang entah siapa pertamakali membuat desain itu, entah diciptakan oleh seorang atau dikerjakan bersama. Tetap saja, Suarti harus berurusan di meja hijau.
Yang paling berbahaya dalam perjanjian TRIPs adalah tiadanya pengakuan tentang hak milik komunal/masyarakat. Alinea 4 halaman 320 perjanjian ini mengakui secara eksplisit bahwa "hak kekayaan intelektual adalah hak milik pribadi" ("Recognizing that intellectual property rights are private rights"). Akibatnya, bukan aspek kesejarahan yang penting di sini namun siapa yang paling cepat dan paling banyak punya modal untuk mendaftarkan haknya. Filosofi dasar TRIPs ini memungkinkan sebuah perusahaan/perorangan mengklaim paten atas suatu pengetahuan yang bersifat komunal.
Kasus ini, juga bisa menjadi pintu masuk mempelajari bagaimana kerjasama ekonomi yang tidak adil seperti ini bisa terjadi? Menurut Keohane dalam After Hegemony, dia membedakan antara kerjasama, harmoni dan discord (perselisihan). Kondisi harmoni adalah ketika masing-masing aktor sosial dengan mengejar kepentingannya sendiri-sendiri tanpa memedulikan pihak lain dengan sendirinya akan memfasilitasi pihak-pihak lain mencapai kepentingannya. Dalam situasi seperti ini, justru tidak butuh kerjasama. Sebaliknya, kerjasama dibutuhkan pada saat terjadi situasi tidak harmoni atau disharmoni. Aktor-aktor (negara-negara yang sedang tidak harmoni) akan diarahkan pada situasi kecocokan melalui proses negosiasi atau koordinasi kebijakan.
Paten dilihat serta dianalisis menggunakan pendekatan liberalisme dan cara pandangnya terhadap kerjasama seperti yang dijelaskan Keohane adalah dimulai ketika terjadi kondisi disharmoni yakni ancaman terhadap maraknya pembajakan ketika terjadi perdagangan bebas antarnegara. Namun, situasi disharmoni ini diterjemahkan menurut siapa? Tentu saja, aktor-aktor utama WTO yang merasa dirugikan dengan situasi ini.
Perusahaan-perusahaan di AS memainkan peran utama dalam mengevaluasi perlindungan atas kekayaan intelektual untuk menjadikan isu utama dari kebijakan luar negeri AS. Intellectual Property Committee adalah badan ad hoc yang terdiri dari 12 perusahaan utama AS yang merepresentasikan berbagai bidang industry telah dibangun sejak 1986 dengan tujuan untuk meningkatkan proteksi internasional terhadap HaKI . US Intellectual Property Committee menyebut kerugian akibat pelanggaran tidak adanya proteksi HaKI anatar US$ 43-61 milyar dalam tahun 1986 .
Rezim WTO khususnya menyangkut hak paten dan hak cipta adalah sebuah mekanisme kerjasama yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan insentif kepada pencipta atau penemu untuk mengeksploitasi hasil ciptaan atau penemuannya tersebut secara ekonomis. Semangatnya, dengan adanya perlindungan hak dari hukum tersebut diharapkan masyarakat akan lebih kreatif untuk mencipta maupun menemukan inovasi-inovasi baru lagi .
Pada dasarnya hak kekayaan intelektual dibagi menjadi dua macam yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak cipta terkait di dalamnya hak atas karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Pada perkembangannya termasuk dalam hak cipta adalah program komputer. Sementara itu yang masuk dalam kelompok hak kekayaan industri adalah hak paten, hak merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan varitas tanaman.
Masuknya program komputer ke dalam kelompok ciptaan yang dilindungi dengan hak cipta atau copy rights merupakan keberhasilan dari negara-negara industri maju dalam melakukan loby pada saat pembahasan perjanjian TRIPs yang merupakan pedoman dalam menyusun hukum Intellectual Property Rights di negara-negara anggota WTO. Hal ini, sesuai dengan prinsip rezim dalam kacamata neoliberal yaitu fokus pada absolute gains. Keuntungan yang diambil dari sini adalah korporasi-korporasi dari AS seperti Microsoft adalah dengan mendapatkan royalti atas produk-produk software yang dijual ke negara-negara lain. Dan jika individu atau perusahaan di suatu negara yang terikat dalam perjanjian WTO soal HKI ini melakukan pembajakan, maka Microsoft seharusnya bisa menuntut individu atau perusahaan di Negara itu di pengadilan. Karena mereka sudah merativikasinya dalam bentuk UU.
Perlawanan atas rezim ini biasanya didasarkan pada pemikiran strukturalis dalam mengkritisi bagaimana rezim perdagangan ini menciptakan ketergantungan, dan melegitimasi monopoli atas temuan teknologi. terhadap dominasi perusahaan-perusahaan tersebut dilakukan dengan membentuk sebuah gerakan yang kerap disebut sebagai copyleft movement dan open source. Spritnya adalah melindungi hak konsumen untuk bebas membagi, memodifikasi, dan melipatgandakan.
Kesimpulan
HaKI sebagai instrumen turunan dari rezim WTO dibuat dalam situasi dunia yang dalam bahasa Keohane sedang mengalamai disharmoni. Walau, situasi disharmoni ini ditentukan dalam kacamata Negara maju seperti AS, yang menjadi aktor utama WTO, sehingga jika dilihat dari kacamata merkantilsme adalah ajang unjuk kekuatan AS di sana. Maraknya pembajakan software dinilai sebagai situasi yang merugikan dan mengancam industry teknologi AS. Indonesia pun dituding sebagai surge para maling software.
Ketika situasi ini diterjemahkan dalam bentuk aturan berupa HaKI, terdapat banyak sekali kekuarangan dan mebuat perdagangan dunia semakin buas. Salah satu kelemahan utamanya adalah basis atas HaKI adalah hak milik pribadi. Peraih Nobel Ekonomi tahun 2001 Joseph Stiglitz yang merupakan menilai Hak atas Kekayaan Intelektual dan TRIPs yang disepakati pada 15 April 1994 menilai, “… tidak disadari sebagai surat perintah hukuman mati bagi ribuan manusia di negara-negara miskin di dunia.”
Pemerintah harus melakukan kaji ulang atas isi dan pelaksanaan TRIPs di Indonesia, terutama berkaitan dengan perundangan di bidang hak paten. Proses kaji ulang ini harus melibatkan semua sektor masyarakat mengingat kompleksitas dan luasnya obyek perlindungan HaKI. Proses tersebut dapat berupa penelitian partisipatif yang diikuti dengan konsultasi nasional, untuk menganalisis: dampak positif dan negatif dari TRIPs bagi masyarakat kebanyakan terutama berkaitan dengan hak cipta, paten.
Langkah berani yang ditawarkan Ronny Agustinus dalam tulisannya berjudul Sebuah Esai Tanpa hak Cipta juga bisa ditempuh melihat seriusnya ancaman dari rezim paten ini adalah walaupun berdasarkan 60 kesepakatan dan perjanjian setebal 550 halaman yang diteken bulan April 1994 itu, masalah HaKI sebenarnya cuma dibahas sepanjang 33 halaman dalam annex 1C (hal 319-351), namun dampaknya ternyata sungguh luar biasa dalam hidup kita sekarang dan masa depan. Persoalannya: biarpun perjanjian itu sudah diteken, buat apa kita harus mematuhinya? Alasan untuk itu jelas: Putaran Uruguay dan perjanjian-perjanjian WTO lainnya diikuti dan disetujui oleh Indonesia semasa rezim pemerintahan korup-diktatorial yang tidak dipilih rakyat, sehingga keabsahannya harus diragukan dan sebisa mungkin dibatalkan.
Daftar Pustaka
• Peter Jaszi, Kebudayaan Tradisional, LSPP, 2009
• David N. Balaam dan Michael Vaseth, Introduction to International Political Economy, Prentice Hall, 1996
• Mardiharto Tjokrowasito, Peraturan Perundang-Undangan yang Mendukung Pembangunan Ekonomi yang Berbasis IPTEK
• Maria Hartiningsih, Kompas, 20 Januari 2003
• Stephen D. Krasner, Structural causes and regime consequences: regime as intervening variables
• Oran R. Young, “International Regimes: Problems of Concept Formation,” World Politics 32, 1980
• Friedrich Kratochwil dan John Gerard Rugie, International Organization: A State of the Art on Art of the State
• “The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations”, the Legal Text, the WTO, Switzerland
PERAN OMK MENGHADAPI KOMLEKSITAS MASALAH BANGSA
Tawaran untuk menjadi salahsatu pengisi acara “Jambore Orang Muda Katolik Keuskupan Banjarmasin (JOMKA) 2009” penulis terima dari Agus, wartawan HIDUP yang dikenal ketika penulis sedang mengikuti sebuah acara di pegunungan Meratus Loksado, Kalsel awal Mei lalu.
Tawaran ini sejujurnya menyulitkan dari segi waktu karena bertepatan dengan hari libur Lebaran, namun mengingat mendesaknya kebutuhan konsolidasi di antara orang muda Katolik melihat, mendengar dan merasakan sitasi aktual hidup bernegara yang sering dikatakan banyak pihak sebagai krisis multi dimensi mendorong penulis untuk menerima tawaran ini sebagai sebuah ruang untuk berbagi keprihatinan serta menggali masukan guna bersama-sama mengusahakan kehidupan bersama yang lebih baik, seturut teladan Yesus Kristus Sang Pembabas kita. Untuk itu, kepada seluruh panitia, penulis ingin mengucapkan terima kasih atas kesempatan dan kepercayaannya untuk dapat berpartisipasi dalam acara ini.
Menangkap apa yang digulirkan dalam kerangka acuan yang penulis terima, yang kurang lebih ingin meneruskan pemikiran Mgr. Soegijapranata SJ, di awal kemerdekaan, bahwa seorang umat Katolik Indonesia seyogianya “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia”. Maka, hal itu menurut penulis hanya bisa diwujudkan ketika kekatolikan dimaknai sama dengan keindonesiaan. Artinya, menjadi katolik yang tidak bisa lepas dari kompleksitas masalah sosial ekonomi, politik, dan sosial budaya di Indonesia.
Maka dari itu, makalah singkat ini pertama-tama akan mengungkap sedikit persoalan sosial di Indonesia, posisi orang muda dan pada akhir bagian akan menawarkan sejumlah gagasan dan meminta sejumlah masukan untuk bisa didiskusikan bersama.
Situasi Aktual
Sebelas tahun sudah lewat reformasi. Angin demokrasi yang seharusnya mampu memecahkan berbagai persolan kebangsaan, malah justru memasuki titik kritis dan titik balik yang membingungkan publik. Tampaknya, proses demokratisasi bangsa baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan.
Dalam bidang politik, Negara tak kunjung berhasil mengarahkan kualitas kehidupan bangsa menuju cita-cita kemerdekaan (bdk. Pembukaan UUD 1945) dan amanat transformasi sosial (yang sering dikenal dengan “reformasi”) 1998. Situasi itu dilatarbelakangi oleh semakin merebaknya praktik korupsi kekuasaan dan ekonomi para pemimpin maupun lembaga Negara demi meraih kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok masing-masing.
Dalam bidang ekonomi, penguasaan hajat hidup orang banyak oleh Negara ternyata tidak dilaksanakan demi kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan penguasa modal, tak terkecuali pemodal asing. Akibatnya, derajat kehidupan ekonomi rakyat turun drastis, kemiskinan merebak, kelaparan dan kondisi serba tidak terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat semakin tak terpenuhi.
Dalam bidang budaya, kehidupan bangsa semakin kehilangan kharakter kulturalnya. Pancasila yang sejak awal kemerdekaan disepakati oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia sebagai filosofi dan pedoman dasar hidup, kini tak lagi ditempatkan sebagaimana mestinya, dan terancam oleh berkembang kuatnya ideologi-ideologi lain berbasis agama atau kepentingan politik dan ekonomi tertentu.
Pancasila yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu (integrating force) semakin sulit posisinya. Karena, Pancasila terlanjur tercemar pada masa rezim Soeharto dimana Pancasila dipakai sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Selain itu, pada masa pemerintahan BJ Habibie terjadi liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah faktor otonomi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika diantisipasi bisa menimbulkan local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam posisi ini, Pancasila baik secara sengaja maupun by-implication kian kehilangan posisi sentralnya (Azra: 2006).
Dalam posisi seperti ini, bangkitnya ideologi-ideologi lain termasuk ideologi keagamaan sudah tak dapat terhindarkan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salahsatu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pasca-Soeharto. Kini, bayang-bayang religious based-ideology (ies) diwujudkan antara lain dengan menetapkan dan memberlakukan UU, Perda yang dalam satu dan lain hal ‘bernuansa Syari’ah’ yang jumlahnya lebih dari 200 yang tersebar di seluruh Indonesia.
Parahnya masyarakat kini cenderung lebih mudah terprovokasi dan dengan mudah menjadi hakim atas sesamanya sendiri. Korban pun jatuh sudah. Kekerasan atas nama agama meningkat fluktuasinya dan memuncak pada tragedi monas berdarah 1 Juni 2008. Sebelumnya, kekerasan juga terjadi terhadap warga Ahmadiyah di Manis Lor Kab. Kuningan Jawa Barat dan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, Al Qiyadah Al Islamiyah di Padang, Sejumlah Gereja di Kab. Bandung Jawa Barat, dan Sy’iah di Bangil Jawa Timur merupakan contoh kekerasan itu.
Hasil pemilu legislatif 2009 yang lalu juga mencerminakan bagimana peta kekuatan politik berbasis agama yang dalam perjuangannya terus berusaha melakukan formalisasi agama di ruang publik patut diperhatiakan secara serius. Memang, partai-partai berbasis agama tidak mendapatkan banyak kursi di parlemen, tapi hal itu bukan berarti mengurangi kekuatan politik di level parlemen.
Yang jelas, pemerintahan ke depan akan menjadi pemerintahan yang kuat karena didukung oleh 56% suara partai Demokrat di DPRRI. Selain itu, partai pendukungnya sebagian besar berbasis agama, termasuk PKS. Perlu digarisbawahi, PKS selain menjadi pemenang kedua di DKI Jakarta, PKS juga menjadi pemenenag ketiga pemilu legislatif di 6 propinsi (NAD, Kepri, Banten, NTB, Sultra, dan Kalsel).
Mengutip hasil penelitian Ali Maschan Moesa –mantan ketua PWNU Jatim, disimpulkan memang telah muncul “gerakan radikal” yang bertujuan mengformalkan syari’at Islam dan menghendaki supaya syari’at Islam menjadi landasan berbagsa-bernegara. Target mereka adalah pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Tetapi target tersebut hanyalah tujuan antara, sebab yang mereka inginkan adalah berdirinya Negara Syari’ah atau Negara Khilafah sebagai nama lain dari Negara Islam.
Masih menurut Moesa, adapun organisasi yang bisa digolongkan ke dalam gerakan ini adalah MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljama’ah, KAMMI (Kesatuan Aksi mahasiswa Muslim Indonesia), FPIS (Front Pemuda Islam), Jama’ah Muslim (Hisbullah), FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad Ahlussunnah Waljama’ah), HAMMAS, Ikhwanul Muslimin, KISDI (Komite Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam), dan PPMI ( Persatuan Pekerja Muslim Indonesia).
Belum lagi jika permaslaahan ini sedikit diperluas menyangkut kebebasan berkeyakinan dari masyarakat adat di seluruh nusantara. Di sanalah sebenarnya problem diskriminasi paling kontras bisa terlihat. Masyarakat adat yang sudah ada sejak cikal bakal geografis Indonesia terbentuk dan sudah mendiami nusantara ini ribuan tahun lamanya kini seakan-akan menjadi tamu di dalam rumahnya sendiri.
Mereka digerogoti hak-haknya, mulai dari keyakinan mereka akan kemanunggalan manusia dengan alam sekitarnya, keterikatan mereka atas tanah dan air yang menjadi lumbung penghidupan mereka sehari-hari, dan bahkan hingga pencibiran mereka sebagai orang-orang yang terkebelakang, kafir, sesat, dan irasional.Diskriminasi terhadap masyarakat adat khususnya penganut kepercayaan lokal terus saja terjadi. Parahnya, diskriminasi ini dilakukan secara sistematis, karena Negara kerap membuat berbagai kebijakan publik dalam bentuk UU yang terus mendiskriminasi masyarakat adat.
Wajah OMK dan Gereja Indonesia
Mengutip Ismartono, SJ dalam kata sambutannya di buku Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, bahwa Gereja Indonesia lebih merupakan penampilan ibadat dari pada penampilan gerakan sosial . Lebih lanjut dijelaskan, kalau pun ada penampilan gerakan sosial, itu pun masih bersifat sosial karitatip. Hal ini yang menurut saya patut mendapat penekanan lebih dalam forum ini. Sehingga, dengan diskusi ini, bisa mempengaruhi cara beriman kita.
Kedua, kita saat ini hidup dalam suasana umum yang tidak menentu menyangkut struktur-struktur sosial misalnya keluarga, tata perekonomian, politik, yang menjadi ajang pertempuran tanpa tapal batas anatara sains, irasionalisme ideologis dan agama .
Ketiga, sebagai orang orang muda yang juga bagian tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat, kita dituntut untuk mewujudkan Kerjaan Allah di dunia. Kerajaan Allah di sini saya maksudkan adalah suatu kondisi yang kita usahakan dengan upaya mewujudkan atau menciptakan tata sosial, ekonomi, politik dan budaya yang identik dengan ciri-ciri Kerajaan Allah sendiri, yaitu perwujudan dari tegaknya nilai keadilan, perdamaian dengan dilandasi iman, semangat cinta kasih dan harapan. Sehingga sebagai orang muda kita tidak diam diri dan pasif. Karena, sekali lagi kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat.
Penutup
OMK sebagai bagian tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat, hendaknya mengambil peran penting dalam mengisi dan menempati posisi penting sebagai kaum intelektual. Meminjam pemikiran Edward Said dalam bukunya The Representation of Intellectuals, disana disebutkan, “Orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengutarakan yang benar kepada yang berkuasa. Seorang intelektual mengatakan apa yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran penguasa. Karena itu ia cenderung ke oposisi ipada ke akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa ”.
Masalahnya, saat ini OMK masih tidak jelas orientasinya. Dalam menyikapi isu mereka cenderung reaktif dan sporadis. OMK kini menjadi tidak lagi fokus dalam pada satu isu bersama. Minim sekali gerakan sosial yang berorientasi pada perubahan. Kalau pun ada, sifatnya masih tersebar dan tidak lagi menjadi sebuah kekuatan nasional yang solid. Konsolidasi di antara mereka menghadapi hampatan yang cukup serius.
Harapan penulis, OMK ke depan lebih melebur dalam setiap aktivitas dan pengambilan keputusan di masyarakat, mengambil peran dalam mengawasi jalannya pemerintahan, mencari celah untuk pemberdayaan ekonomi dan mencarikan akses modal bagi pengusaha kecil, menjadi garda terdepan bagi penyelamatan lingkungan dari ancaman industrialisasi dan penambangan, serta siap menjadi agen perubahan. Karena sejarah Indonesia berbagi makna, sejak zaman pergerakan nasional awal, Proklamasi, sampai Reformasi, selalu saja orang mudalah pelaku utamanya. Maka tak salah jika orang muda adalah pemilik dan penentu hari depan.
Untuk itu, gagasan penulis dalam forum yang berbahagia ini adalah penyiapan sebuah kader orangmuda yang kritis, punya kemampuan survival menghadapi tantangan berat hidup di tengah masyarakat, punya dan mampu memanfaatkan jaringan kerja sama yang handal, kreatif secara luas dalam mengekspresikan dirinya, punya jiwa kepemimpinan di lingkungan manapun yang dilibatinya, punya daya solidaritas kepada sesama, yang meluap dari keunggulan-keunggulan kapasitas dirinya serta menghayati perutusannya sebagai sahabat Yesus: merintis kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat di sekitarnya adalah menjadi sebuah prioritas utama yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tawaran ini sejujurnya menyulitkan dari segi waktu karena bertepatan dengan hari libur Lebaran, namun mengingat mendesaknya kebutuhan konsolidasi di antara orang muda Katolik melihat, mendengar dan merasakan sitasi aktual hidup bernegara yang sering dikatakan banyak pihak sebagai krisis multi dimensi mendorong penulis untuk menerima tawaran ini sebagai sebuah ruang untuk berbagi keprihatinan serta menggali masukan guna bersama-sama mengusahakan kehidupan bersama yang lebih baik, seturut teladan Yesus Kristus Sang Pembabas kita. Untuk itu, kepada seluruh panitia, penulis ingin mengucapkan terima kasih atas kesempatan dan kepercayaannya untuk dapat berpartisipasi dalam acara ini.
Menangkap apa yang digulirkan dalam kerangka acuan yang penulis terima, yang kurang lebih ingin meneruskan pemikiran Mgr. Soegijapranata SJ, di awal kemerdekaan, bahwa seorang umat Katolik Indonesia seyogianya “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia”. Maka, hal itu menurut penulis hanya bisa diwujudkan ketika kekatolikan dimaknai sama dengan keindonesiaan. Artinya, menjadi katolik yang tidak bisa lepas dari kompleksitas masalah sosial ekonomi, politik, dan sosial budaya di Indonesia.
Maka dari itu, makalah singkat ini pertama-tama akan mengungkap sedikit persoalan sosial di Indonesia, posisi orang muda dan pada akhir bagian akan menawarkan sejumlah gagasan dan meminta sejumlah masukan untuk bisa didiskusikan bersama.
Situasi Aktual
Sebelas tahun sudah lewat reformasi. Angin demokrasi yang seharusnya mampu memecahkan berbagai persolan kebangsaan, malah justru memasuki titik kritis dan titik balik yang membingungkan publik. Tampaknya, proses demokratisasi bangsa baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan.
Dalam bidang politik, Negara tak kunjung berhasil mengarahkan kualitas kehidupan bangsa menuju cita-cita kemerdekaan (bdk. Pembukaan UUD 1945) dan amanat transformasi sosial (yang sering dikenal dengan “reformasi”) 1998. Situasi itu dilatarbelakangi oleh semakin merebaknya praktik korupsi kekuasaan dan ekonomi para pemimpin maupun lembaga Negara demi meraih kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok masing-masing.
Dalam bidang ekonomi, penguasaan hajat hidup orang banyak oleh Negara ternyata tidak dilaksanakan demi kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan penguasa modal, tak terkecuali pemodal asing. Akibatnya, derajat kehidupan ekonomi rakyat turun drastis, kemiskinan merebak, kelaparan dan kondisi serba tidak terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat semakin tak terpenuhi.
Dalam bidang budaya, kehidupan bangsa semakin kehilangan kharakter kulturalnya. Pancasila yang sejak awal kemerdekaan disepakati oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia sebagai filosofi dan pedoman dasar hidup, kini tak lagi ditempatkan sebagaimana mestinya, dan terancam oleh berkembang kuatnya ideologi-ideologi lain berbasis agama atau kepentingan politik dan ekonomi tertentu.
Pancasila yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu (integrating force) semakin sulit posisinya. Karena, Pancasila terlanjur tercemar pada masa rezim Soeharto dimana Pancasila dipakai sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Selain itu, pada masa pemerintahan BJ Habibie terjadi liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah faktor otonomi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika diantisipasi bisa menimbulkan local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam posisi ini, Pancasila baik secara sengaja maupun by-implication kian kehilangan posisi sentralnya (Azra: 2006).
Dalam posisi seperti ini, bangkitnya ideologi-ideologi lain termasuk ideologi keagamaan sudah tak dapat terhindarkan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salahsatu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pasca-Soeharto. Kini, bayang-bayang religious based-ideology (ies) diwujudkan antara lain dengan menetapkan dan memberlakukan UU, Perda yang dalam satu dan lain hal ‘bernuansa Syari’ah’ yang jumlahnya lebih dari 200 yang tersebar di seluruh Indonesia.
Parahnya masyarakat kini cenderung lebih mudah terprovokasi dan dengan mudah menjadi hakim atas sesamanya sendiri. Korban pun jatuh sudah. Kekerasan atas nama agama meningkat fluktuasinya dan memuncak pada tragedi monas berdarah 1 Juni 2008. Sebelumnya, kekerasan juga terjadi terhadap warga Ahmadiyah di Manis Lor Kab. Kuningan Jawa Barat dan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, Al Qiyadah Al Islamiyah di Padang, Sejumlah Gereja di Kab. Bandung Jawa Barat, dan Sy’iah di Bangil Jawa Timur merupakan contoh kekerasan itu.
Hasil pemilu legislatif 2009 yang lalu juga mencerminakan bagimana peta kekuatan politik berbasis agama yang dalam perjuangannya terus berusaha melakukan formalisasi agama di ruang publik patut diperhatiakan secara serius. Memang, partai-partai berbasis agama tidak mendapatkan banyak kursi di parlemen, tapi hal itu bukan berarti mengurangi kekuatan politik di level parlemen.
Yang jelas, pemerintahan ke depan akan menjadi pemerintahan yang kuat karena didukung oleh 56% suara partai Demokrat di DPRRI. Selain itu, partai pendukungnya sebagian besar berbasis agama, termasuk PKS. Perlu digarisbawahi, PKS selain menjadi pemenang kedua di DKI Jakarta, PKS juga menjadi pemenenag ketiga pemilu legislatif di 6 propinsi (NAD, Kepri, Banten, NTB, Sultra, dan Kalsel).
Mengutip hasil penelitian Ali Maschan Moesa –mantan ketua PWNU Jatim, disimpulkan memang telah muncul “gerakan radikal” yang bertujuan mengformalkan syari’at Islam dan menghendaki supaya syari’at Islam menjadi landasan berbagsa-bernegara. Target mereka adalah pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Tetapi target tersebut hanyalah tujuan antara, sebab yang mereka inginkan adalah berdirinya Negara Syari’ah atau Negara Khilafah sebagai nama lain dari Negara Islam.
Masih menurut Moesa, adapun organisasi yang bisa digolongkan ke dalam gerakan ini adalah MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljama’ah, KAMMI (Kesatuan Aksi mahasiswa Muslim Indonesia), FPIS (Front Pemuda Islam), Jama’ah Muslim (Hisbullah), FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad Ahlussunnah Waljama’ah), HAMMAS, Ikhwanul Muslimin, KISDI (Komite Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam), dan PPMI ( Persatuan Pekerja Muslim Indonesia).
Belum lagi jika permaslaahan ini sedikit diperluas menyangkut kebebasan berkeyakinan dari masyarakat adat di seluruh nusantara. Di sanalah sebenarnya problem diskriminasi paling kontras bisa terlihat. Masyarakat adat yang sudah ada sejak cikal bakal geografis Indonesia terbentuk dan sudah mendiami nusantara ini ribuan tahun lamanya kini seakan-akan menjadi tamu di dalam rumahnya sendiri.
Mereka digerogoti hak-haknya, mulai dari keyakinan mereka akan kemanunggalan manusia dengan alam sekitarnya, keterikatan mereka atas tanah dan air yang menjadi lumbung penghidupan mereka sehari-hari, dan bahkan hingga pencibiran mereka sebagai orang-orang yang terkebelakang, kafir, sesat, dan irasional.Diskriminasi terhadap masyarakat adat khususnya penganut kepercayaan lokal terus saja terjadi. Parahnya, diskriminasi ini dilakukan secara sistematis, karena Negara kerap membuat berbagai kebijakan publik dalam bentuk UU yang terus mendiskriminasi masyarakat adat.
Wajah OMK dan Gereja Indonesia
Mengutip Ismartono, SJ dalam kata sambutannya di buku Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, bahwa Gereja Indonesia lebih merupakan penampilan ibadat dari pada penampilan gerakan sosial . Lebih lanjut dijelaskan, kalau pun ada penampilan gerakan sosial, itu pun masih bersifat sosial karitatip. Hal ini yang menurut saya patut mendapat penekanan lebih dalam forum ini. Sehingga, dengan diskusi ini, bisa mempengaruhi cara beriman kita.
Kedua, kita saat ini hidup dalam suasana umum yang tidak menentu menyangkut struktur-struktur sosial misalnya keluarga, tata perekonomian, politik, yang menjadi ajang pertempuran tanpa tapal batas anatara sains, irasionalisme ideologis dan agama .
Ketiga, sebagai orang orang muda yang juga bagian tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat, kita dituntut untuk mewujudkan Kerjaan Allah di dunia. Kerajaan Allah di sini saya maksudkan adalah suatu kondisi yang kita usahakan dengan upaya mewujudkan atau menciptakan tata sosial, ekonomi, politik dan budaya yang identik dengan ciri-ciri Kerajaan Allah sendiri, yaitu perwujudan dari tegaknya nilai keadilan, perdamaian dengan dilandasi iman, semangat cinta kasih dan harapan. Sehingga sebagai orang muda kita tidak diam diri dan pasif. Karena, sekali lagi kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat.
Penutup
OMK sebagai bagian tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat, hendaknya mengambil peran penting dalam mengisi dan menempati posisi penting sebagai kaum intelektual. Meminjam pemikiran Edward Said dalam bukunya The Representation of Intellectuals, disana disebutkan, “Orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengutarakan yang benar kepada yang berkuasa. Seorang intelektual mengatakan apa yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran penguasa. Karena itu ia cenderung ke oposisi ipada ke akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa ”.
Masalahnya, saat ini OMK masih tidak jelas orientasinya. Dalam menyikapi isu mereka cenderung reaktif dan sporadis. OMK kini menjadi tidak lagi fokus dalam pada satu isu bersama. Minim sekali gerakan sosial yang berorientasi pada perubahan. Kalau pun ada, sifatnya masih tersebar dan tidak lagi menjadi sebuah kekuatan nasional yang solid. Konsolidasi di antara mereka menghadapi hampatan yang cukup serius.
Harapan penulis, OMK ke depan lebih melebur dalam setiap aktivitas dan pengambilan keputusan di masyarakat, mengambil peran dalam mengawasi jalannya pemerintahan, mencari celah untuk pemberdayaan ekonomi dan mencarikan akses modal bagi pengusaha kecil, menjadi garda terdepan bagi penyelamatan lingkungan dari ancaman industrialisasi dan penambangan, serta siap menjadi agen perubahan. Karena sejarah Indonesia berbagi makna, sejak zaman pergerakan nasional awal, Proklamasi, sampai Reformasi, selalu saja orang mudalah pelaku utamanya. Maka tak salah jika orang muda adalah pemilik dan penentu hari depan.
Untuk itu, gagasan penulis dalam forum yang berbahagia ini adalah penyiapan sebuah kader orangmuda yang kritis, punya kemampuan survival menghadapi tantangan berat hidup di tengah masyarakat, punya dan mampu memanfaatkan jaringan kerja sama yang handal, kreatif secara luas dalam mengekspresikan dirinya, punya jiwa kepemimpinan di lingkungan manapun yang dilibatinya, punya daya solidaritas kepada sesama, yang meluap dari keunggulan-keunggulan kapasitas dirinya serta menghayati perutusannya sebagai sahabat Yesus: merintis kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat di sekitarnya adalah menjadi sebuah prioritas utama yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.
PERAN INTELEKTUAL DALAM MEMBELA KERAGAMAN
Saya menyambut gembira undangan mengahadiri acara ini dari Bung Towik dan Bung Ridho saudara saya aktivis JARIK yang selama ini aktif bersama-sama dengan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) ikut mengkampanyekan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan di tengah-tengah carut-marutnya hampir seluruh aspek kehiduapan bersama dalam sebuah negara bernama Indonesia.
Perkenankan saya dalam fórum konsolidasi nasional JARIK yang meambil tema “PROMOTING RELIGIOUS FREEDOM DALAM MENDORONG GAIRAH INTELEKTUALISME KAUM MUDA MUSLIM INDONESIA” ikut menyuarakan apa yang menjadi keprihatinan saya selama ini bersama dengan ANBTI.
Dalam makalah yang singkat ini, penulis ingin membatasi pembahasannya pada bagaimana penulis melihat tegangan persoalan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dikaitkan dengan semanagat intelektual kaum muda, persis seperti tema konsolidasi ini.
Situasi Aktual
Sepuluh tahun sudah reformasi. Angin demokrasi yang seharusnya mampu memecahkan berbagai persolan kebangsaan, malah justru memasuki titik kritis dan titik balik yang membingungkan publik. Tampaknya, proses demokratisasi bangsa baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan.
Pancasila yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu (integrating force) semakin sulit posisinya. Karena, Pancasila terlanjur tercemar pada masa rezim Soeharto dimana Pancasila dipakai sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Selain itu, pada masa pemerintahan BJ Habibie terjadi liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah faktor otonomi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika diantisipasi bisa menimbulkan local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam posisi ini, Pancasila baik secara sengaja maupun by-implication kian kehilangan posisi sentralnya (Azra: 2006).
Dalam posisi seperti ini, bangkitnya ideologi-ideologi lain termasuk ideologi keagamaan sudah tak dapat terhindarkan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salahsatu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pasca-Soeharto. Kini, bayang-bayang religious based-ideology (ies) diwujudkan antara lain dengan menetapkan dan memberlakukan UU, Perda yang dalam satu dan lain hal ‘bernuansa Syari’ah’ yang jumlahnya lebih dari 200 yang tersebar di seluruh Indonesia.
Parahnya masyarakat kini cenderung lebih mudah terprovokasi dan dengan mudah menjadi hakim atas sesamanya sendiri. Korban pun jatuh sudah. Kekerasan atas nama agama meningkat fluktuasinya dan memuncak pada tragedi monas berdarah 1 Juni 2008. Sebelumnya, kekerasan juga terjadi terhadap warga Ahmadiyah di Manis Lor Kab. Kuningan Jawa Barat dan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, Al Qiyadah Al Islamiyah di Padang, Sejumlah Gereja di Kab. Bandung Jawa Barat, dan Sy’iah di Bangil Jawa Timur merupakan contoh kekerasan itu.
Belum lagi jika permaslaahan ini sedikit diperluas menyangkut kebebasan berkeyakinan dari masyarakat adat di seluruh nusantara. Di sanalah sebenarnya problem diskriminasi paling kontras bisa terlihat. Masyarakat adat yang sudah ada sejak cikal bakal geografis Indonesia terbentuk dan sudah mendiami nusantara ini ribuan tahun lamanya kini seakan-akan menjadi tamu di dalam rumahnya sendiri.
Mereka digerogoti hak-haknya, mulai dari keyakinan mereka akan kemanunggalan manusia dengan alam sekitarnya, keterikatan mereka atas tanah dan air yang menjadi lumbung penghidupan mereka sehari-hari, dan bahkan hingga pencibiran mereka sebagai orang-orang yang terkebelakang, kafir, sesat, dan irasional.
Diskriminasi terhadap masyarakat adat khususnya penganut kepercayaan lokal terus saja terjadi. Parahnya, diskriminasi ini dilakukan secara sistematis, karena Negara kerap membuat berbagai kebijakan publik dalam bentuk UU yang terus mendiskriminasi masyarakat adat
Munculnya UU Adminduk (Administrasi dan Kependudukan) yang pengesahannya dipaksakan pada tanggal 8 Desember 2006, di tengah penolakan dari sejumlah fraksi di DPR RI, merupakan “duri dalam daging” karena isinya masih sarat dengan diskriminasi dan melanggengkan label “agama resmi dan tidak resmi” dari pemerintah yang memarjinalkan kelompok masyarakat di luar 6 agama yang difasilitasi oleh negara (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan, yang baru diresmikan, Khonghucu).
Konsekuensi pelabelan tersebut telah berimplikasi pada pengabaian hak-hak sipil dan politik terhadap mereka yang selama ini selalu kesulitan dalam mengakses masalah pencatatan kependudukan (KK dan KTP). Mereka tidak leluasa mengisi kolom agama sesuai keyakinan yang mereka anut, kesulitan ini kemudian berimplikasi pada hak pencatatan pernikahan, kelahiran anak serta urusan hak sipil dan politik lainnya, termasuk juga administrasi hukum pada umumnya seperti pembukaan rekening, bank, sekolah, SIM dan seterusnya..
Realitas di masyarakat, jika ingin memperoleh kemudahan maka bisa ditempuh cara untuk “terpaksa/dipaksa/berpura-pura” mengakui/menganut salah satu dari 6 agama resmi tersebut. Sebuah cara yang dianggap pintas/mudah namun mengoyak perasaan dan hak asasi mereka yang seharusnya sudah dijamin dalam konstitusi dan dilindungi oleh undang-undang. Ironisnya, dalam sejarah bangsa Indonesia, 6 agama resmi tersebut merupakan “produk import” sementara ratusan kepercayaan justru merupakan identitas asli dari jati diri bangsa Indonesia karena berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia asli.
Posisi mahasiswa
Mahasiswa sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat menempati posisi penting sebagai kaum intelektual. Meminjam pemikiran Edward Said dalam bukunya The Representation of Intellectuals, disana disebutkan, “Orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengutarakan yang benar kepada yang berkuasa. Seorang intelektual mengatakan apa yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran penguasa. Karena itu ia cenderung ke oposisi ipada ke akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa ”.
Sejalan dengan itu, mahasiswa adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah entitas bernama perguran tinggi. Di mana setiap perguruan tinggi memiliki tugas menjalankan tri dharma perguran tinggi. Yang secara sederhana dapat disebutkan sebagai fungsi pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dengan demikian menjadi jelaslah posisi mahasiswa dalam situasi hidup bersama dalam sebuah negara adalah sebagai agen perubahan yang selalu mengemban amanat dari setiap amanat penderitaan rakyat.
Masalahnya, saat ini gerakan mahasiswa masih tidak jelas orientasinya. Dalam menyikapi isu mereka cenderung reaktif dan sporadis. Gerakan mahasiswa kini menjadi tidak lagi fokus dalam satu isu bersama. Gerakannya tersebar dan tidak lagi menjadi sebuah kekuatan nasional yang solid. Konsolidasi di antara mereka menghadapi hampatan yang cukup serius. Padahal, ruang publik sudah terbuka lebar.
Penutup
Jika kini kawan-kawan JARIK peduli terhadap permaslahan kebebasan beragama seperti singkat diuraikan di atas, hal itu merupakan sesuatu yang patut dipresiasi. Walau di sana menghadang tantangan yang luar biasa besarnya,
Pertama, isu keberagaman memang saat ini memang masih menjadi isu elit yang seolah-olah dampaknya tidak langsung dirasakan oleh rakyat miskin. Bandingkan dengan isu kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, lingkungan dan lain-lain. Sementara, di lapangan realitas masyarakat (silence majority) yang mulai apatis dan apolitis bisa ditemui di mana saja.
Namun, bahayanya jika isu ini tidak diperhatikan secara serius, maka disintegrasi bangsa bukan sekadar wacana lagi. Karena, usaha-usaha untuk mengganti konstitusi dengan satu paham agama tertentu semakin gencar dilakukan melalui jalur parlementer.
Belum lagi isu nasionalisme di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda juga sudah mulai luntur. Meminjam istilah mereka sendiri, membicarakan nasionalisme adalah sesuatu yang sudah basi. Padahal, jika kita ingin terus-menerus menghargai perbedaan, maka Pancasila, dan konstitusi adalah solusi final. Sementara, saat ini semakin menguat dukungan banyak pihak yang ingin mengganti konstitusi dengan tafsir filosofi agama tertentu.
Terakhir, menutup makalah singkat ini, saya ingin berbagi semangat dengan mengutip apa yang menjadi refeleksi Edward Said menantang Anda sebagai seorang intelektual, “Jika Anda mau membela keadilan manusiawi dasar, Anda harus melakukannya bagi siapa saja, bukan hanya selektif bagi mereka yang didukung oleh orang-orang di pihak Anda, di budaya Anda, di Bangsa Anda”.
Gus Dur Ajak Orang Muda Katolik Berani
[Tulisan ini dibuat pada 3 Agustus 2008, selepas Gus Dur tampil sebagai pembicara dalam Kongkow Bareng Gus Dur di Paroki BHK, Kemakmuran. Tuliasan ini pernah dimuat di Majalah HIDUP. Kini (3/1/2010), tulisan ini diunggah ulang selain sebagai kenang-kenangan persentuhan personal penulis dengan Gus Dur, juga sebagai ungkapan Selamat Jalan atas kepergian Gus Dur, Sang Pahlawan]
Gus Dur mengajak orangmuda Katolik untuk keluar dari zona amannya mengusahakan kehiduapn bersama yang lebih baik di Indonesia. Hal ini dikatakan Mantan Presiden ke-4 RI Abdurahman Wahid dalam kongkow bersama Gus Dur dengan tema, “Orang muda berbicara tentang kebebasan, dan demokrasi dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia” yang digelar di Aula Paroki Bunda Hati Kudus (BHK), Kemakmuran, Jakarta, Minggu (3/8/2008).
“Saya datang ke sini, bukan karena apa-apa. Wong, orang muda Katolik juga khan orang muda Indonesia. Saya datang ke sini itu karena diundang Guntur Romli. Rombongan liar,” ujar Gus Dur ringan sambil tertawa terkekeh menjawab pertanyaan moderator mengenai pandangannya terhadap orang muda Katolik.
Gus Dur mengajak semua saja (tidak sekadar orang Katolik, red) untuk keluar dari zona aman dan bersama-sama membangun Indonesia. Karena, menurutnya pemimpin-pemimpin sekarang tidak memiliki keberanian dan tidak ada pula yang memikirkan rakyatnya. Modalnya, lanjut Gus Dur adalah keberanian. “Berani ini penting sekali,” katanya.
Gus Dur tetaplah Gus Dur yang berani. Gaya bicaranya lugas tanpa tedeng aling-aling. Hal inilah yang kerap menuai kontroversi dan menyakiti elit politik negeri ini. Tak tanggung-tanggung, dalam kesempatan tersebut dia terang-terangan mengaku kecewa dengan sejumlah nama seperti Cak Imin, Ali Maskur Musa, bahkan, anaknya sendiri, Yeni. “Masalahnya tidak lagi ada kejujuran. Itu… Saya koq selalu terlambat mengenal mereka. Semua itu terjadi baru setelah mereka duduk. Nggak tahu saya,” sesal Gus Dur.
Kecak Lele
Namun, bukan Gus Dur juga kalau tidak doyan melucu. Kalau pada awal tahun 2008 ini ada guyonon politik di mana Megawati mengkritik keras kebijakan Presiden SBY tak ubahnya seperti menari Poco-poco, yang maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur dua langkah. Tak pelak, guyonan itu langtsung dibalas oleh kubu SBY dengan mengatakan pada zaman pemerintahannya Megawati justru pemerintah ibarat undur-undur, yang mundur terus.
Gus Dur tentu punya istilah tersendiri mengkritisi kepemimpinan SBY. “Kalau saya sih melihat itu seperti Kecak Lele. Muter kemana-mana. Akhirnya balik ke situ-situ juga,” disusul tawa terbahak-bahak audiens.
Semua audiens hanyut dalam sebuah momen yang dikatakan Romo Susilo (tuan rumah) sebagai sebuah bentuk kebahagiaan tersendiri. Setiap perkataan Gus Dur disimaknya penuh. Sepenuh ungkapan dan ucapan selamat ulang yang dinyanyikan riuh menyambut ulang tahun Gus Dur yang ke-68, yang tepatnya jatuh pada 4 Agustus, sehari setelah acara itu.
Tidak hanya Gus Dur, diundang pula dalam kongkow-kongkow itu sebagai pembicara antara lain Guntur Romli, aktivis kebebasan dan demokrasi di tanah air, Sekjen ICRP JN. Hariyanto, SJ., seorang pendidik, aktivis yang memiliki integritas tinggi dalam banyak hal. Serta seorang pejuang akar rumput yang selalu setia menjaga keharmonisan di daerah Petojo, Haji Rusli.
Senada dengan Gus Dur, Romo Hariyanto SJ justru menantang orang muda Katolik untuk berani mengambil bagian dalam menggereja di tengah-tengah masyarakat. “Sense of nation hanya didapat ketika hidup bersama bersama orang lain,” katanya.
Mengutip mendiang Pastor Van Lith, Romo Hariyanto berbagi makna, “Seandainya, orang-orang Belanda diusir ke laut maka kami (para misionaris, -red) berpihak pada orang Jawa. Dengan catatan ucapan itu dikatakannya pada saat tahun 1927 di mana konsep keindonesiaan belum ada,” paparnya. Romo Hariyanto berharap, orang muda Katolik seharusnya dapat mengusahakan apa pesan moral Sugiyopranoto SJ, "Katolik 100 persen - Indonesia 100 persen!"
Sementara, Guntur Romli mengurai berbagai persoalan yang muncul pasca reformasi. Di mana, angin demokrasi yang seharusnya mampu memecahkan berbagai persolan kebangsaan, justru memasuki titik kritis yang membingungkan publik. Tampaknya, kata Guntur, proses demokratisasi bangsa baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan. Makanya dia tidak heran jika ada kasus seperti Tragedi Monas Berdarah, 1 Juni 2008.
*Daniel Awigra, Moderator Kongkow-kongkow.
BANGKIT DI ATAS PUING-PUING BEIRUT
Oleh Awigra dan Ahmad Almaududy Amri
Hari-hari ini Lebanon terus menata diri untuk menjadi Negara yang kuat dan berwibwa. Hal ini disadari penuh oleh seluruh rakyat Lebanon yang selama kurang lebih 40 tahun hidup dalam bayang-bayang ancaman tetangganya di selatan, Israel. Untuk mengembalikan Lebanon sebagai negeri yang kuat, yang mampu membela diri, diperlukan rekonsiliasi di dalam negeri. Dengan ide pluralisme pada kabinet persatuan nasional yang sekarang dalam pembentukan, artinya semua sekte di Lebanon punya kekuatan yang seimbang. Tidak ada satu kelompok yang bisa mengklaim diri paling utama .
Perbedaan yang terjadi di Lebanon bukanlah perbedaan agama, melainkan politik. Karena perbedaan pada hakikatnya perbedaan politik, perbedaan itu bisa diselesaikan secara baik. ”Perlu dialog, dan kami (Hizbullah) siap bekerja sama dengan siapa saja,” kata Kepala Biro Hubungan Internasional Hizbullah, Ammar Mousawy .
Kepercayaan diri rakyat Lebanon yang bangkit tercermin melalui pernyataan sikap Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah yang bertekad untuk membalas setiap serangan Israel terhadap Lebanon, termasuk menghancurkan bandar udara negara zionis itu.
"Saya sampaikan kepada orang-orang Israel: Jika Anda menyerang Bandar Udara Rafiq Hariri, kami akan menyerang Bandara Ben Gurion di Tel Aviv," katanya .
Hal ini jelas menjadi pertanda mulai pulihnya kekuatan Lebanon setelah perang 34 hari pada Juli 2006. Dalam perang Israel-Hizbullah itu, sekitar 3.000 orang tewas, sebagian besar warga sipil yang menjadi korban dari serangan udara militer Israel di desa-desa di pinggiran Lebanon selatan .
Resolusi 1701 PBB mengakhiri perang 34 hari antara Israel dan kelompok Syiah yang bersenjata, Hizbullah, pada 2006, dan memperkuat Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL) untuk melaksanakan misi pemelihara perdamaian di Lebanon selatan.
Resolusi PBB itu menuntut perlucutan senjata anggota Hizbullah. Namun, Hizbullah, yang memiliki anggota yang terlatih dan peralatan yang baik, telah menjelaskan senjatanya tak perlu diperdebatkan. Meski demikian, laporan dari Kementerian Luar Negeri Lebanon itu menekankan bahwa penting bagi kementerian tersebut untuk meminta perhatian bahwa tantangan terbesar terhadap Resolusi 1701 datang dari Israel sendiri karena Israel telah melanggaran resolusi itu lebih dari 6.000 kali sejak 2006 .
Sejatinya, PBB melalui United Nations Interim Forces in Lebanon (UNIFIL) pertama kali menginjakkan kakinya di Lebanon sejak 23 Maret 1978. Ketegangan Israel—Lebanon meningkat ekskalasinya sejak tahun 1970. Namun pada 11 Maret 1978, sebuah serangan komando ke wilayah Israel telah menyebabkan banyak korban tewas dan luka-luka di pihak penduduk Israel; dan Organisasi Pembebasan Palestina atau yang dikenal dengan Palestine Liberation Organization (PLO) menyatakan bertanggung jawan atas serangan tersebut. Sebagai respons terhadap serangan PLO tersebut, pasukan Israel melakukan invasi ke wilayah Lebanon pada malam tanggal 14/15 Maret, dan dalam beberapa hari telah melakukan okupasi seluruh kawasan selatan negara Lebanon, kecuali kota Tyre dan kawasan sekitarnya .
Pada 15 Maret 1978, Pemerintah Lebanon menyatakan protes keras kepada Dewan Keamanan PBB atas serangan pasukan Israel tersebut, dan menyatakan pihak Pemerintah Lebanon tidak memiliki hubungan dengan operasi yang dilakukan oleh Palestinian commando. Tanggal 19 Maret, Dewan Keamanan PBB memutuskan resolusi 425 (1978) dan 426 (1978), yang menghimbau Israel agar segera menghentikan serangan militernya dan menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah Lebanon. Resolusi DK PBB 425 (1978) menetapkan dua hal, yaitu: pertama, DK PBB menghimbau agar dihormatinya integritas wilayah, kedaulatan dan independensi politik Lebanon dalam perbatasan wilayahnya yang telah diakui secara internasional. Kedua, DK PBB meminta Israel segera menghentikan serangan militernya terhadap integritas wilayah Lebanon dan menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah Lebanon .
Dewan Keamanan PBB juga memutuskan sesuai permintaan Pemerintah Lebanon, untuk segera membentuk United Nations Interim Force di Lebanon selatan. Pasukan penjaga perdamaian PBB ini dibentuk dengan tiga tujuan utama, yaitu: Menjamin penarikan mundur pasukan Israel, memulihkan keamanan dan perdamaian internasional dan membantu Pemerintah Lebanon dalam menjamin kembalinya otoritas efektifnya di wilayah Lebanon .
Bangkit di atas puing-puing Beirut ingin membahas peran UNIFIL di Lebanon dalam ikut menjaga perdamaian di sana. Kontribusi apa yang diberikan UNIFIL sampai warga Lebanon hari-hari ini mulai bangkit kepercayaan dirinya, seperti terfragmen dalam ucapan Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah dimana dirinya siap membalas serangan Isreal kapan saja.
Peacekeeping
Beberapa halaman berikut, banyak penulis pati sarikan dari buku karya Agus Gunaedy Pribadi, dkk, “Memenuhi amanah Bangsa”.
Definisi resmi “Peacekeeping” adalah ”suatu operasi yang melibatkan personel militer, namun tanpa kekuataan paksaan (enforcement powers), dilaksanakan oleh PBB untuk membantu mempertahankan dan memulihkan keamanan dan perdamaian internasional di daerah konflik” (Blue Helmets) .
Peacekeeping adalah sebuah fungsi dari PBB, tetapi ada kalanya juga dilakukan oleh organisasi regional dan internasional. Dasar dari peacekeeping dapat dilihat dalam operasi sejak terbentuknya PBB tahun 1945. Contohnya setelah Perang Dunia I, organisasi militer multinasional (Liga Bangsa Bangsa/ LBB) dibentuk untuk menentukan dan menangani batas baru Eropa melalui perjanjian damai setelah berakhirnya perang. Pada masa itu, Liga Bangsa Bangsa juga melaksanakan kegiatan yang sebanding dengan peacekeeping saat ini.
Namun sejak tahun 1945, peacekeeping telah menjadi teknik yang paling sering digunakan atau diasosiasikan dengan PBB untuk mengakhiri konflik dan mewujudkan perdamaian sehingga organisasi ini kemudian dianugerahi hadiah Nobel tahun 1988 atas berbagai aktivitas peacekeeping-nya.
Peacekeeping tidak disebutkan secara eksplisit dalam Piagam PBB (United Nations Charter), namun dijelaskan di antara Chapter VI dan Chapter VII. Operasi peacekeeping dideskripsikan olen mantan Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjöld sebagai ”Chapter 6 ½ initiatives”. Chapter VI menunjukkan pihak-pihak yang berkonflik ”harus pertama kali mengupayakan penyelesaian melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum, atau cara-cara damai lainnya atas pilihan mereka”. Chapter VI menunjukkan bahwa ”Dewan Keamanan PBB, apabila dipandang perlu, harus menghimbau pihak-pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya”.
Sementara itu, Chapter VII juga memberikan kekuasaan atau wewenang pada DK PBB untuk memaksakan keputusannya, termasuk menggunakan kekuatan militer jika diperlukan, untuk menjaga dan memulihkan keamanan dan perdamaian internasional. Article 99 memberikan Sekjen PBB kekuasaan untuk melaksanakan ”good offices missions”, termasuk pencarian fakta dan mendesak kelompok yang bertikai untuk mencari negosiasi penyelesaian konfliknya.
PBB pertama kali terlibat dalam peacekeeping tahun 1948, namun yang secara eksplisit disebut sebasgai misi perdamaian pertama kalinya adalah United Nations Emergency Force (UNEF I), yang digelar tahun 1956 sebagai respons terhadap Krisis Suez, setelah militer Inggris dan Perancis melakukan invasi ke Mesir. UNEF I kemudian menjadi preseden untuk misi-misi yang sama selanjutnya.
Pengiriman UNEF meletakkan dasar-dasar prinsip yang menjadi esensi dari peacekeeping. Prinsip-prinsip peacekeeping pertama kali diletakkan oleh Sekjen PBB Dag Hammarskjöld dan Lester B. Pearson (Presiden Majelis Umum dari Kanada tahun 1952-1953). Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang berkonflik untuk membentuk misi peacekeeping PBB;
2. Prinsip tidak menggunakan kekuatan militer (non-use of force), kecuali untuk membela diri;
3. Prinsip kontribusi sukarela (voluntary contributions)dari kontingen yang berpartisipasi dalam Pasukan PBB;
4. Prinsip ketidakberpihakan / netral (impartiality);
5. Prinsip pengawasan/pengendalian operasi peacekeeping oleh Sekjen PBB.
Prinsip-prinsip ini telah dikritisi, terutama dalam debat efisiensi peacekeeping dalan konflik pasca perang dingin. Namun demikian, prinsip ini terbukti cukup bertahan lebih dari 30 tahun untuk disebut sebagai dokumen yang ”masterpiece konsep dalam bidang yang benar-benar baru, blue print untuk operasi militer internasional tanpa kekerasan”.
Konflik baru
Kembali kepada UNIFIL. Setelah terjadinya perang Juli-Agustus 2006, Dewan Keamanan PBB memperkuat pasukan penjaga perdamaian PBB dan memutuskan selain mandat awalnya, pasukan PBB memiliki mandat tambahan, antara lain mengawasi jalannya penghentian permusuhan atau gencatan senjata (cessation of hostilities); mendukung tentara Lebanon (Lebanese armed forces/LAF) saat tentara LAF digelar di seluruh wilayah Lebanon selatan; dan memperluas bantuannya untuk menjamin akses bantuan kemanusiaan (humanitarian access) kepada penduduk sipil dan kembalinya para pengungsi (displaced persons) secara sukarela dan aman.
Terjadinya aksi kekerasan baru di perbatasan Israel-Lebanon yang dimulai tanggal 12 Juli 2006 ketika kelompok Hizbullah meluncurkan beberapa roket Katyusha dari wilayah Lebanon melewati Blue Line menuju posisi-posisi IDF dekat pantai dan kota Israel di Zarit. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, para pejuang Hizbullah menyeberangi Blue Line menuju Israel, menyerang sebuah patroli Israel dan menangkap dua tentara Israel (Ehud Goldwasser and Eldad Regev), membunuh tiga orang lainnya dan melukai lebih dari dua prajurit. Kedua tentara yang ditangkap dibawa Hizbullah ke Lebanon.
Setelah terjadinya serangan terhadap patroli Israel tersebut, kontak senjata yang hebat terjadi di sekitar Blue Line antara Hizbullah dan pasukan IDF. Kontak senjata terjadi di sepanjang Blue Line, dan yang terberat di kawasan Bint Jubayl dan Shebaa farms. Hizbullah melakukan penyerangan dengan sasaran posisi-posisi IDF dan kota-kota Israel di selatan Blue Line. Pihak Israel melakukan pembalasan dengan serangan darat, udara dan laut. Sebagai tambahan terhadap serangan udara ke posisi-posisi Hizbullah, IDF juga melakukan serangan terhadap sejumlah jalan-jalan dan jembatan-jembatan di Lebanon selatan, baik di dalam maupun di luar area operasi UNIFIL.
Dalam laporan Sekjen PBB bulan Juli mengenai UNIFIL, mencakup periode 21 Januari s/d 18 Juli 2006, dilaporkan bahwa situasi di area operasi UNIFIL masih tegang dan rawan konflik, walaupun secara umum situasi tenang dalam periode pelaporan tersebut. Namun, awal dari aksi kekerasan baru tanggal 12 Juli benar-benar telah “radically changed the context” dimana misi PBB sedang beroperasi. Menurut Sekjen PBB : “In the current environment, circumstances conducive to United Nations do not exist”. Selain itu Sekjen PBB menyatakan bahwa pasukan UNIFIL dibatasi dalam melakukan kegiatan apapun bahkan termasuk aktivitas mendasar (basic activities), seperti melakukan resuplai posisinya dan untuk melakukan operasi “search and rescue” untuk kepentingan personelnya. Dengan mandat UNIFIL yang berakhir tanggal 31 Juli 2006, Sekjen PBB merekomendasikan agar DK PBB memperpanjang mandat UNIFIL satu bulan lagi dengan pertimbangan untuk pengaturan lebih lanjut di Lebanon selatan.
DK PBB menyetujui rekomendasi Sekjen PBB dan dengan Resolusi 1697 tanggal 31 Juli, memperpanjang mandat UNIFIL sampai dengan 31 Agustus 2006. DK PBB juga menyatakan keprihatinannya yang mendalam terhadap eskalasi aksi kekerasan di Lebanon dan Israel sejak tanggal 12 Juli, mendesak semua pihak yang terkait untuk mencegah aksi apapun yang dapat membahayakan personel PBB, dan mengimbau agar mengijinkan pasukan UNIFIL melakukan resuplai terhadap posisinya, melakukan search and rescue operations untuk kepentingan personel PBB dan melakukan tindakan lainnya yang diperlukan untuk menjamin keamanan personel PBB.
Konflik baru tersebut, dinilai oleh beberapa pihak sebagai berikut;
1. Penilaian koalisi “14 Maret”
Sikap koalisi “14 Maret” dapat ditilik tatkala kelompok ini mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan “Deklarasi Bristol” (penamaan ini muncul dari nama sebuah hotel yang dijadikan tempat pertemuan koalisi anti Syria ini) : “Semua kekuatan bersenjata yang bukan bagian dari negara tak dapat dianggap sebagai pertahanan terhadap agresi Israel. Lebanon telah menjadi arena exploitasi Iran untuk memperkuat posisinya vis a vis masyarakat internasional menyangkut peran regionalnya. Syria juga menggunakan Lebanon untuk mengembalikan hegemoninya atas negara ini dan menghindari konsekuensi adanya keterlibatan dalam kasus pembunuhan mantan PM Rafik Hariri.”
Statement juga menyerukan dilaksanakannya seluruh Resolusi PBB menyangkut Lebanon , terutama 1701 soal senjata Hizbullah dan resolusi-resolusi sebelumnya. Pertemuan menekankan bahwa kini saatnya mengakhiri dualisme senjata dan menandaskan bahwa hanya angkatan Bersenjata dan institusi legal lain yang berhak membela negara.
Seruan tersebut tidak secara aklamasi. Sebagian anggota koalisi “14 Maret” mengakui bahwa pemerintah underestimated kekuatan Hizbullah dan memandang gencatan senjata sebagai kemenangan diplomatik pemerintah. Mengusulkan pelucutan senjata Hizbullah setelah terjadi gencatan senjata adalah sebuah kesalahan besar. Sementara sebagian yang lain menilai Hizbullah tidak dapat diyakinkan dalam masalah senjata. Sesudah perang, posisi koalisi “14 Maret” menjadi non-negotiable: negara harus memonopoli kekuatan bersenjata.
2. Pandangan Hizbullah
Memproklamirkan kemenangan dalam perang dibarengi keyakinan bahwa Israel juga memandang sama. Hizbullah tetap berpegang teguh bahwa sikapnya adalah benar: resistance adalah kebutuhan (buktinya adalah agresi Israel) dan sangat efektif (terbukti pada hasil perang). Dengan demikian menolak semua bentuk tuntutan untuk melucuti senjatanya atau kebebasan bermanuver. Hizbullah menyetujui Resolusi 1701 dan secara substansial memperkokoh keamanan di wilayah kekuasaanya, Lebanon selatan. Meski demikian tetap menolak merubah status quo militer. Untuk menjaga militansi dan resistensinya terhadap agresi Israel, Hizbullah harus mempersiapkan arsenal dan tetap menjadi aktor militer otonomis. Setidaknya selama Lebanon tidak mampu membela diri.
Dari sudut pandang ini, Hizbullah mengakui bahwa mereka menderita, tetapi Israel akan berpikir panjang dan bekerja keras sebelum kembali menyerang Lebanon. Otonomi militer Hizbullah penting selama ia membela negara. Resistance adalah pelengkap dari proses perundingan. Israel sekarang tahu bahwa mereka tak mungkin mencapai keinginannya dengan cara militer. Mereka tahu harus memberi peluang pada upaya diplomatik, sebagaimana diyakini. Resistance dalam hal ini akan memaksimalkan posisi Lebanon. Hal ini dalah pelajaran bagi negara-negara Arab lainnya.
Hizbullah menafsirkan Resolusi DK PBB 1701 secara modest dan pasif. Pelucutan senjata bukan prioritas utama, tapi hanya dapat terjadi jika Israel mundur dari Shebaa Farms, membebaskan seluruh tawanan Lebanon, dan tegaknya Lebanon sebagai sebuah negara yang kuat dan mampu membela diri. Resolusi DK PBB 1701 cukup membingungkan karena membiarkan “a kind of accomodation with the requirements of the resistance”. Hizbullah mencoba menemukan implementasi Resolusi DK PBB 1701 dalam masalah perlucutan senjata disamping tetap menjaga status militer di bagian selatan Sungai Litani yang sekarang ditempati oleh LAF dan UNIFIL, tanpa harus meletakkan atau menyerahkan senjata. Hizbullah untuk sementara membekukan suasana, para gerilyawannya kembali ke rumah dan senjata tetap di tangan.
Dalam berkonfrontasi dengan Israel, Hizbullah berupaya bertahan sembari menerapkan sebuah strategi berimbang. Mereka tidak melakukan konfrontasi senjata secara terbuka dan berkepanjangan. Tujuannya hanya mempertahankan Lebanon. Karena itulah mereka puas berada di kawasan perbatasan. Mereka tidak bermasalah dengan kekuatan militer apapun yang ditempatkan di kawasan itu.
Dalam konteks pandangan seperti ini, pembagian kerja yang diterapkan sebelum perang masih efektif. LAF beroperasi sebagai polisi; resistance mempertahankan perbatasan dengan cara membendung serangan Israel; dan suatu kekuatan asing yang lemah dan dipaksakan mengawasi gencatan senjata yang rapuh. Sebenarnya situasi seperti ini sudah berlangsung sejak dulu. Tidak ada yang berubah selama Shebaa Farms belum dikembalikan ke Lebanon, semua tawanan dibebaskan, dan negara merasa aman. Hizbullah tahu bahwa masyarakat internasional menolak kondisi seperti ini, tetapi situasi ini akan langgeng karena tidak ada jalan untuk menekan organisasi militan ini. Pecahnya perang baru tidak diyakini dan kepungan internasional terhadap Hizbullah adalah cerita lama yang sudah diantisipasi secara baik.
3. Pandangan Pihak Ketiga
Aktor regional dan internasional mempunyai perspektif yang amat berbeda dalam menilai perang musim panas lalu. Iran dan Syria sejak dini sudah merayakan penampilan Hizbullah. Keduanya menyadari sikap ini tidak diterima oleh semua orang. Iran mengandalkan arsenal Hizbullah untuk mencegah AS menyerang fasilitas nuklirnya. Bertambahnya otoritas UNIFIL telah mengurangi resuplai senjata Hizbullah. Sementara Resolusi DK PBB 1701 relatif merupakan setback bagi Syria. Resistensi Hizbullah merupakan capaian positif bagi Teheran dalam berkompetisi dengan AS. Selain itu, popularitas Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah semakin mencolok - terutama di kalangan Sunni - lebih jauh, merupakan ideological inroad di dunia Arab.
Damaskus puas dengan sekutunya di Lebanon telah menunjukkan kekuatan. Bagi Syria, perang ini telah mengubah peta politik Lebanon, Hizbullah menang dan koalisi “14 Maret” terbenam dan semestinya pemerintah merefleksikan kenyataan yang ada.
Sebaliknya, AS dan sekutunya memanfaatkan Resolusi DK PBB 1701 untuk mengajukan prioritasnya. Tidak dilucutinya senjata Hizbullah tidak dapat lagi ditolerir sebagai kenyataan. Washington berharap kemenangan Israel belum terealisir selama Hizbullah belum dibubarkan. Namun outcome perang ternyata negatif. Resolusi DK PBB 1701 merupakan prinsip dasar yang sudah ditekankan oleh Amerika Serikat agar segera terealisir. Sasarannya adalah melucuti senjata Hizbullah dan menegaskan wilayah antara Sungai Litani sampai ke perbatasan adalah kekuasaan UNIFIL dan LAF.
Kesimpulan
Implementasi Resolusi DK PBB 1701 masih merupakan barometer dari itikad masyarakat internasional dan pihak-pihak yang bertikai di lapangan untuk bergerak maju menuju perdamaian. Seperti dinyatakan oleh Sekjen PBB, komitmen baru ini harus didukung dengan bantuan tidak hanya bagi Lebanon dan Israel, namun bagi kawasan Timur Tengah yang lebih luas.
Meskipun UNIFIL dibatasi dalam menjalankan mandatnya, pasukan UNIFIL menggunakan upaya terbaiknya untuk membatasi konflik yang terjadi, memberikan kontribusi bagi terwujudnya stabilitas di kawasan dan melindungi penduduk di kawasan dari dampak buruk terjadinya kekerasan. Meskipun menghadapi situasi dan kondisi tersebut, Dewan Keamanan PBB telah berulang kali memperpanjang mandat UNIFIL berdasarkan permintaan dari Pemerintah Lebanon dan rekomendasi dari Sekretaris Jenderal PBB.
Meski demikian, banyak tuduhan dilayangkan kepada UNIFIL sebagai perpanjangan tangan AS di Lebanon dengan menghendaki pelucutan senjata bagi tentara Hizbullah.
Terlepas dari berbagai komentar mengenai keberadaan UNIFIL di Lebanon, ternayata keberadaannya ampuh menstabilkan keamanan untuk jangka waktu yang cukup lama. Pasukan Israel beberapa kali sudah menarik diri dari Lebanon, namun ketika ketegangan meningkat, kawasan Lebanon menjadi ajang pertempuran pihak-pihak yang memiliki kepentingan di negeri penghasil minyak zaitun tersebut.
Hari-hari ini Lebanon terus menata diri untuk menjadi Negara yang kuat dan berwibwa. Hal ini disadari penuh oleh seluruh rakyat Lebanon yang selama kurang lebih 40 tahun hidup dalam bayang-bayang ancaman tetangganya di selatan, Israel. Untuk mengembalikan Lebanon sebagai negeri yang kuat, yang mampu membela diri, diperlukan rekonsiliasi di dalam negeri. Dengan ide pluralisme pada kabinet persatuan nasional yang sekarang dalam pembentukan, artinya semua sekte di Lebanon punya kekuatan yang seimbang. Tidak ada satu kelompok yang bisa mengklaim diri paling utama .
Perbedaan yang terjadi di Lebanon bukanlah perbedaan agama, melainkan politik. Karena perbedaan pada hakikatnya perbedaan politik, perbedaan itu bisa diselesaikan secara baik. ”Perlu dialog, dan kami (Hizbullah) siap bekerja sama dengan siapa saja,” kata Kepala Biro Hubungan Internasional Hizbullah, Ammar Mousawy .
Kepercayaan diri rakyat Lebanon yang bangkit tercermin melalui pernyataan sikap Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah yang bertekad untuk membalas setiap serangan Israel terhadap Lebanon, termasuk menghancurkan bandar udara negara zionis itu.
"Saya sampaikan kepada orang-orang Israel: Jika Anda menyerang Bandar Udara Rafiq Hariri, kami akan menyerang Bandara Ben Gurion di Tel Aviv," katanya .
Hal ini jelas menjadi pertanda mulai pulihnya kekuatan Lebanon setelah perang 34 hari pada Juli 2006. Dalam perang Israel-Hizbullah itu, sekitar 3.000 orang tewas, sebagian besar warga sipil yang menjadi korban dari serangan udara militer Israel di desa-desa di pinggiran Lebanon selatan .
Resolusi 1701 PBB mengakhiri perang 34 hari antara Israel dan kelompok Syiah yang bersenjata, Hizbullah, pada 2006, dan memperkuat Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL) untuk melaksanakan misi pemelihara perdamaian di Lebanon selatan.
Resolusi PBB itu menuntut perlucutan senjata anggota Hizbullah. Namun, Hizbullah, yang memiliki anggota yang terlatih dan peralatan yang baik, telah menjelaskan senjatanya tak perlu diperdebatkan. Meski demikian, laporan dari Kementerian Luar Negeri Lebanon itu menekankan bahwa penting bagi kementerian tersebut untuk meminta perhatian bahwa tantangan terbesar terhadap Resolusi 1701 datang dari Israel sendiri karena Israel telah melanggaran resolusi itu lebih dari 6.000 kali sejak 2006 .
Sejatinya, PBB melalui United Nations Interim Forces in Lebanon (UNIFIL) pertama kali menginjakkan kakinya di Lebanon sejak 23 Maret 1978. Ketegangan Israel—Lebanon meningkat ekskalasinya sejak tahun 1970. Namun pada 11 Maret 1978, sebuah serangan komando ke wilayah Israel telah menyebabkan banyak korban tewas dan luka-luka di pihak penduduk Israel; dan Organisasi Pembebasan Palestina atau yang dikenal dengan Palestine Liberation Organization (PLO) menyatakan bertanggung jawan atas serangan tersebut. Sebagai respons terhadap serangan PLO tersebut, pasukan Israel melakukan invasi ke wilayah Lebanon pada malam tanggal 14/15 Maret, dan dalam beberapa hari telah melakukan okupasi seluruh kawasan selatan negara Lebanon, kecuali kota Tyre dan kawasan sekitarnya .
Pada 15 Maret 1978, Pemerintah Lebanon menyatakan protes keras kepada Dewan Keamanan PBB atas serangan pasukan Israel tersebut, dan menyatakan pihak Pemerintah Lebanon tidak memiliki hubungan dengan operasi yang dilakukan oleh Palestinian commando. Tanggal 19 Maret, Dewan Keamanan PBB memutuskan resolusi 425 (1978) dan 426 (1978), yang menghimbau Israel agar segera menghentikan serangan militernya dan menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah Lebanon. Resolusi DK PBB 425 (1978) menetapkan dua hal, yaitu: pertama, DK PBB menghimbau agar dihormatinya integritas wilayah, kedaulatan dan independensi politik Lebanon dalam perbatasan wilayahnya yang telah diakui secara internasional. Kedua, DK PBB meminta Israel segera menghentikan serangan militernya terhadap integritas wilayah Lebanon dan menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah Lebanon .
Dewan Keamanan PBB juga memutuskan sesuai permintaan Pemerintah Lebanon, untuk segera membentuk United Nations Interim Force di Lebanon selatan. Pasukan penjaga perdamaian PBB ini dibentuk dengan tiga tujuan utama, yaitu: Menjamin penarikan mundur pasukan Israel, memulihkan keamanan dan perdamaian internasional dan membantu Pemerintah Lebanon dalam menjamin kembalinya otoritas efektifnya di wilayah Lebanon .
Bangkit di atas puing-puing Beirut ingin membahas peran UNIFIL di Lebanon dalam ikut menjaga perdamaian di sana. Kontribusi apa yang diberikan UNIFIL sampai warga Lebanon hari-hari ini mulai bangkit kepercayaan dirinya, seperti terfragmen dalam ucapan Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah dimana dirinya siap membalas serangan Isreal kapan saja.
Peacekeeping
Beberapa halaman berikut, banyak penulis pati sarikan dari buku karya Agus Gunaedy Pribadi, dkk, “Memenuhi amanah Bangsa”.
Definisi resmi “Peacekeeping” adalah ”suatu operasi yang melibatkan personel militer, namun tanpa kekuataan paksaan (enforcement powers), dilaksanakan oleh PBB untuk membantu mempertahankan dan memulihkan keamanan dan perdamaian internasional di daerah konflik” (Blue Helmets) .
Peacekeeping adalah sebuah fungsi dari PBB, tetapi ada kalanya juga dilakukan oleh organisasi regional dan internasional. Dasar dari peacekeeping dapat dilihat dalam operasi sejak terbentuknya PBB tahun 1945. Contohnya setelah Perang Dunia I, organisasi militer multinasional (Liga Bangsa Bangsa/ LBB) dibentuk untuk menentukan dan menangani batas baru Eropa melalui perjanjian damai setelah berakhirnya perang. Pada masa itu, Liga Bangsa Bangsa juga melaksanakan kegiatan yang sebanding dengan peacekeeping saat ini.
Namun sejak tahun 1945, peacekeeping telah menjadi teknik yang paling sering digunakan atau diasosiasikan dengan PBB untuk mengakhiri konflik dan mewujudkan perdamaian sehingga organisasi ini kemudian dianugerahi hadiah Nobel tahun 1988 atas berbagai aktivitas peacekeeping-nya.
Peacekeeping tidak disebutkan secara eksplisit dalam Piagam PBB (United Nations Charter), namun dijelaskan di antara Chapter VI dan Chapter VII. Operasi peacekeeping dideskripsikan olen mantan Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjöld sebagai ”Chapter 6 ½ initiatives”. Chapter VI menunjukkan pihak-pihak yang berkonflik ”harus pertama kali mengupayakan penyelesaian melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum, atau cara-cara damai lainnya atas pilihan mereka”. Chapter VI menunjukkan bahwa ”Dewan Keamanan PBB, apabila dipandang perlu, harus menghimbau pihak-pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya”.
Sementara itu, Chapter VII juga memberikan kekuasaan atau wewenang pada DK PBB untuk memaksakan keputusannya, termasuk menggunakan kekuatan militer jika diperlukan, untuk menjaga dan memulihkan keamanan dan perdamaian internasional. Article 99 memberikan Sekjen PBB kekuasaan untuk melaksanakan ”good offices missions”, termasuk pencarian fakta dan mendesak kelompok yang bertikai untuk mencari negosiasi penyelesaian konfliknya.
PBB pertama kali terlibat dalam peacekeeping tahun 1948, namun yang secara eksplisit disebut sebasgai misi perdamaian pertama kalinya adalah United Nations Emergency Force (UNEF I), yang digelar tahun 1956 sebagai respons terhadap Krisis Suez, setelah militer Inggris dan Perancis melakukan invasi ke Mesir. UNEF I kemudian menjadi preseden untuk misi-misi yang sama selanjutnya.
Pengiriman UNEF meletakkan dasar-dasar prinsip yang menjadi esensi dari peacekeeping. Prinsip-prinsip peacekeeping pertama kali diletakkan oleh Sekjen PBB Dag Hammarskjöld dan Lester B. Pearson (Presiden Majelis Umum dari Kanada tahun 1952-1953). Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang berkonflik untuk membentuk misi peacekeeping PBB;
2. Prinsip tidak menggunakan kekuatan militer (non-use of force), kecuali untuk membela diri;
3. Prinsip kontribusi sukarela (voluntary contributions)dari kontingen yang berpartisipasi dalam Pasukan PBB;
4. Prinsip ketidakberpihakan / netral (impartiality);
5. Prinsip pengawasan/pengendalian operasi peacekeeping oleh Sekjen PBB.
Prinsip-prinsip ini telah dikritisi, terutama dalam debat efisiensi peacekeeping dalan konflik pasca perang dingin. Namun demikian, prinsip ini terbukti cukup bertahan lebih dari 30 tahun untuk disebut sebagai dokumen yang ”masterpiece konsep dalam bidang yang benar-benar baru, blue print untuk operasi militer internasional tanpa kekerasan”.
Konflik baru
Kembali kepada UNIFIL. Setelah terjadinya perang Juli-Agustus 2006, Dewan Keamanan PBB memperkuat pasukan penjaga perdamaian PBB dan memutuskan selain mandat awalnya, pasukan PBB memiliki mandat tambahan, antara lain mengawasi jalannya penghentian permusuhan atau gencatan senjata (cessation of hostilities); mendukung tentara Lebanon (Lebanese armed forces/LAF) saat tentara LAF digelar di seluruh wilayah Lebanon selatan; dan memperluas bantuannya untuk menjamin akses bantuan kemanusiaan (humanitarian access) kepada penduduk sipil dan kembalinya para pengungsi (displaced persons) secara sukarela dan aman.
Terjadinya aksi kekerasan baru di perbatasan Israel-Lebanon yang dimulai tanggal 12 Juli 2006 ketika kelompok Hizbullah meluncurkan beberapa roket Katyusha dari wilayah Lebanon melewati Blue Line menuju posisi-posisi IDF dekat pantai dan kota Israel di Zarit. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, para pejuang Hizbullah menyeberangi Blue Line menuju Israel, menyerang sebuah patroli Israel dan menangkap dua tentara Israel (Ehud Goldwasser and Eldad Regev), membunuh tiga orang lainnya dan melukai lebih dari dua prajurit. Kedua tentara yang ditangkap dibawa Hizbullah ke Lebanon.
Setelah terjadinya serangan terhadap patroli Israel tersebut, kontak senjata yang hebat terjadi di sekitar Blue Line antara Hizbullah dan pasukan IDF. Kontak senjata terjadi di sepanjang Blue Line, dan yang terberat di kawasan Bint Jubayl dan Shebaa farms. Hizbullah melakukan penyerangan dengan sasaran posisi-posisi IDF dan kota-kota Israel di selatan Blue Line. Pihak Israel melakukan pembalasan dengan serangan darat, udara dan laut. Sebagai tambahan terhadap serangan udara ke posisi-posisi Hizbullah, IDF juga melakukan serangan terhadap sejumlah jalan-jalan dan jembatan-jembatan di Lebanon selatan, baik di dalam maupun di luar area operasi UNIFIL.
Dalam laporan Sekjen PBB bulan Juli mengenai UNIFIL, mencakup periode 21 Januari s/d 18 Juli 2006, dilaporkan bahwa situasi di area operasi UNIFIL masih tegang dan rawan konflik, walaupun secara umum situasi tenang dalam periode pelaporan tersebut. Namun, awal dari aksi kekerasan baru tanggal 12 Juli benar-benar telah “radically changed the context” dimana misi PBB sedang beroperasi. Menurut Sekjen PBB : “In the current environment, circumstances conducive to United Nations do not exist”. Selain itu Sekjen PBB menyatakan bahwa pasukan UNIFIL dibatasi dalam melakukan kegiatan apapun bahkan termasuk aktivitas mendasar (basic activities), seperti melakukan resuplai posisinya dan untuk melakukan operasi “search and rescue” untuk kepentingan personelnya. Dengan mandat UNIFIL yang berakhir tanggal 31 Juli 2006, Sekjen PBB merekomendasikan agar DK PBB memperpanjang mandat UNIFIL satu bulan lagi dengan pertimbangan untuk pengaturan lebih lanjut di Lebanon selatan.
DK PBB menyetujui rekomendasi Sekjen PBB dan dengan Resolusi 1697 tanggal 31 Juli, memperpanjang mandat UNIFIL sampai dengan 31 Agustus 2006. DK PBB juga menyatakan keprihatinannya yang mendalam terhadap eskalasi aksi kekerasan di Lebanon dan Israel sejak tanggal 12 Juli, mendesak semua pihak yang terkait untuk mencegah aksi apapun yang dapat membahayakan personel PBB, dan mengimbau agar mengijinkan pasukan UNIFIL melakukan resuplai terhadap posisinya, melakukan search and rescue operations untuk kepentingan personel PBB dan melakukan tindakan lainnya yang diperlukan untuk menjamin keamanan personel PBB.
Konflik baru tersebut, dinilai oleh beberapa pihak sebagai berikut;
1. Penilaian koalisi “14 Maret”
Sikap koalisi “14 Maret” dapat ditilik tatkala kelompok ini mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan “Deklarasi Bristol” (penamaan ini muncul dari nama sebuah hotel yang dijadikan tempat pertemuan koalisi anti Syria ini) : “Semua kekuatan bersenjata yang bukan bagian dari negara tak dapat dianggap sebagai pertahanan terhadap agresi Israel. Lebanon telah menjadi arena exploitasi Iran untuk memperkuat posisinya vis a vis masyarakat internasional menyangkut peran regionalnya. Syria juga menggunakan Lebanon untuk mengembalikan hegemoninya atas negara ini dan menghindari konsekuensi adanya keterlibatan dalam kasus pembunuhan mantan PM Rafik Hariri.”
Statement juga menyerukan dilaksanakannya seluruh Resolusi PBB menyangkut Lebanon , terutama 1701 soal senjata Hizbullah dan resolusi-resolusi sebelumnya. Pertemuan menekankan bahwa kini saatnya mengakhiri dualisme senjata dan menandaskan bahwa hanya angkatan Bersenjata dan institusi legal lain yang berhak membela negara.
Seruan tersebut tidak secara aklamasi. Sebagian anggota koalisi “14 Maret” mengakui bahwa pemerintah underestimated kekuatan Hizbullah dan memandang gencatan senjata sebagai kemenangan diplomatik pemerintah. Mengusulkan pelucutan senjata Hizbullah setelah terjadi gencatan senjata adalah sebuah kesalahan besar. Sementara sebagian yang lain menilai Hizbullah tidak dapat diyakinkan dalam masalah senjata. Sesudah perang, posisi koalisi “14 Maret” menjadi non-negotiable: negara harus memonopoli kekuatan bersenjata.
2. Pandangan Hizbullah
Memproklamirkan kemenangan dalam perang dibarengi keyakinan bahwa Israel juga memandang sama. Hizbullah tetap berpegang teguh bahwa sikapnya adalah benar: resistance adalah kebutuhan (buktinya adalah agresi Israel) dan sangat efektif (terbukti pada hasil perang). Dengan demikian menolak semua bentuk tuntutan untuk melucuti senjatanya atau kebebasan bermanuver. Hizbullah menyetujui Resolusi 1701 dan secara substansial memperkokoh keamanan di wilayah kekuasaanya, Lebanon selatan. Meski demikian tetap menolak merubah status quo militer. Untuk menjaga militansi dan resistensinya terhadap agresi Israel, Hizbullah harus mempersiapkan arsenal dan tetap menjadi aktor militer otonomis. Setidaknya selama Lebanon tidak mampu membela diri.
Dari sudut pandang ini, Hizbullah mengakui bahwa mereka menderita, tetapi Israel akan berpikir panjang dan bekerja keras sebelum kembali menyerang Lebanon. Otonomi militer Hizbullah penting selama ia membela negara. Resistance adalah pelengkap dari proses perundingan. Israel sekarang tahu bahwa mereka tak mungkin mencapai keinginannya dengan cara militer. Mereka tahu harus memberi peluang pada upaya diplomatik, sebagaimana diyakini. Resistance dalam hal ini akan memaksimalkan posisi Lebanon. Hal ini dalah pelajaran bagi negara-negara Arab lainnya.
Hizbullah menafsirkan Resolusi DK PBB 1701 secara modest dan pasif. Pelucutan senjata bukan prioritas utama, tapi hanya dapat terjadi jika Israel mundur dari Shebaa Farms, membebaskan seluruh tawanan Lebanon, dan tegaknya Lebanon sebagai sebuah negara yang kuat dan mampu membela diri. Resolusi DK PBB 1701 cukup membingungkan karena membiarkan “a kind of accomodation with the requirements of the resistance”. Hizbullah mencoba menemukan implementasi Resolusi DK PBB 1701 dalam masalah perlucutan senjata disamping tetap menjaga status militer di bagian selatan Sungai Litani yang sekarang ditempati oleh LAF dan UNIFIL, tanpa harus meletakkan atau menyerahkan senjata. Hizbullah untuk sementara membekukan suasana, para gerilyawannya kembali ke rumah dan senjata tetap di tangan.
Dalam berkonfrontasi dengan Israel, Hizbullah berupaya bertahan sembari menerapkan sebuah strategi berimbang. Mereka tidak melakukan konfrontasi senjata secara terbuka dan berkepanjangan. Tujuannya hanya mempertahankan Lebanon. Karena itulah mereka puas berada di kawasan perbatasan. Mereka tidak bermasalah dengan kekuatan militer apapun yang ditempatkan di kawasan itu.
Dalam konteks pandangan seperti ini, pembagian kerja yang diterapkan sebelum perang masih efektif. LAF beroperasi sebagai polisi; resistance mempertahankan perbatasan dengan cara membendung serangan Israel; dan suatu kekuatan asing yang lemah dan dipaksakan mengawasi gencatan senjata yang rapuh. Sebenarnya situasi seperti ini sudah berlangsung sejak dulu. Tidak ada yang berubah selama Shebaa Farms belum dikembalikan ke Lebanon, semua tawanan dibebaskan, dan negara merasa aman. Hizbullah tahu bahwa masyarakat internasional menolak kondisi seperti ini, tetapi situasi ini akan langgeng karena tidak ada jalan untuk menekan organisasi militan ini. Pecahnya perang baru tidak diyakini dan kepungan internasional terhadap Hizbullah adalah cerita lama yang sudah diantisipasi secara baik.
3. Pandangan Pihak Ketiga
Aktor regional dan internasional mempunyai perspektif yang amat berbeda dalam menilai perang musim panas lalu. Iran dan Syria sejak dini sudah merayakan penampilan Hizbullah. Keduanya menyadari sikap ini tidak diterima oleh semua orang. Iran mengandalkan arsenal Hizbullah untuk mencegah AS menyerang fasilitas nuklirnya. Bertambahnya otoritas UNIFIL telah mengurangi resuplai senjata Hizbullah. Sementara Resolusi DK PBB 1701 relatif merupakan setback bagi Syria. Resistensi Hizbullah merupakan capaian positif bagi Teheran dalam berkompetisi dengan AS. Selain itu, popularitas Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah semakin mencolok - terutama di kalangan Sunni - lebih jauh, merupakan ideological inroad di dunia Arab.
Damaskus puas dengan sekutunya di Lebanon telah menunjukkan kekuatan. Bagi Syria, perang ini telah mengubah peta politik Lebanon, Hizbullah menang dan koalisi “14 Maret” terbenam dan semestinya pemerintah merefleksikan kenyataan yang ada.
Sebaliknya, AS dan sekutunya memanfaatkan Resolusi DK PBB 1701 untuk mengajukan prioritasnya. Tidak dilucutinya senjata Hizbullah tidak dapat lagi ditolerir sebagai kenyataan. Washington berharap kemenangan Israel belum terealisir selama Hizbullah belum dibubarkan. Namun outcome perang ternyata negatif. Resolusi DK PBB 1701 merupakan prinsip dasar yang sudah ditekankan oleh Amerika Serikat agar segera terealisir. Sasarannya adalah melucuti senjata Hizbullah dan menegaskan wilayah antara Sungai Litani sampai ke perbatasan adalah kekuasaan UNIFIL dan LAF.
Kesimpulan
Implementasi Resolusi DK PBB 1701 masih merupakan barometer dari itikad masyarakat internasional dan pihak-pihak yang bertikai di lapangan untuk bergerak maju menuju perdamaian. Seperti dinyatakan oleh Sekjen PBB, komitmen baru ini harus didukung dengan bantuan tidak hanya bagi Lebanon dan Israel, namun bagi kawasan Timur Tengah yang lebih luas.
Meskipun UNIFIL dibatasi dalam menjalankan mandatnya, pasukan UNIFIL menggunakan upaya terbaiknya untuk membatasi konflik yang terjadi, memberikan kontribusi bagi terwujudnya stabilitas di kawasan dan melindungi penduduk di kawasan dari dampak buruk terjadinya kekerasan. Meskipun menghadapi situasi dan kondisi tersebut, Dewan Keamanan PBB telah berulang kali memperpanjang mandat UNIFIL berdasarkan permintaan dari Pemerintah Lebanon dan rekomendasi dari Sekretaris Jenderal PBB.
Meski demikian, banyak tuduhan dilayangkan kepada UNIFIL sebagai perpanjangan tangan AS di Lebanon dengan menghendaki pelucutan senjata bagi tentara Hizbullah.
Terlepas dari berbagai komentar mengenai keberadaan UNIFIL di Lebanon, ternayata keberadaannya ampuh menstabilkan keamanan untuk jangka waktu yang cukup lama. Pasukan Israel beberapa kali sudah menarik diri dari Lebanon, namun ketika ketegangan meningkat, kawasan Lebanon menjadi ajang pertempuran pihak-pihak yang memiliki kepentingan di negeri penghasil minyak zaitun tersebut.
Fungsi Nuklir Itu Sendiri Dalam Krisis Misil Kuba
Pada 22 Oktober 1962, John F Kennedy tampil di televisi nasional mengumumkan bahwa Soviet telah menempatkan nuklir di Kuba. Dengan nada yang dramatis, berdasar foto pengintaian dari CIA tentang peletakan nuklir. Duta besar Adlai Stevenson kemudian mempresentasikan hal ini ke PBB, telah datang di tengah-tengah masa 13 hari paling berbahaya dalam sejarah dunia. Kennedy mengumumkan sebuah blokade laut dari pulau dan memperingatkan konsekuensi dari perang nuklir di seluruh dunia yang bahkan buah-buah kemenangan akan menjadi abu di mulut kita .
Setelah invasi teluk Babi, Castro menjadi semakin yakin kalau AS tidak akan menghentikan usahanya menghancurkan revolusinya. Khrushchev, untuk bagiannya, menginginkan untuk mencobai keberanian Kennedy dan menyiapkan sebuah serangan psikologi dan strategi penyeimbangan untuk penggelaran rudal AS ditujukan pada Rusia dari pangkalan-pangkalan Amerika di Turki dan Italia. Untuk mengulur-ulur waktu untukmencapai kesepakatan, AS memblokade perairan Kuba untuk mencegah pengiriman material lebih lanjut dari Soviet. Meski pihak berwenang Kuba menilai pergerakan ini sebagai sebuah tindakan perang oleh Imperialis AS, banyak lagi yang dipertaruhkan daripada nasib sebuah pulau kecil. Antara 22-28 Oktober, gedung Putih dan Kremelin memainkan kartu startegis. Militer kedua Negara melakukan agitasi untuk memancing terjadinya serangan, pihak AS di udara, dan Soviet di darat. Di titik ini, Castro yakin serangan yang massif sudah dekat, dia menulis surat kepada Khrushchev bahwa harus dibuat sebuah tindakan pendahuluan untuk membuat AS menyerang Soviet, satu langkah yang mungkin adalah Soviet mendahului dengan menembakkan rudal pertama.
Ketegangan mencapai puncaknya ketika Soviets menembak jatuh pesawat pengintai U-2 yang terbang mengelilingi Kuba pada 26 Oktober, ini adalah hari paling berbahaya dalam krisis ini .
Makalah ini khusus menjawab bagaimana peran senjata nuklir itu sendiri dalam krisis misil Kuba? Apakah dia digunakan sebagai alat untuk meraih kemenangan dalam perang nuklir antara dua blok? Ataukah nuklir hanya sekadar media untuk tujuan-tujuan lain? Apa saja kepentingan di balik krisis misil Kuba ini?
Realisme Klasik
Dalam makalah ini, penulis akan menggunakan paradigma neorealis untuk menganalisis kasus ini. Karena, pada saat terjadinya krisis misil Kuba, sistem dunia adalah bipolar, sebuah sistem yang diyakini oleh kaum neorealis sebagai sistem keamanan internasional paling ideal. Namun, untuk memahami filosofi dasarnya, penulis sengaja menyertakan pemikiran realism klasik sebagai fondasi dasar neorealisme.
Pendekatan Realis adalah pendekatan yang dominan berkembang pada masa perang dingin. Realis menggambarkan hubungan internasional sebagai pergumulan untuk meraih kekuasaan di antara kepentingan nasional negara-negara dan digeneralisasikan sebagai pendekatan yang pesimistik dalam menghapuskan konflik dan perang.
Pendekatan ini mendominasi pada masa perang dingin karena realis memberikan penjelasan yang simpel, tetapi dengan penjelasan yang powerful tentang perang, aliansi, imperalisme, rintangan dalam berkerjasama dan fenomena masalah internasional lainnya. Dan dikarenakan untuk memberikan penekanan terhadap kompetisi. Realis secara konsisten terus menyoroti perseteruan antara AS dan Uni Soviet .
Pendekatan Realis klasik yang dipelopori oleh Hans Morgenthau dan Reinhold Niebuhr, percaya bahwa negara seperti halnya manusia, memiliki sifat dasar untuk mendominasi satu sama lain, yang akhirnya berujung pada perang. Morgenthau menarik kesimpulan bahwa sistem dunia multipolar merupakan bentuk terbaik dari balance of power suatu sistem, sedangkan rivalitas antar dua kekuatan (bipolar) merupakan suatu sistem yang berbahaya.
Realisme klasik memandang sifat negara tak ubahnya sifat dasar manusia yang pada dasarnya mau menang sendiri (selfish) dan serakah. Realisme klasik melihat individu (pria dan wanita) secara alami adalah binatang politik. Mereka dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan untuk memperoleh hasil dari kekuasaan. Manusia adalah animus dominandi (haus akan kekuasan), demikian kata Morgenthau .
Bagi kaum realis, negara (state) adalah aktor utama dalam hubungan internasional, sekaligus menekankan pada hubungan antarnegara (interstate relations). Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal (unitary) dan rasional. Maksudnya adalah bahwa dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara, sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal .
Pemikiran realisme klasik ini mendapat tantangan dari seorang bernama Neal Kenneth Waltz (lahir 1924) dari Columbia University. Waltz menjadi sangat terkemuka di dalam ilmu Hubungan Internasional dengan teori neorealisme atau realisme strukturalnya. Meski demikian, Waltz sependapat dengan realisme klasik di mana konsep kedaulatan negara masih menjadi aspek normatif.
Anarki
Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat anarki karena memang struktur internasional yang terdiri atas negara-negara yang berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Karena lahir merevisi realisme klasik, neorealisme memandang aktor-aktor kurang begitu penting sebab struktur anarki inilah yang memaksa mereka beraksi dengan cara-cara tertentu. Struktur atau sitem internasional beserta efeknya, pada dasarnya adalah faktor utama yang menentukan tindakan.
Dalam buku Man, the State, and War, Waltz mendefinisikan anarki sebagai sebuah kondisi atas kemungkinan untuk atau penyebab yang memungkinkan terjadinya perang, memperdebatkan bahwa “perang terjadi karena tidak ada yang mencegahnya”. Anarki mungkin bertahan karena Negara-negara ingin mempertahankan sifatnya yang otonom. Hal ini yang pada akhirnya menjadikan kritik Alexander Wendt –seorang konstruktivisme– terhadap Waltz. Anarki menurut Wendt adalah apa yang negara-negara buat sendiri .
Waltz berpendapat perhatian mendasar Negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup. Ia juga menganggap bahwa masalah utama konflik Negara berkekuatan besar adalah perang, dan tugas utama hubungan internasional –di anatara Negara-negara berkekuatan besar– adalah perdamaian dan keamanan .
Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan.
Fungsi Dasar Negara Sama
Bentuk dasar struktur hubungan internasional menurut Waltz adalah anarki yang tersebar di antara negara-negara. Negara-negara, serupa dalam semua fungsi dasarnya –disamping perbedaan budaya, ideologi, atau konstitusi, atau personal, mereka harus menjalankan tugas-tugas dasar yang sama. Semua negara harus mengumpulkan pajak, menjalankan kebijakan luar negeri, dan sebagainya.
Karena sifatnya yang sama-sama berdaulat, maka menurut Waltz, masing-masing Negara secara formal “sama terhadap yang lain. Tidak ada yang berhak memerintah, tak ada yang perlu dipatuhi”. Dalam hal ini, norma tentang kedaulatan negara seimbang. Bagi Waltz, semua negara adalah sederajat hanya dalam arti legal-formal. Mereka tidak sederajat, bahkan jauh berbeda dalam hal isi atau material.
Fungsi Negara dalam hubungan internasional adalah untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, juga menjadi salah satu kajian Waltz. Bedanya, jika Morgenthau percaya bahwa para pemimpin Negara merasa wajib melaksanakan kebijakan luar negerinya dengan mengacu pada petunjuk yang digariskan oleh kepentingan nasionalnya, maka hipotesis neorealisme Waltz berkata bahwa setiap pemimpin akan selalu melakukan hal itu secara otomatis.
Konstalasi Dunia Dilihat dari Power
Waltz dalam bukunya The Theory of International Politics (1979) memberikan penjelasan ilmiah tentang sistem politik internasional. Pendekatannya dipengaruhi oleh model ekonomi positivis. Teori terbaik dalam Hubungan Internasional menurut Waltz, memfokuskan dirinya pada struktur sistem, pada unit-unitnya yang saling berinteraksi, dan pada kesinambungan dan perubahan dalam sistem .
Bagi Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, setiap kekuatan itu mencari cara untuk tetap hidup. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki (tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain), setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing.
Waltz beragumen bahwa kondisi ini akan menjadikan negara yang lebih lemah menjadi kekuatan penyeimbang (tidak hanya sekedar mengikuti negara yang kuat saja) bagi negara rival yang lebih kuat. Hal ini juga berarti tugas negara-negara kuat adalah menjaga perdamaian dan kemanan dunia. Bertentangan dengan asumsi Morgenthau, Waltz mengklaim bahwa sistem bipolar lebih stabil daripada multipolar .
Negara-negara sangat berbeda hanya mengacu pada kapabilitas mereka yang sangat beragam. Mengutip Waltz, unit-unit negara dari sistem internasioanal “dibedakan khususnya oleh besar atau kecilnya kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas yang serupa… struktur suatu sistem berubah seiring dengan perubahan dalam distribusi kapabilitas antar unit-unit sistem”. Dengan kata lain, perubahan internasional terjadi ketika Negara-negara besar muncul dan tenggelam, dan dengan demikian kekuatan akan bergeser. Alat-alat yang khas dari perubahan itu adalah perang negara-negara berkekuatan besar .
Negara berkekuatan besar tentu saja akan lebih menentukan dalam pembuatan dan perubahan sistem internasional. Negara-negar berkekuatan besar adalah mereka yang mengatur sistem internasional. Waltz memahami, Negara-negara berkekuatan besar memiliki kepentingan besar terhadap sistem itu. Untuk itu, dia menilai ketertiban internasional lebih mungkin dicapai melalui sistem bipolar.
Waltz membedakan anatara sistem bipolar saat Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan sistem multipolar –yang terjadi baik sebelum dan sesuadah Perang Dingin. Waltz yakin, bahwa sistem bipolar lebih stabil dan karenanya menyediakan jaminan perdamaian dan keamana lebih baik dibandingkan dengan sistem multipolar.
Mengapa sistem bipolar dikatakan lebih stabil dibandingkan multipolar? Menurut Waltz, sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan stabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif sebab lebih sedikit Negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah. Dengan kata lain, dua super power akan bersaing terus menerus, saling mengoreksi satu sama lain .
”Hanya dengan dua negara berkekuatan besar, keduanya dapat diharapkan bertindak untuk memelihara sistem” kata Waltz .
Strategi Persenjataan Nuklir
Sistem bipolar yang diyakini Waltz lebih menjamin dunia lebih aman harus didukung oleh nuklir sebagai senjata yang mampu menjamin kemanan yaitu karena fungsinya sebagai senjata penghancur missal, yang tentu saja berbeda dengan senjata konvensional modern lain yang dikembangkan setelah perang Napoleon. Tema sentral yang dikembangkan dari Barat adalah konsep penangkalan (deterrence). Inti dari pemikiran tersebut adalah senjata nuklir akan digunakan dengan tujuanmembalas atau serangan lebih awal lawan di mana pembalasan yang akan ditimbulkan tidak sebanding dengan tujuan politik yang ingin dicapai pihak lawan melalui serangan pertama. Karena itulah, senjata nuklir lebih diarahkan untuk serangan kedua karena sifat penangkalannya. Konsep deterrence juga berlandaskan pola doktrin yang dianut Barat yaitu mutual assured destruction yang diartikan sebagai bila terjadi perang nuklir maka kedua belah pihak akan hancur. Karena itulah pengembangan persenjataan nuklir kemudian juga lebih diarahkan kepada tujuan politis daripada tujuan militer secara murni yaitu kemenangan dalam pertempuran. Senjata nuklir kemudian juga digunakan dalam tawar-menawar di bidang politik. Namun, pemikiran itu baru diterapkan AS dab sekutunya ketika mereka tidak memonopoli teknologi tersebut.
AS terkejut dengan keberhasilan Soviet pada masa perang dingin berhasil dalam uji coba senjata balistik antarbenuanya pada 1949 yang diikuti dengan kesuksesan meluncurkan satelit Sputnik pertama pada 1957. Keberhasilan tersebut mengakhiri monopoli kekuatan nuklir AS pad atahun 1945 sekaligus menjadi dasar kepercayaan Uni Soviet untukmengembangkan kekuatan persenjataan nuklir secara besar-besaran hingga mampu bersaing secara ketat dengan AS pada era 60-an dan justru menunjukkan paritas lebih unggul pada dasawarsa 70-an.
Pada saat krisis misil Kuba terjadi, baik di AS maupun Soviet, sama-sama sedang mengembangkan persenjataan nuklirnya. AS meninggalkan starategi massive retaliation (pembalasan secara besar-besaran) yang pada prinsipnya selain digunakan sebagai fungsi penangkalan serangan nuklir terhadap AS, namun juga menangkal setiap bentuk penggunaan kekerasan oleh Negara-negara komunis terhadap Negara lain di dunia.
Strategi tersebut ditinggalkan karena alasan moral dan etik yang mengemuka serta tidak adanya rincian alasan atau dasar yang jelas mengenai kapan nuklir ini akan digunakan. AS kemudian menganut strategy flexible response yang menitikberatkan pada asa keluwesan AS dalam menghadapi ancaman-ancaman keamanan dengan cara menangkal semua bentuk perang baik total maupun terbatas baik nuklir maupun konvensional.
Doktrin yang digunakan adalah counterforce pada tingkat strategis. Doktrin ini menyasar langsung kekuatan militir Soviet dan menjauhkan serangan dari pusat kota yang merupakan pemukiman padat penduduk. Dengan demikian, jumlah korban dari sipil dapat dikurangi. Namun, kelemahan doktrin ini adalah masih menyalahi prinsip mutual assured destruction karena doktrin counterforce masih menggunakan jalan penyerangan pertama. Kemudian, target diarahkan menjadi countervalue yang dihubungkan dengan penyanderaan penduduk dan kota-kota serta kemampuan perekonomian Soviet untuk dihancurkan.
Flexible response menumpukan dirinya pada dua pemikiran dasar. Pertama, dibutuhkan suatu kekuatan nuklir strategis yang memadai guna menangkal kekuatan nuklir Uni Soviet yang sengaja melakukan serangan dengan persenjataan terhadap AS dan sekutunya. Dengan ini, ketangguhan penangkalan terletak pad aprinsip mengenai kehancuran yang meyakinkan (assured destruction) yaitu kemampuan untuk tetap memiliki sejumlah persenjataan strategis yang dapat diandalkan untuk melakukan perlawanan dengan tingkat kerusakan yang dapat diterima bahkan setelah diserang terlebih dahulu. Kedua, karena sifatnya sebagai penangkal, maka penggunaan nuklir harus menjadi jalan terakhir yang bisa ditempuh strategi ini, meski juga harus menangkal serangan yang sifatnya bukan dari nuklir.
Dalam rangka memperkuat startegi ini, AS telah membangun kekuatan strategisnya secara cepat terutama untuk rudal-rudal antabenua dan landas laut. Demikian juga sistem pertahanan antirudal (Anti Ballistic Missile) mengingat Soviet telah melakukan pembangunan besar-besaran di bidang senjata nuklir.
Analisa
Menggunakan paragima neorealis di mana sistem bipolar yang diyakini bisa menjamin sistem kemanan internasional lebih stabil dan melihat bagaimana staregi nuklir digunakan bukan sekadar untuk mencapai kemenangan dalam peperangan melainkan nuklir digunakan demi tujuan-tujuan politik lain, maka kasus krisis misil Kuba ini mudah dibaca cerita akhirnya.
Perang nuklir pun urung terjadi. Pengiriman nuklir Soviet ke Kuba ditujukan bukan untuk tujuan menyerang AS, melainkan sebagai pertahanan Kuba, atau setidaknya bagi Soviet sendiri sebagai dalih demi penyelamatan kepentingan ideologi komunis di Kuba. Namun demikian, AS tetap menganggap senjata-senjata yang dikirim Soviet adalah offensive weapons.
Pada suratnya tanggal 24 Oktober 1962, Nikita Khrushchev terang-terangan menantang Kennedy untuk berfikir dalam cara pandang yang sama, di mana AS tidak bisa melakukan pengehentian pengiriman nuklir di Kuba begitu saja jika dia masih menempatkan rudalnya di Italy, Inggris dan Turki.
Our purpose has been and is to help Cuba, an no one can challenge the humanity of our motives aimed at allowing Cuba to live peacefully and develop as its people desire. You want to relieve your country from danger and this is understandable. However, Cuba also wants this. All countries want to relieve your country from danger. But how can we the Soviet Union and our government, assess your action which, in effect, mean that you have surrounded the Soviet Union with military bases, surrounded our allies with military bases, set up military bases literally around our country, and stationed your rocket weapons at them? This is no secret. High-placed American officials demonstratively declare this. Your rockets are stationed in Britain and in Italy and pointed at us. Your rockets are stationed in Turkey .
Dari pernyataan ini, jelas pihak Kremelin membenturkan apa yang dilakukan AS dengan ancamannya ditanggapi dengan sebuah tantangan ungtuk mau mengoreksi kebijakannya sendiri. Kemudian, Khrushchev melanjutkan penawarannya yang cukup jelas dalam surat tersebut;
We agree to remove those weapons from Cuba which you regard as offensive weapons. We agree to do this and to state this commitment in the United Nations. Your representatives will make a statement to effect that the United States, on its part, bearing in mind the anxiety and concern of the Soviet state, will evacuate its analogous weapons from Turkey. Let us reach an understanding on what time you and we need to put this into effect .
Kennedy akhirnya menanggapi tawaran Soviet;
As I read your letter, the key elements of your proposals--which seem generally acceptable as I understand them--are as follows:
1. You would agree to remove these weapons systems from Cuba under appropriate United Nations observation and supervision; and undertake, with suitable safeguards, to halt the further introduction of such weapons systems in to Cuba. 2. We on our part, would agree--upon the establishment of adequate arrangements through the United Nations to ensure the carrying out and continuation of these commitments--(a) to remove promptly the quarantine measures now in effect and (b) to give assurances against an invasion of Cuba. I am confident that other nations of the Western Hemisphere would be prepared to do likewise .
Pada akhir Oktober, Soviet dan AS memotong kesepakatan satu sama lain kembali pada perundingan meninggalkan Havana. Tanpa menginformasikan pihak Kuba dalam perencanaannya, Soviet setuju untuk mengembalikan rudalnya sementara AS juga mencabut rudalnya di Turki. Sisi lain perundingan yang menarik adalah, Khrushchev meminta dengan hormat kepada AS untuk menghentikan kekerasan di perbatasan dan menghargai kedaulatan Kuba serta berjanji untuk tidak menginvasi Kuba .
Intinya, Kennedy sepakat untuk tidak menginvasi Kuba, tidak akan melemahkan pemerintahan Castro. Selain itu, Amerika Serikat dan Soviet tidak memedulikan pemerintah Castro, serta menetapkan "Lima Poin" untuk mencegah krisis seperti di masa mendatang: sanksi ekonomi, mengakhiri kegiatan rahasia, mengakhiri semua serangan udara, mengakhiri semua perkelahian di atas wilayah udara Kuba, dan kembalinya pangkalan angkatan laut Guantanamo .
Akhir krisis ini membawa kelegaan. Bagi Kennedy, adalah sebuah momentum politik yang dasyat dan penguatan geopolitik. Di mana, Kennedy sukses dalam mengusir Soviet untuk memulangkan rudalnya. Bagi Soviet, juga demikian, dia bisa mengkaliam kemenangan melawan AS dengan melucuti nuklirnya di Turki. Sementara, bagi Fidel Castro, dia hancur dalam menemukan posisinya sendiri, dia digunakan sebagai alat dalam Perang Dingin, pergi tanpa suara dalam resolusi konflik .
Kesimpulan
Krisis misil Kuba yang menjadikan dunia berada di ujung tanduk perang nuklir lewat ketegangan 13 hari di bulan Oktober 1962 membuktikan bahwa dua Negara superpower tidak mudah bagitu saja menggunakan kekuatan nuklirnya. Mereka menyadari sebagai Negara yang memiliki teknologi nuklir, justru memegang kunci penting dalam menjaga perdamaian dunia. Di titik ini, neorealis yang melihat sistem bipolar akan lebih stabil untuk menjaga keamanan internasional terbukti benar.
Jalan damai yang ditempuh Khrushchev dan Kennedy melalui korespondensi surat-menyuratnya membuktikan kembali kekuatan neorealis yaitu meski mereka bisa saja dengan mudah menggunakan kekuatan nuklirnya karena situasi yang sudah sangat mendesak disertai dengan ancaman dari kedua belah pihak, ketegangan dan gesekan sudah semakin mencapai titik kulminasi paling tinggi, tetap saja, aktor-aktor tersebut adalah aktor yang rasional. Mereka pasti belajar dari pengalaman Hiroshima dan Nagasaki serta menghitung dengan cermat resiko apa yang akan terjadi ketika mereka menuruti emosi sesaat baik di pihak AS maupun di pihak Soviet yang terus disulut oleh Castro.
Menurut John Mueller dalam tulisannya Deterrence, Nuclear Weapons, Morality, and War, dia ikut mempopulerkan istilah deterrence by reward atau positive deterrence .
Apa yang terjadi selama krisis misil Kuba, nuklir kedua belah pihak digunakan untuk mendapatkan reward dari masing-masing pihak. Kepentingan AS adalah menyingkirkan misil-misil dari Kuba yang jaraknya hanya 90 mil dengan Miami. Sementara, hal yang sama juga terjadi di pihak Soviet, pengiriman nuklirnya ke Kuba mendatangkan berkah melimpah, yaitu dilucutinya nuklir AS di Turki, dibebaskannya Kuba dari invasi militer dan AS tidak diperkenankan mencampuri lagi urusan rumah tangga Kuba. Kedua belah pihak mengklaim hal ini sebagai sebuah kemenangan yang gilang-gemilang.
Sementara Kuba adalah pihak yang pada akhirnya menelan pil pahit karena tujuan nasionalnya mendapat dukungan penuh dari Soviet dalam melawan imperialis AS menguap tanpa jejak. Sanksi dari AS berupa embargo ekonomi menjadi ‘hukuman abadi’ Kuba. Kuba menjadi alat dalam krisis misil ini bagi dua kepentingan besar superpower.
Meski demikian, Castro adalah sosok yang penuh integritas terhadap ideologi yang diyakininya benar. Dia tetap tidak tunduk dan terus tidak percaya bahwa AS tidak akan campur tangan terhadap apa yang terjadi di negaranya. Bagi Castro pilihanya cukup jelas Socialismo o Muerte (dari bahasa Spanyol: sosialisme atau mati).
Subscribe to:
Posts (Atom)