Pages

Friday, April 2, 2010

Dilema Keamanan Baru Hubungan AS-Rusia

Oleh Awigra, Lia Fauziah, dan Sabriana

Adigium yang abadi dalam politik adalah tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan. Hal ini juga berlaku dalam politik antarnegara. Paska perang dingin, ketika Pakta Warsawa membubarkan diri, eksistensi NATO seolah menemui tantangan baru. Aliansi strategis militer yang dibangunnya seolah menemui jalan buntu. NATO, terus memperbaharui dirinya. Ia perlahan-lahan mulai menarik simpati dari bekas “lawan-lawannya”.

NATO, bab baru dimulai, bab kedua dari Aliansi; sebuah bab yang bisa saja berjudul "konsolidasi Eropa". NATO mengulurkan tangan untuk Eropa Tengah dan Timur, melalui kebijakan kemitraan dan dengan membuka pintu NATO bagi anggota baru . Aliansi juga memainkan peran utama dalam melibatkan Rusia dalam peran barunya di Eropa. Amerika Serikat yang sangat menguasai NATO, memanfaatkan hal tersebut dalam beberapa kepentingan nasionalnya.

Menurut Barry Buzan dalam People, States and Fear: an Agenda for International Security Studies in the Post Cold War Era bahwa penerapan strategi keamanan suatu negara selalu memperhitungkan aspek-aspek threat (ancaman) dan vulnerability (kerentanan) negara tersebut. Selain itu, ancaman dan kerentanan merupakan dua konsep yang berbeda namun memiliki keterkaitan yang erat di dalam perwujudan keamanan nasional. Suatu ancaman terhadap keamanan nasional yang dapat dicegah akan mengurangi derajat kerentanan suatu negara pada keamanan nasionalnya. Kedua aspek dari keamanan nasional tersebut sangat ditentukan oleh kapabilitas yang dimiliki negara tersebut.

AS dan Rusia sebagai contohnya, beragam upaya yang dilakukan dari kedua pihak demi terciptanya kepercayaan untuk mengurangi timbulnya konflik mengalami jalan yang rumit. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor sejarah yang kurang harmonis di antara kedua negara ini. Sehingga, apapun yang dilakukan oleh masing-masing pihak, diperlukan keterbukaan atau transparansi yang jelas. Dalam makalah ini, penulis akan mengangkat isu kerjasama yang diupayakan AS dengan former Pakta Warsawa yaitu Polandia, dimana AS berencana menempatkan 10 penangkal rudal di Polandia serta radar pembimbing di Ceko dengan alasan sebagai bentuk antisipasi serangan rudal dari Iran dan Korea Utara, akan tetapi hal tersebut dipandang beda oleh Rusia karena dianggap mengancam keamanan negaranya. Isu ini merupakan segelintir isu yang acap kali menghambat diplomasi pertahanan AS dan Rusia.

Apa masalahnya?
Kasus penempatan sistem penangkal Misil AS di Polandia yang membuat geram pihak Rusia, dibahas dalam makalah ini dalam perspektif diplomasi pertahanan. Meliputi bagaimana strategic engagement bekerja? Apa tujuan dan kepentingan yang akan dicapai pihak AS maupun Polandia melalui kerjasama ini? Jenis-jenis kerjasama apa saja yang disepakati oleh kedua negara? Dan bagaimana respon Rusia melihat kerjasama ini?

Strategic Engagement
Secara sederhana, pengertian strategic engagement adalah kerjasama dan bantuan militer dipergunakan untuk membangun hubungan kerjasama dengan bekas musuh atau pihak yang berpotensi menjadi musuh , yang bertujuan sebagai bentuk usaha kerjasama strategis seperti bantuan militer yang mencakup pembelian alutsista, pembangunan pangkalan militer, dan pemberian security umbrella (dari satu pihak/kedua belah pihak). Selain itu juga bentuk kerja sama yang berlangsung dalam bentuk long-term relationship dan dapat berbentuk apa saja seperti diplomasi contohnya.

Strategic engagement sendiri sejarahnya tak lepas dari revolusi persenjataan atau yang sering dikenal Revolution in Military Affairs (RMA). Gagasan revolusi militer tumbuh dari Soviet sekitar 1970-an dan 1980-an, khususnya ketika dirilis serangkaian makalah yang ditulis oleh Marsekal NV Ogarkov menganalisis potensi teknologi revolusioner militer baru. Sebagai Marxis, dan Ogarkov rekannya merasa nyaman dengan ide bahwa sejarah didorong oleh revolusi. Studi-studi awal berbicara tentang "revolusi teknis militer" (MTR).

Tapi analis ini dengan cepat menemukan kekurangannya ketika terlalu membatasi pada urusan teknis dan kemudian berkembang menjadi konsep lebih holistik yaitu RMA. Seperti yang bisa diharapkan dengan ide baru, analis dari RMA belum sepenuhnya setuju pada maknanya. Futuris Alvin dan Heidi Toffler, menggunakan definisi membatasi didasarkan pada tingkat makro struktur perekonomian. Mereka menulis, “sebuah revolusi militer, dalam arti sepenuhnya, terjadi hanya ketika sebuah peradaban baru muncul untuk menantang peradaban yang lama, ketika seluruh masyarakat mentransformasikan dirinya, memaksa para angkatan bersenjata untuk mengubah pada setiap tingkat secara bersamaan-dari teknologi dan budaya untuk organisasi, strategi, taktik, pelatihan, doktrin, dan logistik. Ketika ini terjadi, hubungan militer terhadap perekonomian dan masyarakat adalah dan mengubah keseimbangan kekuatan militer di bumi .

RMA telah mengubah cara pandang banyak pakar kemiliteran mengenai peran militer dewasa ini. Hasil dari pesatnya perkembangan RMA juga dimanfaatkan oleh negara-negara core melalaui strategic engagement dengan negara periphery untuk memperluas pengaruh dan untuk mencapai kepentingan nasionalnya secara lebih luas. Sementara bagi negara periphery, strategic engagement dimanfaatkan untuk memperkuat kapabilitas pertahanan sambil memanfaatkan hubungan strategis yang terjalin, serta memperkuat kapabilitas pertahanan negara secara material. Selain membuktikan bahwa dalam politik tidak ada lawan atau kawan abadi, dan yang abadi hanyalah kepentingan, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa dunia tidak pernah sepi dari sistemnya yang anarki.

Konflik
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, negara akan terus berupaya untuk menjamin keamanan negaranya melalui hubungan kerjasama dengan negara lain seperti memberikan bantuan militer kepada suatu negara, diplomasi untuk pembelian senjata sebagai bentuk usaha pengembangan kekuatan pertahanan, dan sebagainya. Dalam penulisan makalah ini, penulis menitik beratkan hubungan kerjasama antar dua negara sebagai bentuk upaya memperkuat kapabilitas negara tersebut, yakni AS sebagai negara adidaya yang terus berusaha untuk mengembangkan pengaruh hegemoninya dibeberapa negara eks- Uni Soviet (Polandia) dengan membangun pangkalan pertahanan rudal AS di Polandia serta radar pembimbing di Republik Ceko dengan tujuan melalui sistem tersebut akan melindungi AS dan negara-negara sekutu di Eropa dari serangan sistem kerja rudal yang diluncurkan oleh Iran dan Korea Utara.

Demikian sebaliknya, bentuk dari kerjasama AS dengan bantuan NATO yang bekerjasama dengan Polandia dan Republik Ceko ini menimbulkan kekhawatiran yang sama dari pihak Rusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa kerjasama dalam bidak militer masih dianggap sensitive issue oleh beberapa kalangan karena dapat menimbulkan ketegangan maupun dilemma.

Tidak dapat dipungkiri bahwasannya setiap tindakan yang dilakukan oleh suatu negara baik dalam bentuk kerja sama dalam sektor pertahanan dengan negara lain, dapat memicu kekhawatiran pihak ketiga, apalagi pihak tersebut memiliki latar belakang yang kurang baik dengan pihak pertama. Sebagai contoh, Rusia yang bekerjasama dengan India dalam pembuatan Jet Siluman dengan sandi T-50 yang diperkirakan akan siap untuk dipakai pada tahun 2015 , memicu kekhawatiran Pakistan, serta saingan regional India yaitu China. Walaupun kerjasama tersebut belum ditentukan kapan penandatanganan kedua negara direalisasikan, akan tetapi dampak yang ada sudah diprediksi.

Upaya Diplomasi AS dalam melakukan pendekatan ke Polandia
Dikutip dari harian Polandia Gazeta Wyborcza mengatakan bahwa di awal 1990an, Amerika Serikat dan Polandia memiliki kepentingan sama, yaitu ingin menancapkan demokrasi di Eropa Tengah, sekaligus menggiring bagian timur benua ini ke dalam struktur politik dan ekonomi Eropa Barat . Polandia yang secara resmi bergabung dengan NATO di akhir tahun 1990-an, berharap agar dengan aliansi tersebut dapat memperkuat sistem kapabilitas pertahanan negaranya yang merupakan negara bekas Pakta Warsawa. Dijelaskan oleh Cottey and Forster bahwa diplomasi pertahanan merupakan bentuk dari kerjasama pada masa damai dengan menggunakan armed forces sebagai bentuk kebijakan luar negeri dan pertahanan.

Selain itu, Pemerintah AS juga sudah lama merencanakan pembangunan sistem pertahanan misil di Polandia . Perundingan yang ada selama ini terbilang cukup alot, sampai akhirnya pada tahun 2008, Polandia sepakat untuk menerima AS membangun pangkalan pertahanan rudal di negaranya dengan imbalan berupa peningkatan pertahanan udara Polandia oleh AS. Selain itu, Polandia berpandangan bahwa dengan menyetujui pembangunan ini, akan menciptakan keamanan regional. Sedangkan dari pandangan AS, AS memiliki kekhawatiran terhadap rudal Iran dan Korea yang berpotensi nuklir dapat membahayakan sistem keamanan negaranya serta negara-negara sekutu yang berada di Eropa. Pro dan kontra dari perencanaan ini memang cukup menarik perhatian pengamat politik. Polandia pun ikut dikecam telah memprovokatori goyangnya hubungan AS dan Rusia, dimana kedua negara tersebut memiliki masa lalu yang kurang harmonis.

Dari kubu Pemerintahan Ceko pun sangat antusias dalam perencanaan ini karena hal tersebut dianggap sebagai langkah penting dalam usaha mereka untuk melindungi bangsanya sebagaimana dicerminkan dalam pernyataan berikut: “This agreement is an important step in our efforts to protect our nations and our NATO allies from the growing threat posed by the proliferation of ballistic missiles and weapons of mass destruction.”

Menurut AS, dengan ditempatkannya penangkal Rudal tersebut akan melindungi AS dari kemungkinan ancaman bahaya yang ditimbulkan oleh negara-negara di kawasan Timur Eropa maupun negara-negara utara. Penempatan Rudal AS di Polandia pada hakekatnya ditujukan untuk menangkis serangan rudal dari Korea Utara dan Iran. AS juga mengantisipasi dari dampak yang mungkin ditimbukan dari pengembangan Rudal Shihab 3 Iran di kawasan Timur-Tengah. Sebagaimana yang diketahui, Iran yang dalam pandangan AS menjadi bagian dari negara-negara utara, terus meningkatkan kapabilitas pertahanannya khususnya di bidang nuklir. Rudal Shihab Iran sendiri merupakan rudal darat yang memiliki jarak tembak sejauh 1.300 km dengan kemampuan lainnya yaitu membawa sekitar 1.000 kilogram bahan peledak . Dalam contoh kasus inilah AS berusaha mengawasi perkembangan pertahanan negara lain dengan salah satunya menempatkan rudalnya di Polandia tersebut.

Walaupun demikian, diplomasi AS ini dianggap Rusia mengancam keamanan Rusia. Hal tersebut dikarenakan kerjasama ini dianggap sebagai adalah langkah strategis untuk proses cari perluasan NATO ke arah timur serta memperkuat NATO dalam mengawasi serta mengontrol penempatan dan pengerahan tentara Rusia.

Dampak Penempatan Rudal AS di Polandia
Keberatan dengan Hubungan Rusia—AS yang pasang surut sejak Uni Soviet masih berdiri sampai keruntuhannya di tahun 1990-an, memberikan dampak ketegangan baru di kawasan Eropa Timur. Dalam rangka memperluas hegemoninya, AS telah mencapai kesepakatan dengan Polandia dan Republik Ceko dalam rangka menempatkan sistem pertahanan rudalnya di kawasan tersebut. Menteri Luar Negeri AS saat itu—Condoleeza Rize—dengan Menteri Luar Negeri Polandia—Radek Sikorski—akhirnya menandatangani kesepakatan penempatan rudal tersebut.

Dampak yang dapat dipastikan dalam kesepakatan ini tentu saja mengarah kepada Rusia, yang memang sejak awal negosiasi tersebut berlangsung, merasa keberatan. Rusia merasa penempatan Rudal AS di negara eks-pakta Warsawa karena menurut Rusia, AS bertujuan memata-matai gerak-gerik Rusia dan negara di kawasan Timur lainnya khususnya dalam segi pertahanan keamanan yang dapat juga dilihat sebagai keparanoidah AS terhadap peningkatan kapabilitas pertahanan dalam persenjataan . Selain itu, dilihat dari lokasi penempatan rudal di Polandia ini juga menjadi ancaman tersendiri bagi Rusia yang dirasakan AS sedang mengepung blokade Timur terlebih Rusia sendiri karena jarak yang dekat antara Rusia dengan Polandia.

Ancaman yang lebih teknis bagi Rusia juga dikarenakan rudal tersebut dapat mengunci posisi rudal Rusia. Sebelum kesepakatan AS-Polandia ini dibuat, Rusia sebenarnya telah menawarkan AS dalam penggunaan pangkalan radar Rusia yang terletak di Azerbaijan. Pangkalan rudal ini merupakan sebuha instalasi radar peringatan dini (early warning radar). Pangkalan radar ini dapat menjangkau Iran, Turki, India, Irak dan beberapa negara lainnya. Namun AS menolak tawaran tersebut karena memiliki tujuan yang berbeda.

Tujuan yang berbeda ini direalisasikan AS dengan penempatan Rudalnya di Polandia dan hal ini menjadi jawaban AS atas tawaran Rusia tersebut. AS lebih khawatir atas kapabilitas pertahanan Rusia dan oleh sebab itu merasa “bertanggung jawab” untuk terus memantau aktivitas pertahanan di Rusia maupun di negara-negara sekitar. Kecurigaan Rusia bahwa sebenarnya penempatan Rudal AS di Polandia dan Ceko dimaksudkan untuk mengunci rudal Rusia semakin kuat karena beberapa solusi yang ditawarkannya tidak digubris oleh AS. Sejak awal, Rusia telah menawarkan pengggunaan bersama pangkalan radar milik Rusia yang ada di Azerbaijan. Pangkalan tersebut merupakan sebuah instalasi radar peringatan dini (early warning radar). Stasiun radar yang ada di pangkalan ini memiliki jangkauan 6000 km. Jangkauan tersebut mencakup Iran, Turki, India Irak dan seluruh Timur Tengah. Dengan fakta itu maka penolakan AS untuk menggunakan pangkalan tersebut telah menegaskan maksud AS yang sesungguhnya untuk memperluas hegemoninya.

Dalam kasus penempatan Rudal ini, terlihat dampaknya terhadap Rusia maupun AS sendiri yang berpontensi memunculkan “Perang Dingin jilid II”, karena pada kenyataan ketegangan hubungan antara AS dengan Rusia sendiri sangatlah berfluktuatif. Ketika Rusia mengetahui rencana AS tersebut akan direalisasikan pada tahun 2011, Vladimir Putin memberikan pengumuman kepada masyarakat dunia bahwa Rusia akan menyebar rudal-rudal di perbatasan Kaliningrad di laut Baltik yang dekat dengan Polandia. Hal tersebut dipertimbangkan oleh Barack Obama, untuk melanjutkan misi former AS president atau mengambil jalur lain. Niat baik yang dilontarkan oleh Obama dalam isu ini yaitu membatalkan perjanjian ini, demi menjaga hubungan dengan Rusia. Sehingga Rusia pun mau mencabut kembali rudal-rudal yang telah dipersiapkan diperbatasan Polandia. Oleh karena itu, Putin pada April 2007 telah mengancam akan terjadinya perang dingin baru jika Amerika tetap berkeras menyebarkan penangkal rudal di Eropa Tengah. Sebagai tambahan, sebagai reaksi atas berbagai ancaman Amerika, Putin mengancam akan menarik diri dari Perjanjian Kekuatan Nuklir (NFT-Nuclear Forces Treaty) yang ditandatangani dengan Amerika pada tahun 1987.

Selanjutnya, perbedaan yang terlihat antara Perang dingin di era Soviet dengan kasus ini adalah bagaimana Rusia terlihat lebih smooth dalam permainan diplomasinya dengan AS. Pada akhirnya pun penempatan Rudal AS tersebut telah disetujui Polandia dan Rusia tidak memiliki otoritas terhadap Polandia karena sudah bukan lagi menjadi bagian dari Uni Soviet, Namun hal ini bukan berarti tidak ada implementasi nyata yang sangat tegang dari hasil kerjasama AS—Polandia. Dampaknya menjadi menyebar kemana-mana bahkan sampai isu geo-polotik Rusia dengan Georgia dimana AS membela Georgia. Rusia namun tetap bersikap defensive tanpa meninggalkan karakter diplomasi pertahanannya yang cenderung koersif. AS pun terlihat tetap dalam posisi dibelakang layar dalam memanasnya konstelasi politik yang ditimbulkan dari penempatan rudal AS tersebut.

Pada November 2008 duta besar Rusia untuk NATO Dmitry Rogozin mengatakan “Rudal Amerika di Polandia bisa menghujani Moskow hanya dalam waktu empat detik. Dan untuk mengeluarkan Amerika dan membongkar kepalsuan klaim Amerika bahwa fasilitas rudal di Polandia dan Ceko itu untuk menangkal Iran, Rusia menawarkan kepada Amerika untuk menyebar radarnya disamping radar Rusia di pangkalan radar Rusia di Gabala, Azerbaijan dan itu lebih dekat ke Iran dari pada Polandia dan Ceko, jika memang targetnya adalah Iran” Amerika tidak menyetujuinya karena target Amerika adalah menancapkan pangkalan di Eropa Timur untuk mengancam Rusia. Dan Amerika tidak ingin Rusia ikut berkontribusi di pangkalannya sehingga pangkalan Amerika akan berada dalam pengamatan Rusia, selama targetnya adalah Rusia itu sendiri.

Kerjasama NATO dan Rusia mencakup partisipasi kapal perang Rusia dalam patroli penangkalan terorisme di Laut Mediterania dengan saling menukar keahlian memerangi penyelundupan heroin keluar Afganistan.

Georgia
Dari konflik yang ditenggarai keinginan AS dalam menempatkan rudalnya di Polandia ini eksesnya menjadi terbawa pada konflik politik antara Georgia dengan Rusia dalam memperebutkan Ossetia selatan dan wilayah Abkhazia. Sebelumnya dalam aspek historis, Rusia memang telah besitegang dengan Georgia terkait dengan masalah kemerdekaan dari Pengaruh Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet dan keinginan Georgia sendiri untuk bergabung dengan NATO.

Secara otonomi, Rusia masih memiliki pengaruhnya di kawasan Georgia terkait dengan Ossetia selatan dan wilayah Abkhazia yang terletak tidak jauh dari desa Tsitelubani. Desa tersebut disinyalir sebagai tempat dimana pesawat-pesawat tempur Rusia mematai-matai kedua wilayah itu. Di Ossetia selatan dan di wilayah Abkhazia sendiri sejak 1990 memang telah terjadi konflik otonomi terkait berdasarkan etnik suku. Ditambah dengan kejadian tahun 2007 ketika dua pesawat tempur Rusia jenis SU-24 yang tertangkap radar Georgia sedang terbang di atas permukaan wilayah Georgia sendiri menambah konflik yang memang telah ada sejak Uni Soviet masih berdiri.

Dalam memandang Ossetia selatan dan wilayah Abkhazia, masing-masing dari Georgia dan Rusia memiliki pandangannya sendiri. Georgia menganggap konflik ini lebih menekankan pada sisi politiknya dengan Rusia sedangkan Rusia sendiri memandang bahwa masalah ini adalah konflik antar-wilayah. Presiden Georgia—Mikhail Saakashvilii—mencoba berdiplomasi dengan Rusia untuk mencari solusi atas konflik tersebut. Presiden Rusia, yang dijabat Vladimir Putin saat itu, menyatakaan bahwa sebenarnya Rusia tidak menginginkan kedua daerah itu karena wilayah Rusia sendidi sudah sangat luas. Namun realita yang terjadi adalah bahwa Amerika ada mencamuri konflik ini dengan mendukung Georgia. Hal ini dapat memunculkan “war by proxy” dimana Amerika menjadi dalang atas memanasnya konflik tersebut.

Dari gambaran ekses yang terjadi di atas antara Georgia—Rusia, tidak heranlah ketika Amerika berencana menaruh Rudalnya di Polandia mengakibatkan dampak yang meluas yang tidak dapat dipungkiri menjadi pelebaran konflik antara dua negara hegemoni ini. Selain itu masalah pipa gas Rusia yang banyak menyumbangkan kehidupan di Eropa Barat juga menjadi salah satu faktor yang akhirnya membatalkan rencana Amerika di balik label NATO untuk meletakkan rudalnya di Polandia tersebut.

Kesimpulan
Strategic engagement bisa terwujud jika ada terjalin CBMs serta transparansi yang jelas bagi semua pihak yang terlibat dalam bentuk kerjasama, terutama yang menyangkut dengan militer dan persenjataan. Diplomasi pertahanan sebagai bentuk dari strategic engagement pun dianggap penting bagi para aktor (states) dikarenakan keamanan dan ancaman yang ada di era globalisasi sudah berubah total dan sulit untuk diprediksi. Sehingga, jika sebuah negara menginginkan kestabilan dalam sektor pertahanan dan keamanan negaranya, negara tersebut harus mampu menjamin negaranya jauh dari ancaman baik eksternal maupun internal. Tantangan yang ada dalam strategic engagement berupa kekhawatiran akan adanya kecurangan yang akan dilakukan oleh pihak lain, masih terus diperdebatkan. Karena tidak dapat dielak lagi jika ada sebuah negara mampu mengancam (threat) negara lain, maka negara tersebut sudah mampu mempertahankan kapabilitas pertahanan negaranya.

Strategic engagement antara AS-Rusia dalam konteks pembangunan pangkalan pertahanan rudal AS di Polandia serta radar pembimbing di Republik Ceko dengan tujuan melalui sistem tersebut akan melindungi AS dan negara-negara sekutu di Eropa dari serangan sistem kerja rudal yang diluncurkan oleh Iran dan Korea Utara, membuat dilema keamanan baru hubungan AS-Rusia pasca Perang Dingin. Dilema itu muncul ketika AS ingin memperluas pengaruhanya di kawasan Eropa Tengah dan Timur dengan memberi paket bantun militer ke Ceko dan Polandia dengan imbalan dibangunnya pangkalan rudal AS. Hal ini membuat Rusia tidak bisa tinggal diam karena dengan rencana tersebut keamanan dan kepentingan nasionalnya terancam di Eropa Tengah dan Timur. Meski Rusia tidak memiliki otoritas langsung untuk mengintervensi pilihan Ceko dan Polandia menerima paket bantua AS, tetap saja Rusia memiliki cara untuk melakukan diplomasi meski harus menggunakan unsur pemaksaan (coercive). Nuklir kembali membuktikan dirinya sebagai alat diplomasi ampuh. Ancaman Perang Dingin Jilid II dilayangkan jika rencana ini diteruskan.

Dengan pergantian presiden dari Bush ke Obama yang lebih defensive, perjanjian itu akhirnya dibatalkan dengan pertimbangan smart power yang AS usung sebagai politik luar negerinya yang lebih bersahabat dan diharapkan dapat menjangkau semua pihak bahkan yang dianggap musuh sekalipun.

gambar: http://www.opfblog.com/wp-content/uploads/2009/07/OABAMA-RUSSIA-3.jpg

No comments: