Pages

Saturday, April 10, 2010

Malaris: Kampung Orang-orang Dayak Bukit

Jejak kakiku pernah tertinggal di Kampung Malaris. Menuju kampung ini dari Kota Seribu Sungai (Banjarmasin) ke arah Timur Laut, menempuh jarak 150 Km selama 5 jam perjalanan darat –menggunakan bus. Secara administratif permerintahan, kampung Malaris termasuk dalam Desa Lok Luhung Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimanatan Selatan. Jarak antara ibu kota kabupaten (Kandangan) dengan ibukota kecamatan (Loksado) adalah + 30 Km dapat ditempuh menggunakan angkutan pedesaan. Dari sana perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki atau sekarang dapat menggunakan jasa ojeg untuk menempuh perjalanan sekitar 1,7 Km.

Sewaktu live-in di Malaris selama 2 malam, aku mendapat kesempatan untuk mempelajari banyak hal berkaitan dengan kehidupan, tata sosial, dan sebagainya melalui wawancara langsung maupun studi literatur dari sejumlah pihak yang pernah melakukan penelitian di daerah tersebut. Dan berikut adalah beberapa temuannya;
Penduduk Malaris adalah keturunan dayak Meratus. Dahulu Dayak di Kalsel adalah suku Dayak tertua ke-2 setelah suku dayak Kutai. Namun, keberadaan suku dayak di Kalsel semakin tergeser ke arah pinggiran dan pedalaman seperti persis yang kita jumpai di Malaris.

Selain disebut sebagai suku dayak Meratus, orang-orang Melaris ini juga disebut dayak bukit atau dayak hulu sungai. Hal ini dikarenakan tempat tinggal mereka berada di hulu sungai dan di kaki bukit pegunungan meratus yang juga menjadi perbatasan antara Kalsel dan Kaltim bagian Timur.

Pegunungan Meratus adalah pegunungan yang kaya akan hasil bumi seperti emas dan hasil hutan seperti kayu manis, rotan dan karet. Hasil hutan adalah sumber penghidupan mereka. Maka pekerjaan mereka adalah berladang atau yang kerap disebut bahuma. Mereka menanam padi gunung, kayu manis, kemiri, menyadap karet (getah), rotan, damar, madu dan lain-lain.

Selain sebagai pekerjaan utama mereka, bahuma juga merupakan media untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Mereka menggunakan siklus alamiah tidak menggunakan pupuk untuk menggemburkan dan menyuburkan tanah. Kawasan hutan yang dibuka adalah merupakan bekas pehumaan yang telah ditinggalkan selama puluhan tahun yang lalu dan selama itu mereka jarang bahkan tidak membuka lahan di hutan-hutan primer. Sistem perladangan seperti ini adalah menggunakan pola “Gilir Balik”. Sehingga, dengan kenyataan ini ditepislah anggapan bahwa selama ini mereka (masyarakat dayak pada umumnya).

Meski demikian, mereka tidak pernah sampai merambat ke dalam pegunungan meratus karena mereka menganggap meratus adalah bumi nenek moyang atau tanah tuan yang harus dijaga. Karena, selama ini memberikan sumber kehidupan dan perlindungan bagi mereka. Ini pula yang menjadi salah satu keyakinan dan pemahaman agama Kaharingan yang sangat percaya akan keabadian roh-roh leluhur/nenek moyang.

Masyarakat dayak kuno termasuk penduduk Malaris tinggal di rumah panggung yang disebut balai. Di tengah-tengahnya ruangan besar yang biasanya untuk bertkumpul bersama dan dipakai untuk panggung saat upacara Aruhganal. Upacara ini dilaksanakan 3 kali dalam setahun. Saat tanam, tengah tanam dan saat panen. Aruhganal adalah wujud ekspresi syukur dan komunikasi spiritual kusus kepada leluhur memohon berkah dan keselamatan.

Masyarakat Malaris seperti pada umumnya masyarakat dayak lainnya juga dipimpin oleh seorang ketua adat atau yang sering disebut Demang. Menurut Radam (2003:139) dalam bukunya Religi Orang Bukit, masyarakat dayak mengembangkan sistem peranan yang sesuai dengan kebutuhannya. Sistem peranan itu terkelin (sifatnya tertutup, tidak terbuka untuk umum) dalam memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, eknomi dan religi.

Di sana terdapat sistem pemerintahan adat. Di kawasan hulu Alai, Hamandit, dan hulu Sampanah kepala adatlah yang menjadi penanggungjawab sosial tertinggi. Di hulu Alai kepala adatnya disebut Tumenggung. Sementara di Hamandit disebut demang. Bila antar bubuhan terjadi konflik karena masalah lahan, kejadian sumbang, maka masalah itu diselesaikan oleh tumenggung atau demang.

Menurut Sam (2000: 38-39) struktur yang dalam masyarakat dayak Meratus secara sederhana terdiri dari tetua adat yang terkadang merangkap sebagai kepala balai, para balian dan kelompok masyarakat biasa. Dalam rangka kegiatan perkawinan ditunjuk seorang pengulu. Masing-masing bagian tersebut punya peran berbeda dalam menata kehiduapn masyarakat. Misalnya tetua adat bertugas menjaga aturan adat agar tetap menjadi panutan atau hukum yang dihormati oleh masyarakat. Merekalah yang paling mengerti tentang aturan dan menetapkan sanksi jika ada anggota masyarakat yang melanggar. Aturan-aturan tersebut mengatur hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan alamnya.

Hukum adat yang mengatur hubungan antar sesama manusia meliputi;
1. Kepemilikan tanah/ wilayah atau balai. Hukum adat mengatur bagaimana tanah atau wilayah balai dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Setiap balai memiliki wilayah tertentu yang batasnya telah ditentukanoleh leluhur mereka. Jadi kepemilikan itu bersifat mewaris atau turun temurun dan tanah adalah milik adat. Orang dari luar tidak berhak atas tanah dan hutan. Semua warga berhak mengelola tanah, manugal dan menanam tanaman keras dari wilayah balai dengan persetujuan dewan adat. Siapa yang berhak mengelola tanah dia dapat kerjakan tanah tersebut secara turun temurun (dalam silsilah keluarga) dan berhak mengambil hasil tanaman namun tanah tersebut bukan milik pribadi. Untuk memiliki tanah secara pribadi maka harus memohon persetujuan dari dewan adat dan apabila disetujui, dewan adat akan memeberikan batas-batas serta memberitahukan batas-batas serta memberitahukan kepada warga lain dan si pemohon harus mematuhi aturan adat

2. Pencurian
Pada masyarakat Balai Malaris apabila terjadi pencurian, pencuri barang tersebut akan dikenai sanksi berupa denda yang besarnya ditentukan oleh dewan adat. Kemudian, pencuri akan diperingati. Jika melebihi 3 kali maka si pencuri akan diserahkan ke pihak kepolisian setempat. Dan jika ada pencuri dari balai lain, maka yang akan menyelesaikan adalah dewan adat orang yang bersangkutan.

3. Mengganggu istri orang/anak gadis
Jika ada orang mengganggu istri oeang lain baik atas dasar suka sama suka atau ada unsure paksaan, maka kedua belah pihak (laki-laki maupun perempuan) dikenai denda yang besarnya ditetapkan oleh dewan adat. Kemudian, hasil denda tersebut diserahkan kepada istri atau suami pelaku, atau denda itu akan digunakan sesuai dengan keputusan dewan adat. Jika pelaku yang mengganggu berasal dari balai lain maka yang akan mempersidangkan adalah dewan adat balai yang bersangkutan.
Apabila terdapat pemuda yang mengganggu anak gadis dengan paksaan maka dia juga akan dikenai denda yang besarnya ditentukan oelh dewan adat. Dan apabila ada pemuda dan pemudi yang melakukan perzinahan atas dasar suka sama suka maka kedua pemuda pemudi itu harus dikawinakan.

4. Perkelahian
Apabila terdapat perkelahian antar sesama warga balai dan perkelahian dan tidak terdapat luka fisik anatar keduanya maka akan didamaikan oleh dewan adat dan akan dibuatkan perjanjian antar keduanya. Apabila ada perkelahian dan ada yang terluka maka keduanya akan diadili sesuai ketentuan yang berlaku dan orang yang melukai akan dikenakan denda wajib untuk melaksanakan upacara bapalas. Upacara ini dimaksudkan untuk membuang sial atau tolak bala agar perkelahian yan terjadi tidak terulangi lagi, hal ini dicirikan dengan menyembelih ayam dan membuang darahnya, Palas berarti jadi darah dibuang untuk menolak bala serta menghilangkan dendam.
Dan apabila dalam perkelahian tersebut ada yang tewas maka dewan adat akan menindak pelaku dengan hokum adat yang telah ada. Apabila persoalan tersebut tidak selesai maka persoalannya akan dibawa ke pihak yang berwajib dalam hal ini kepolisian.

5. Perkawinan.
Dalam melakukan peminangan oleh laki-laki kepada perempuan, pihak laki-laki wajib untuk menyerahkan uang pinangan sebesar Rp 100,- sebagai syarat pinangan kepada orang tua yang dipinang. Dalam proses peminangan pihak perempuan menetapkan harga, kemudian pihak laki-laki menetapkan penawaran. Dari penetapan harga dari pihak perempuan dan penawaran dari pihak laki-laki, maka dewan adat membantu mencari harga yang bisa disepaklati dan disetujui oleh kedua belah pihak. Pemegang keputusan tertinggi adalah wali dari pihak perempuan. Apabila dalam pembicaraan pihak laki-laki tidak dapat memenuhi permintaan pihak perempuan maka pinangan putus.
Jika pihak perempuan menolak lamaranb dari pihak laki-laki maka pihak perempuan harus mengembalikan uang yang telah diberikan oleh peminang dengan perhitungan mengembalikan uang pinangan ditambah sepuluh kali lipat dari uang pinangan itu.
Apabila pinangan diterima, dan kedua pihak telah menyelesaikan pinangannya, maka pihak laki-laki harus menyediakan anatar alain gula, the dan seperasngkat alat kecantikan setalah itu dikawinkan oleh penghulu dan disaksikan seluruh warga balai.

6. Perceraian
Dalam hukum adat balai Malaris, perceraian tidak dibolehkan apabila istri yang akan diceraikan sedang dalam masa hamil. Apabila tetap ingin melakukan perceraian maka harus menunggu istri melahirkan. Apabila seorang seorang suami ingin menceraikan istrinya dan istrinya masih memiliki rasa sayang kepada suaminya, maka suami harus memberikan uang kepada istrinya dan besarnya uang yang harus dibayar oleh suami ditentukan oleh dewan adat. Aturan ini berlaku sebaliknya jika seoarang istri ingin meminta cerai terhadap suaminya. Pemberian uang tersebut biasa disebut sebagai uang tabus sayang seorang suami/istri. Dengan uang tersebut rasa sayangnya sudah ditebus dan dengan demikian perceraian dapat terjadi.

Apabila seorang istri ingin meminta cerai kepada suami dan suami tidak mau maka perceraian batal terjadi, kecuali suami sudah diketahui memiliki istri barumaka kepada istri pertama akan jatuh talak/cerai dan istri terbebas dari suaminya. Istri yang telah diceraikan bebas untuk menikah kapan saja. Suami yang menceraikan berhak rujuk atau bemantukan dengan istrinya kapan pun selama istrinya tidak memiliki suami baru setelah bercerai, dengan ketentuan suami harus membayar uang rujuk yang besarnya ditetapkan oleh dewan adat dengan pertimbangan atas semua kesalahan yang telah dibuat suami kepada istrinya. Dan uang rujuk diserahkan kepada orang tua istri.

7. Kematian
Jika orang meninggal dunia, maka harta peninggalannya berupa uang harus dibagikan kepada seluruh warga balai setempat. Pembagian harta disesuaikan dengan andil dari warga balai dalam mengantarkan jenazah ke kubur. Biasanya orang tersebut telah mempersiapkan uang yang akan dibagikan kepada seluruh warga balai sewaktu orang yang meninggal tersebut masih hidup kepada orang yang telah diwasiatkan. Uang itu dimaksudkan untuk mengurangi dosa-dosa selama ini dan pihak keluarga wajib melaksanakan parabia (selamatan) untuk mendoakan agar orang yang meninggal mendapat ketenangan jiwa.

8. Warisan
Dalam hokum adat masyarakat dayak malaris, warisan tidak akan dibagikan apabila salah satu dari sebuah keluarga orangtua masih hidup. Warisan bisa dibagi jika kedua orang tua sudah meninggal dunia. Warisan harus dibagikan seadil mungkin sesuai andil seorang anak dalam keluarga atau dalam mengurus orangtua selagi masih hidup. Siapa yang paling punya andil dan paling mengurus orang tua mendapat warisan paling banyak.

Sementara ada pula aturan yang mengatur hubungan dengan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan alam. Jika ada warga yang ingin membuka lahan baru maka aka nada upacara Batanung. Upacara ini sebagai sarana untuk memohon petunjuk kepada leluhur apakah lahan yang akan dibuka sebagai lahan ini subur atau tidak. Jika warga ingin melakukan perburuan juga harus meminta izin terlebih dahulu kepada penunggu hutan agar mendapatkan keselamatan dan mendapat hasil buruan yang banyak. Warga dilarang berburu pada hari-hari tertentu seperti pada saat dilaksanakannya upacara adat.

Selain itu, ada pula aturan yang mengatur hubungannya dengan yang maha kuasa dan leluhur. Setiap orang yang berusia lebih dari 20 tahun mereka wajib melakukan peribadatan kepada yang maha kuasa pada malam senin dan jumat. Selain itu dengan melakukan upacara-upacara adat. Yang pasti ada tiga kali dalam setahun; Sambu, Bawanang dan Aruh Ganal (Bawanang Kedua). upacara terseburt adalah ungkapan syukur atas berkah dari yang maha kuasa dan leluhur. Upacara lain adalah tolak bala dan Sanggar Banua.

Di rumah Asnawi, Kampung Malaris, 5 Mei 2009

1 comment:

Kamal Ansyari Abinya Naira dan Haikal said...

Tolong jaga dan lestarikan alam hutan Loksado dari penambang-penambang yang hanya menginginkan uang dan harta tanpa memikirkan kerusakan hutan nantinya.
Hutan Loksado yang indah ini adalah warisan untuk anak cucu kita di masa depan.