Pages

Thursday, April 8, 2010

Keluar Mulut Singa, Masuk Rahang Buaya

Perjalanan pulangku dari Banjarmasin menuju Jakarta pada 23 September 2009 menyisakan sebuah cerita. Miris. Ini adalah fragmen atas gambaran kondisi penerbangan sipil di tanah air. Ibarat keluar mulut singa, masuk rahang buaya.

Bandara Syamsudin Noor masih lengang ketika embun pagi kota Banjarmasin belum juga mengering. Untuk menghangatkan badan, aku memesan segelas capucino di kafe yang berada tepat di depan pintu masuk bandara. Dari sana aku liat, orang-orang berpamitan dengan para pengantar. Ada beberapa pemandangan perpisahan yang mengharukan. Seorang anak kecil yang mungkin harus pergi ke suatu tempat diantar oleh beberapa orang yang aku duga adalah kedua orangtua dan saudara-saudara kandungnya. Cium dan peluk sepasang kekasih yang mungkin tidak mengingingi momen perpisahan, dan berbagai pemandangan ‘upacara’ perpisahan lainnya telanjang aku nikmati.

Tepat pukul 6 pagi Wita, aku mengantri untuk check-in di loket Batavia Air. Aku dilayani oleh seorang bernama Ali Rusli. Dia menginformasikan kalau pesawatnya rusak. Sementara spare parts-nya menunggu dikirim dari Jakarta. Dan penerbangan pun dibatalkan. Aku diminta ke loket untuk mendapatkan uang ganti sejumlah harga tiket. Dan aku direkomendasikan oleh petugas itu untuk berangkat dengan menggunakan pesawat dari maskapai Lion Air.

Memang, petugas itu membantuku untuk memesan sebuah tempat di maskapai itu. Namun, pihak Batavia awalnya tidak mau mengganti selisih harga antara Batavia dan Lion. Sehingga aku harus menanggung selisih biaya itu. Aku menolak tawaran Ali! Aku tetap dalam posisiku tetap meminta pihak Batavia menanggung seluruh ongkos perjalananku ke Jakarta. Logikanya, aku telah memepercayakan penerbanganku dengan Batavia, dan ketika ada kerusakan pada pesawat Batavia, mengapa aku harus menanggung sendiri akibat dari kerusakan itu? Kutolak penawaran pihak Batavia. Aku tetap meminta tiket ganti tiket. Tidak peduli mau bagaimana caranya.

Beberapa penumpang lain menerima saja tawaran itu. Ada yang langsung mencairkan tiket mereka dengan uang, ada yang menerima informasi lanjutan dari pihak Batavia, tentang kapan pesawat itu akan diterbangkan. Ada juga yang merasa beruntung dengan gagalnya penerbangan hari itu.

Kekisruhan sempat juga terjadi di pagi naas itu. Aku mengajak seorang penumpang lain yang juga merasa dirugikan terus menuntut pertanggungjawaban dari pihak Batavia. Aku sendiri jujur tidak mau berurusan dengan Ali. Aku tahu, dia hanya orang yang dipakai Batavia untuk pasang badan. Aku meminta Ali untuk mempertemukanku dengan orang yang paling bertanggungjawab atas situasi ini. Aku paham, posisi Ali yang menurut pengakuannya sebagai pegawai rendahan yang tidak bisa membuat keputusan. Tapi, aku mulai menjadi berang ketika Ali mengatakan kalau managernya tidak ada di tempat. Jujur aku mulai curiga.

Aku dan Ari Asmoyo –kuketahui lebih lanjut, dia adalah seorang karyawan yang bekerja di kawasan Mega Kuningan Jakarta, sepakat untuk memberikan ‘pelajaran’ untuk Batavia dan rekan-rekan sesama penumpang lain yang terkesan lebih pasrah dan mengalah.

Ke mana pun Ali pergi, kubuntuti dia. Dia tampak clingusan. Sesorang di ujung telepon, berbicara ke Ali. Aku yakin, orang di ujung telepon itu adalah manusia yang kucari. Ali berusaha menutup-nutupi mulutnya. Dia tak mau aku tahu apa isi pembicaraannya. Sesaat aku mendengar dia berbisik, “Iya, cuma dua orang saja kok!”

Tak lama, wajah Ali tampang sumringah. Dia mengajak aku dan Ari, berunding di salah satu pojok bandara. Dia membawa kabar baik buat kami berdua. Orang di ujung telpon mau menanggung selisih harga tiket. “Tapi, jangan bilang-bilang yang lain yah!” pesan Ali. Aku dan Ari hanya beradu pandang.

Setelah tiket Lion Air kami terima dari Ali, kuucapkan terima kasih kepadanya. Kemudian, aku pergi ke salah satu lounge di bandara. Dia mentraktirku. Pagi itu, dua kali akusarapan makanan ringan. Di sana, kita membahas apa yang baru saja terjadi.

Ari menilai janggal peristiwa ini. ”Mengapa pihak Batavia tiada berani memunculkan batang hidungnya yah?” tanyanya memulai.

“Aku rasa ini peristiwa biasa.”

“Maksudnya?”

“Tolong-menolong antarmaskapai! Alasannya sederhana saja, sepi penumpang. Terus dibilang rusak. Kalau sudah rusak, mau gimana? Penumpanglah akhirnya yang dikorbankan. Dia harus menanggung sendiri selisih harga tiket,” komentarku menduga-duga.

Akhirnya, kami sepakat pada kesimpulan ini. Entah benar atau salah. Intinya, kami tidak mau percaya begitu saja apa alasan yang diberikan oleh pihak maskapai. Karena, seharusnya bukan orang semacam Ali yang bisa menentukan jadwal keberangkatan dan penundaan keberangkatan pesawat. Apakah tidak ada engineer yang bertugas pagi itu? Kalau benar rusak, masa iya Ali dan pihak Batavia lain tidak tahu apa kerusakannya? Benar kata Ari. Janggal!

Tak berselang lama, seorang petugas memanggil melalui alat pengeras suara supaya penumpang Lion lekas masuk ke pesawat. Kami pun bergegas segera. Saat pesawat sedang berjalan lambat menuju ke landasan pacu utama sebelum take off, tiba-tiba mesin pesawat Lion mati mendadak. Semua penumpang panik. Tiada informasi dari kapten pesawat mengenai peristiwa ini. Hal ini membuat kondisi semakin runyam. Hal ini membuat geram salahseorang bapak dan dengan emosi dia memasuki cockpit. Mereka beradu mulut di sana. Penumpang itu akhirnya diusir oleh pilot. Kami dikembalikan ke ruang tunggu. Aku dan dan Ari hanya bisa geleng-geleng kepala. “Keluar mulut singa, masuk rahang buaya,” katanya.

Beberapa penumpang memutuskan meminta ganti rugi kepada pihak Lion. Mereka memutuskan berpindah ke pesawat Garuda. Aku yakin, hal yang kurang-lebih sama pagi tadi terjadi di loket Lion. Aku dan Ari masih mempercayakan penerbangan bersama Lion. Menunggu kabar selanjutnya. Setelah kembali ke pesawat, aku melihat Wakil Ketua MPR RI, AM Fatwa bersamaku. Dia sedang mencoba menasehati pilot Lion.

“Ini bukan urusan kesalahan teknis atau apa. Ini persoalan emosi penumpang. Makanya kamu tidak boleh dengan emosi! tegur Fatwa kepada kapten pesawat.

Kami, tiba di Jakarta menjelang tengah hari dengan membawa oleh-oleh cerita. Cerita wajah penerbangan sipil di tanah air. Miris!

Jakarta, 23 September 2009

4 comments:

Jane Siswanto said...

Sebenarnya it's funny. Tragically funny. Saya belum pernah pakai Batavia tapi kalau perlakuannya kayak begitu sih emang harus ngotot. Gak bisa se-enak udelnya mereka.
Sebenarnya Garuda juga sama, abangku terbang dari NZ - Jakarta juga dijutekin. Gak profesional banget deh pokoknya, kayak terbang gak bayar aja.
Memang tidak semuanya tapi kan seperti pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Jane Siswanto said...

Sebenarnya it's funny. Tragically funny. Saya belum pernah pakai Batavia tapi kalau perlakuannya kayak begitu sih emang harus ngotot. Gak bisa se-enak udelnya mereka.
Sebenarnya Garuda juga sama, abangku terbang dari NZ - Jakarta juga dijutekin. Gak profesional banget deh pokoknya, kayak terbang gak bayar aja.
Memang tidak semuanya tapi kan seperti pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Sigit Kurniawan said...

sudah saatnya konsumen kritis dab pada permainan manajemen maskapai karena kepentingan komersial. btw, aku mencuplik kasusmu ini di dalam blogku. mari kita lawan bersama-sama.

Anonymous said...

Wi, ini mampir dan membaca tulisan ini karena provokasi Sigit di blognya. Ya, sudah saatnya kita tidak selalu berpasrah sama keadaan yg tidak menguntungkan ini.