Pages

Thursday, April 22, 2010

Irak yang Demokratis?

Invasi Amerika Serikat yang pada akhirnya menumbangkan Presiden Saddam Hussein pada 9 April 2003, ternyata tidak membuat Irak lebih baik. Tiada hari tanpa ledakan bom, ribuan orang menjadi korban baik tewas maupun luka-luka. Irak kini (kembali) terjumus kembali pada konflik antarsesama anak bangsa. Meski pemerintahan resmi telah terbentuk, namun perpecahan akibat isu sektarianisme dan etnis terus meningkat. Karena, pemerintah hasil pemilu 30 Januari 2005 tidak mampu mampu menciptakan stabilitas keamanan nasional.

Pasca Saddam, terdapat ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan nasional yang menjadi modal dasar bagi terciptanya stabilitas politik. Konflik antarmilisi sipil dan masih bercokolnya tentara asing, menjadi penyebab suburnya isu sectarian; Syiah dan Sunni.

Persoalan mendasar dari konflik ini menurut Yitzak Nakash dalam artikelnya berjudul “The Shi’ites and the future of Iraq” (Foreign Affairs, Juli/Agustus 2003) adalah persoalan politik bukan persoalan kultural. Di mana pertanyaan mendasarnya adalah, nasionalisme apa yang bisa menjadi pemersatu Irak? Sunni (masa pemerintahan Saddam) lebih mengadopsi nasionalisme Arab sebagai ideologi utama, sementara kubu Syiah lebih memilih nasionalisme Irak.

Persoalan ini jika ditarik garis sejarahnya, sudah terjadi sejak Kekhalifahan Usmaniah atau Otoman (1299-1522). Baghdad jatuh ke tangan Sulaiman Agung (1494-1656) pada 1535. Kekuasan militer dan politik jatuh ke kelompok minoritas Sunni (hanya sekitar 32-37 persen). Dalam artikel “Iraq’s Culture of Violence” (dimuat Midlle East Quarterly), Shafeeg N Chabra mengatakan kekuatan Sunni di Irak terkait erat dengan kekuatan Arab Sunni di Timur Tengah. Di mana, hubungan kultur antar Sunni di Irak yang menganggap diri mereka sebagai pewaris masa keemasan peradaban Islam Arab (kekhalifahan Abassiah di Baghdad abad 8 sampai 13) yang berhasil menduduki posisi penting dalam pemerintahan dan masyarakat. Mereka menjadi benteng atas gempuran Persia (Syiah) yang terus meluas. Pasca Perang Dunia I, ketika Inggris menduduki Irak, komposisi Sunni yang memegang otoritas tinggi dalam pemerintahan dan politik dipertahankan. Hal ini diteruskan oleh Pemerintahan Saddam.

Konflik atas dasar sektarianisme memuncak pada 22 Februari 2006 ketika terjadi pengeboman di Masjid Al Askariya di Sammara, di mana masjid itu adalah satui dari 4 masjid utama kaum Syaih.

Tantangan pemerintahan baru di Irak kini adalah bagaimana mengatasi milisi bersenjata di Irak Utara, Selatan, dan Tengah. Milisi Kurdi dan Syiah sering beroperasi sebagai pasukan keamanan pemerintah, demikian seperti dilaporkan The Washington Post pada Agustus 2006. Mereka, melakukan serangkaian penculikan, pembunuhan dan intimidasi. Jumlah milisi-milisi itu terus meningkat. Tahun 2006, menurut sumber terpercaya, jumlah mereka mencapai 8 sampai 20 ribu orang, sementara sumber intelejen Irak menaksir 40 ribu orang ditambah 160 ribu pendukungnya. Mereka tidak sekadar berasal dari Irak, mereka juga berasal dari Sudan, Suriah, Arab Saudi, dan Yaman. Misalnya, Abu Musb al Zarkawi yang tewas Juni 2006, dia adalah pimpinan Al Qaeda di Irak berasal dari Jordania. Lima kelompok bersenjata bergabung dalam satu payung dalam Dewan Shura Mujahidin pada awal 2006. Kelompok lain adalah pendukung Partai Baath yang telah dibubarkan. Mereka adalah mantan tentara dan kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai “Kaum Nasionalis Sunni”.

Siapa bersenjata, merekalah yang berkuasa. Barangkali hal itu dapat menjadi gambaran Irak kini. Mereka melakukan hal itu dengan dalih untuk menciptakan keamanan di negeri yang dapat dikatakan “tak ada hukum”. Mereka juga mengingini hengkangnya pasukan pendudukan dengan melakukan serangkaian serang bom di mana-mana. Sasarannya adalah siapa saja yang menjadi pendukung tentara pendudukan, baik warga asli, aparat Irak maupun tentara pendudukan itu sendiri. Korban tercatat sejak Maret 2003 hingga Juli 2006 berjumlah 50.443. dari jumlah itu, 83,9 persennya adalah warga sipil, 10,27 persen aparat keamanan, 5,14 persen tentara AS, 0,2 persen militer Inggris, 0,2 persen militer Negara lain dan 0,1 persen wartawan.

Penduduk Irak yang mengungsi ke luar negeri selama masa konflik ini pada 2006 sudah mencapai 440 ribu orang. Pada Maret 2006 saja mencapai 30 ribu orang, pada Agustus meningkat jumlahnya lebih dari 4 kali lipat (137.862 orang).



Apakah demokrasi sebagai resep AS untuk Irak dapat memecahkan persoalan di sana? Nanti dulu!

1 comment:

ana dahlia said...

Turut prihatin dengan pengungsi yang mungkin ga mengerti apa2....nyawa2 tak berdosa....